Pada postingan sebelumnya, kita telah menggarisbawahi sifat–sifat dari orang-orang yang berharap untuk memperoleh keikhlasan. Sampai poin ini, yang merupakan persoalan penting yang kedua adalah menyucikan diri dari segala sikap yang muncul dari pemikiran “menghalangi keikhlasan” atau “sama sekali mengaburkan makna keikhlasan”.
Sebagaimana yang ditegaskan Badiuzzaman Said Nursi, “Saudaraku! Ada banyak rintangan sebelum amalan-amalan saleh dikerjakan. Iblis akan berusaha sekuat tenaga menggoda setiap insan yang melakukan amal kebaikan tersebut. Setiap insan seharusnya menyandarkan diri pada kekuatan ikhlas untuk menghadapi rintangan–rintangan dan godaan setan. Anda harus menjauhkan diri dari perbuatan yang mengurangi nilai keikhlasan, sama halnya seperti Anda menghindari ular dan kalajengking. Sebagaimana perkataan Yusuf as., “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku,” (Yusuf [12]: 53) bisikan jahat dalam jiwa seharusnya tidak dipercaya. Jangan biarkan keegoisan dan nafsu menipumu!”[1] Setan adalah musuh utama kita dalam memperoleh keikhlasan dan mencapai kesucian yang sejati. Iblis hanya ingin menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan dan mengacaubalaukan niat ikhlas dengan cara menumbuhkan dorongan hati yang jahat dari nafsu mereka. Untuk melawan segala daya dan upaya iblis, setiap mukmin sejati seharusnya mencontoh akhlaq Nabi Yusuf sebagai suri teladan. Ia tidak tunduk pada hawa nafsunya dan dengan penuh semangat berusaha menjauhkan diri dari segala rayuan setan. Pada bab–bab berikutnya, kita akan lebih mendalami makna mukmin sejati dengan membahas perilaku-perilaku yang merusak keikhlasan dan cara untuk membersihkan diri dari sifat–sifat tersebut.
Menghilangkan Kejahatan Hawa Nafsu
Sebagai ujian yang meliputi kehidupan--kecuali sebaliknya yang merupakan kehendak Allah--hawa nafsu diciptakan dengan terus-menerus mengajak manusia untuk berbuat kejahatan. Salah satu di antara amalan buruk tersebut adalah beramal dengan niat tidak ikhlas. Untuk mematikan keikhlasan, hawa nafsu cenderung mengarahkan dirinya sendiri melalui cara yang akan menumbuhkan segala macam pikiran buruk. Seperti dinyatakan dalam kutipan ayat di bawah ini, sisi buruk jiwa adalah terdiri atas “dosa yang tak terputus dan kejahatan”.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” (asy–Syams [91]: 7–8)
Selain itu, Allah juga mengilhami manusia cara–cara menjauhkan diri dari kejahatan yang tiada hentinya ini serta cara untuk membersihkan serta menyucikan jiwanya.
Ayat berikutnya menerangkan bahwa orang–orang yang mengotori jiwanya akan merugi dan orang–orang yang menyucikan jiwanya akan termasuk di antara orang–orang yang beruntung, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya, beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy–Syams [91]: 9-10)
Tentu saja, seseorang yang ingin memperoleh keikhlasan dan menjadi di antara hamba–hamba Allah yang taat, harus membuat semacam pilihan. Allah meminta perhatian atas usaha-usaha suci yang dilakukan oleh orang–orang beriman sebagaimana firman-Nya,
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba–hamba-Nya.” (al-Baqarah [2]: 207)
Namun demikian, yang penting adalah setiap insan harus membimbing dirinya sendiri dengan kejujuran dan keikhlasan, dan seharusnya tidak mengasihani atau tidak menopang sisi jahat dari jiwanya. Jadi, pada hakikatnya, ia harus melatih dirinya sendiri untuk menyucikan jiwanya dari keburukan dan menyatakan ketundukannya. Maka dari itu, ia tidak akan pernah merasa bingung dan mendukung sisi buruk jiwanya. Ia harus tahu bahwa sisi jahat jiwanya tidak pernah benar, bertentangan dengan Al– Qur`an, dan berlaku seperti seruan iblis. Setiap orang hendaknya mengevaluasi dan menilai segala sesuatu yang diterima dengan pemahaman seperti ini.
Sama halnya seperti orang yang merasa tidak kasihan terhadap hawa nafsu orang lain atau merasa diwajibkan untuk mempertahankan atau membuktikan bahwa hawa nafsu tersebut berada dalam posisi yang benar, ia pun akan bertindak demikian dalam menghormati dirinya sendiri. Ia akan memperlakukan sisi jahat jiwanya seperti sesuatu yang asing dan menentangnya. Ia akan mengingatkan jiwanya ketika nafsu tersebut tumbuh menjadi jahat. Ia harus mendengarkan suara dari dalam batinnya, tanpa harus patuh kepada rayuan setan. Hanya dengan cara inilah, ia mampu mendeteksi segala cara yang digunakan hawa nafsunya untuk menipu dirinya sendiri. Ia menilainya berdasarkan kenyataan dan menarik dalil berdasarkan Al–Qur`an. Hanya dengan begitu, ia mampu memperoleh keikhlasan dan menggapai ridha Allah. Allah menerangkan kepada kita tentang kebenaran ini dalam ayat,
“Dan adapun orang–orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”(an-Naazi’aat [79]: 40–41)
Lebih Menyukai Jiwa Mukmin Lainnya daripada Jiwanya Sendiri
Salah satu dari sekian sifat yang mengurangi keikhlasan adalah kekikiran dan keegoisan yang ada dalam tiap diri manusia. Allah menerangkan kecenderungan ini dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesulitan, ia akan berkeluh kesah, dan apabila kebaikan datang kepadanya, ia amat kikir.” (al-Ma’aarij [70]: 19–21)
Untuk mendapatkan nilai keikhlasan, seseorang harus mampu melawan segala sisi negatif jiwanya, kemudian menggantikannya dengan pengorbanan dan penafian diri. Untuk mendapatkan keberuntungan, seseorang harus mampu menyucikan dirinya sendiri dari kekikiran jiwanya, sebagaimana Allah jelaskan kepada kita dalam ayat,
“... Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang–orang yang beruntung.” (ath-Thaghaabun [64]: 16)
Ini merupakan langkah mudah bagi seseorang untuk melatih jiwanya, untuk tidak memercayai dirinya sebagai pribadi yang berkecukupan. Selalu merasa curiga pada sisi jahat jiwa manusia adalah bagian terpenting, namun keburukan dari sifat egois dan kikir seharusnya tidak disalahartikan. Di dalam masyarakat awam, di mana masyarakatnya tidak memiliki rasa takut dan tidak yakin kepada Allah serta hari kiamat, ego dan kekikiran adalah sebuah falsafah hidupnya. Orang–orang seperti ini memahaminya sebagai suatu kewaspadaan dalam menempatkan kebutuhan–kebutuhannya di atas kebutuhan orang lain dan hanya membela keinginan dan harapan–harapan diri sendiri serta menganggap ini sebagai sebuah perbuatan yang baik. Karena itu, mereka tidak pernah mempertimbangkan apa yang akan mereka pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Diterangkan oleh ayat–ayat suci Al–Qur`an bahwa ini adalah suatu kekeliruan, menghubungkan nafsu kikir dan ego hanya kepada orang–orang seperti ini serta membatasi perkara ini kepada orang–orang jahil (bodoh) saja. Mereka mempraktikkan ajaran moral tersebut dalam tingkat yang ekstrem. Akan tetapi, bagi sebagian orang yang tidak biasa berpikir tentang kekikiran dan egois, bisa secara sembunyi ataupun terang–terangan melabuhkan kecenderungan ini dalam diri mereka. Seperti halnya kecenderungan mencegah diri dari amalan yang dilakukan dengan ikhlas dalam setiap situasi, dan berbuat ikhlas. Sesungguhnya, merupakan hal yang sederhana bagi seseorang untuk menyucikan jiwanya dari kejahatan. Untuk mencapai tujuan ini, ia hanya harus mempraktikkan nilai ajaran moral Al-Qur`an sepenuhnya dalam tingkatan yang paling sempurna.
Badiuzzaman Said Nursi meminta kita memperhatikan pemecahan masalah yang diungkapkan ayat Al-Qur`an,
“Mencapai keikhlasan yang serasi dengan ayat, ‘... dan mereka mengutamakan (orang–orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)....” (al-Hasyr [59]: 9)[2]
Dalam ayat-Nya, Allah menegaskan bahwa orang–orang beriman mengutamakan saudara mereka daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka sendiri lapar dan menderita, dan mereka selalu berada di dekat saudaranya, melawan diri mereka sendiri, ketika saatnya harus membuat sebuah pilihan. Umat Islam yang menetap di Madinah tidak merasa keberatan menolong saudaranya dari Mekah. Mereka menyediakan perlindungan dan makanan untuk saudara mereka tanpa menghiraukan keterbatasan harta milik mereka. Malah sebaliknya, mereka berbahagia dan senang mampu mengalahkan dorongan sifat egois dan kikir yang muncul dari dalam jiwa. Mereka mengutamakan saudara mereka demi kepentingan Allah. Berdasarkan keadaan itu, secara gamblang, mereka menyadari bahwa perbuatan tersebut adalah yang paling mulia, sungguh-sungguh dan ikhlas, serta sejalan dengan tuntunan Al–Qur`an. Maka dari itu, Allah berkehendak meningkatkan ganjaran dan pahala mereka karena pengorbanan diri yang mereka lakukan kapan pun, baik itu balasan di dunia maupun di akhirat. Allah menyebutkan pahala yang akan diberikan untuk orang–orang yang melaksanakan ajaran moral yang demikian dalam firman-Nya,
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (ganjarannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (at-Thaghaabun [64]: 17)
Tidak Tertipu oleh Godaan Hawa Nafsu
Jika seseorang memikirkan hal tersebut dengan jujur, sepanjang harinya, ia akan melihat bahwa ia sedang dihadapkan pada dorongan hawa nafsu yang kuat. Dorongan–dorongan hawa nafsu inilah yang mendorongnya untuk tidak mengenyahkan kecondongan pada dunia. Sebagai suatu perumpamaan, Allah telah menyatakan dalam salah satu firman-Nya bahwa menafkahkan harta yang dicintai merupakan amalan yang terbaik. Hanya dengan cara inilah, dapat dilihat apakah seseorang itu benar-benar bisa menjadi bertaqwa,
“Kamu sekali–kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran [3]: 92)
Walaupun dapat mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki, seseorang mungkin masih memiliki hasrat yang melekat terhadap harta yang dimiliknya, sehingga masih ada keengganan untuk menafkahkan harta tersebut. Atau, ketika ia membagikan hartanya kepada saudara muslimnya, bisa jadi ia lebih mengutamakan dirinya sendiri daripada saudaranya. Ia menyimpan harta yang paling berharga untuk dirinya sendiri dan memberikan yang tersisa bagi saudaranya. Meskipun demikian, hati kecilnya mengingatkannya bahwa dengan menafkahkan apa–apa yang dicintainya adalah jauh lebih berharga dan lebih baik. Akan tetapi, hasrat seperti ini yang ada dalam dirinya, akan menghambat perilaku yang sesuai dengan kebaikan akhlaqnya dan menghambatnya untuk beramal dengan ikhlas dan tulus.
Meski demikian, kebaikan yang sejati adalah dengan segera menyedekahkan hartanya yang paling berharga ketika ia melihat orang lain lebih membutuhkan. Jika hartanya itu begitu berharga baginya, orang lain pun dapat menikmati dan bersukacita dengan harta tersebut sama seperti dirinya. Karena itu, menyimpan harta yang paling berharga untuk diri sendiri dan memberikan harta yang kurang berharga kepada orang menunjukkan bahwa jiwanya belum benar–benar bersih dari egoisme. Karena itu, Allah telah meminta kita untuk memperhatikan kenyataan bahwa sikap inilah yang lebih dulu harus dibangun sebelum seseorang berharap memperoleh kebaikan.
Jika seseorang mengutamakan kebaikan orang lain melebihi kebaikan yang ia miliki serta selalu tanggap terhadap perbaikan, kesehatan, dan kebahagiaan orang lain, ia dikatakan sudah ikhlas. Misalnya, jika ada sebuah tugas yang sulit dan membutuhkan tenaga untuk menyelesaikannya, ia akan maju ke depan dan dengan sukarela menyelesaikannya. Adapun menghindari sebuah tugas yang sulit dan berharap orang lain yang akan menyelesaikannya adalah buah dari ketidaktulusan hati. Yang selayaknya dilakukan seorang muslim adalah menyelesaikan tugas tersebut diam-diam tanpa seorang pun berterima kasih kepadanya. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ayat, “berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan,” yang sesungguhnya mewakili keikhlasan adalah segera melaksanakan tugas dan menyelesaikannya sebaik mungkin. Perbuatan seperti itu juga menjadi sebuah tanda bahwa orang tersebut mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri. Ia lebih memilih kesulitan daripada kenyamanan dan kemudahan karena berpikir untuk mengorbankan diri, seperti: “biarkan aku yang lelah sebagai pengganti saudara muslimku”, “biarkan aku terbebani dengan kesukaran tugas ini, sementara ia beristirahat”, atau“biarkan diriku, bukan dia, yang menghabiskan waktu melakukan tugas ini”. Dengan cara ini, ia berharap dapat menggapai ridha Allah dengan ikhlas beramal.
Dalam salah satu karyanya, Badiuzzaman Said Nursi menggarisbawahi kebaikan dalam memberikan keistimewaan kepada saudara muslim lainnya sehingga ia tidak melakukan kesalahan dan berubah menjadi manfaat yang tidak merugikan. Hal ini dilakukan agar jiwa kita terbebas dari sifat mementingkan diri sendiri. Ia mengatakan,“Pilihlah saudara–saudaramu yang menjiwai jiwamu dalam kemuliaan, derajat, dan sambutan, pada hal-hal yang jiwamu menikmati manfaat jasmaninya. Bahkan, dalam keuntungan yang paling bersih dan tidak merugikan, seperti memberitahu seorang mukmin yang miskin tentang salah satu yang tidak diketahuinya, kebenaran iman yang baik. Jika memungkinkan, menyemangati salah seorang sahabatmu yang tidak ingin memberitahukan, untuk memberitahukan muslim yang miskin itu apa-apa yang tidak dia ketahui. Dengan demikian, jiwamu tidak menjadi angkuh. Jika kamu memiliki keinginan seperti ‘Biarkan aku mengatakan kepadanya tentang hal yang menyenangkan hatinya saja, dengan begitu aku akan memperoleh hadiah’, sebenarnya hal ini bukanlah sebuah perbuatan dosa dan tak ada yang merugikan di dalamnya, namun maksud dan arti dari keikhlasan dalam dirimu mungkin akan ternoda.”[3]Jadi, Badiuzzaman Said Nursi mengingatkan setiap muslim bahwa mengorbankan hal-hal yang menyenangkan jiwa seseorang, seperti kemuliaan, reputasi, kekuasaan, harta benda, dan kasih sayang, akan menjadi sebuah cara dalam memperoleh keikhlasan. Sebagai contoh, seseorang yang beriman dapat berperan di belakang layar dengan membiarkan salah seorang saudaranya menjadi pusat perhatian jika saudaranya itu dapat memberikan nasihat yang baik atau menyampaikan sesuatu yang penting.
Setiap manusia yang berusaha menjauhkan diri dari hasutan–hasutan jiwanya dan berjuang untuk mendapatkan nilai keikhlasan dan ridha Allah, akan disambut dan menjadi orang yang sukses dalam usahanya. Allah memberikan kabar gembira kepada orang–orang beriman dalam firman-Nya,
“Dan adapun orang–orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, aka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”(an–Naazi’aat [79]: 40-41)
Menghalau Kekikiran dan Kecemburuan
Allah memberitahukan kita dalam ayat berikut ini bahwa jiwa manusia dikuasai oleh sifat kikir.
“... manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh) maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(an-Nisaa` [4]: 128)
Jadi, sama halnya dengan sifat jahat lainnya, kita semua menurut tabiatnya selalu bergelut dengan perasaan-perasaan kecemburuan dan kekikiran yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Orang akan berjuang menyucikan dirinya dari perasaan tersebut. Namun sebaliknya, ia tidak akan pernah mampu mengamalkan nilai ajaran moral yang ada di dalam Al-Qur`an dengan sepenuhnya dan tidak akan pernah mampu sepenuhnya meraih ridha Allah. Demikian pula halnya pada ayat Al-Qur`an lainnya, yang menyatakan bahwa manusia berselisih antara satu sama lainnya dan tersesat dari jalan yang lurus hanya kerena rasa iri. Mereka merasa bertentangan satu sama lainnya, meskipun mereka telah menerima Kitab yang membimbing mereka ke jalan yang lurus.
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (al-Baqarah [2]: 213)
Perumpamaan yang digambarkan dalam Al–Qur`an ini memiliki pengaruh yang besar dalam membantu manusia untuk memahami betapa besarnya bahaya yang disebabkan oleh iri hati. Walaupun sadar dan melihat dari jalan yang benar, seseorang dapat saja mengambil keputusan yang salah, hanya karena iri hati. Iri hati dan kikir mencegah seseorang untuk berpikir rasional dan mengevaluasi setiap peristiwa dengan benar. Ketika dihadapkan pada situasi tertentu, seseorang yang tengah mengatasi rasa tersebut, mungkin tidak bisa bersikap sesuai dengan nilai-nilai ajaran Al-Qur`an. Ia tidak dapat berbicara tentang apa yang diperkenankan Allah atau berlaku ikhlas dan tulus. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak akan bisa diatur oleh pikiran dan hati nuraninya, tetapi diatur oleh hawa nafsunya, mendengarkan bujukan dan rayuan setan. Hawa nafsu mengarahkan dirinya kepada tingkah laku setan.
Agar tersucikan dari kekotoran ini, seseorang seharusnya lebih dulu dan lebih utama untuk dapat memahami bahwa iri hati dan kikir itu bertentangan dengan agama. Ia harus menyadari bahwa perasaan ini muncul dari nilai–nilai duniawi. Manusia menjadi iri hati atas harta dan kebaikan akhlaq orang lain, yang kemudian menjadikannya bersaing melawannya. Padahal, seorang mukmin sejati adalah mereka yang mampu menahan diri dari keterikatan pada harta benda duniawi yang terlalu berlebihan. Pada intinya, mereka hanya menginginkan akhirat. Seorang mukmin sejati mengetahui pasti bahwa kenikmatan duniawi itu adalah titipan dari Allah dan akan diambil kembali oleh-Nya ketika saatnya tiba. Walaupun ia dapat memperoleh kesenangan tersebut dengan cara yang diridhai Allah, ia tidak bernafsu mencurahkan seluruh tenaga untuk mendapatkannya dan tidak menjadi orang yang terlalu berambisi. Ia bersyukur kepada Allah atas segala yang telah dianugerahkan kepada dirinya dan dia mengetahui cara menjadi bagian dari apa yang telah ia miliki. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut, apabila Allah menganugerahkan lebih banyak berkah-Nya atas orang lain, ia tahu bahwa ini memiliki maksud.
“Kepunyaan-Nyalah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (asy-Syuura [42]: 12)
Berpikir tentang Akhirat Dapat Melenyapkan Iri Hati Dan Kikir
Setiap orang sedang diuji melalui karunia dari Allah berupa kecukupan dan kebaikan untuknya. Dengan demikian, dapat terlihat perbedaan antara mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh syukur dan kerendahan hati dan mereka yang tidak memiliki rasa terima kasih dengan meninggalkan ajaran moral Al–Qur`an. Karena itu, seseorang tampaknya tidak mungkin menjadi kikir atau iri hati atas keberkahan dunia yang dimiliki orang lain jika ia memahami bahwa kehidupan duniawi hanyalah tempat sementara yang semata-mata diciptakan Allah untuk menguji manusia. Misalnya, iri hati terhadap orang lain hanya karena kekayaan, ketampanan, atau dikaruniai kekuasaan. Sifat ini bertentangan dengan akhlaq yang terkandung dalam Al-Qur`an. Seseorang yang hidup dalam tingkatan akhlaq Al-Qur`an yang tinggi akan mengetahui dengan jelas bahwa Allah akan menganugerahkan keberkahan atas dirinya di akhirat kelak. Jadi, ia hidup dengan ketenangan pikiran dari kesadaran atas kebenaran yang dibawa Al–Qur`an. Akan tetapi, mereka yang gagal memahami takdir, kenyataan alamiah dari kehidupan dunia ini, kenyataan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan memerintahkan mereka agar beriman kepada-Nya, terbawa oleh sifat iri hati dan kikir. Mukmin mana pun yang sadar akan kebenaran itu, menahan dirinya untuk melakukan perbuatan yang salah.
Walaupun ini adalah sifat yang mencerminkan kemuliaan akhlaq Al–Qur`an, orang yang beriman akan berhati-hati dalam menjauhkan diri dari rasa iri hati. Sebagai gantinya, ia ingin bisa mencontoh kebaikan akhlaq dari saudara muslimnya. Harapannya untuk selalu “terpelihara” tidak membawanya kepada kekikiran. Dalam kaitannya dengan ayat Al–Qur`an yang menyatakan “Berlomba–lombalah satu sama lainnya menuju kebaikan”, ia berjuang dengan ikhlas untuk menjadi salah satu di antara hamba–hamba yang dicintai oleh Allah, serta melaksanakan kebaikan yang terkandung dalam Al–Qur`an dengan sikap yang sangat ideal. Sekalipun demikian, perlombaan ini tidak dilandaskan atas perasaan iri hati atau persaingan. Perlombaan ini ditujukan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah daripada mendekatkan diri kepada manusia. Sama halnya seperti seseorang yang juga berdo’a demi mukmin yang lain agar menjadi salah satu di antara hamba–hamba yang paling dicintai oleh Allah, dan ia pun berdo’a untuk dirinya sendiri. Ia tidak hanya berdo’a dengan ikhlas, namun juga berjuang untuk mendapatkan apa yang dimintanya itu.
Orang–orang mukmin sadar akan hal itu, sebagaimana semua makhluk lainnya, mereka lemah. Mereka takut kepada Allah dan mengakui kelemahan–kelemahan diri ketika berhadapan dengan Tuhannya. Pada salah satu ayat Al-Qur`an dijelaskan tentang kebenaran ini,
“Katakanlah, ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-A’raaf [7]: 188)
Seseorang yang lebih mengutamakan kepentingan akhirat daripada hal–hal yang bersifat duniawi, tidak pernah mengambil contoh akhlaq yang berdasarkan pendapat orang lain. Ia hanya berusaha mencapai ridha Allah. Jadi, ia tidak pernah mencoba agar menjadi lebih baik daripada orang lain (dalam hal keduniawian), mencari penghargaan atau untuk mengamankan posisi mereka, serta menginginkan pengaruh penting dalam pergaulan. Sebagaimana dipahami dari masalah yang telah disebutkan di atas pada bagian ini, jika seseorang mengetahui kecenderungan dan penurunan yang ada pada dirinya, ia seharusnya sadar bahwa ia sedang melakukan perbuatan moral yang pada akhirnya akan membahayakan keikhlasannya dan mencegahnya untuk mendapatkan ridha Allah.
Dalam karyanya, Badiuzzaman Said Nursi membahas secara mendalam tentang persoalan ini dan lebih menekankan pada beberapa bagian penting, agar dapat memandu orang–orang yang beriman. Dalam komentarnya tentang keikhlasan, ia menggambarkan persaingan yang terjadi di antara orang-orang beriman,
“Dalam masalah yang berkaitan dengan agama dan akhirat, seharusnya tidak ada persaingan, iri hati, atau kecemburuan. Semua itu tidak benar. Alasan untuk merasa iri hati dan cemburu adalah ketika kita mencoba meraih suatu tujuan, ketika beberapa pasang mata terpaku pada satu posisi tertentu, ketika ada perut-perut lapar akan satu kerat roti saja. Pada awalnya, iri hati muncul sebagai akibat dari adanya konflik, perselisihan, dan persaingan yang kemudian berkembang menjadi kecemburuan. Ketika banyak orang memiliki keinginan yang sama di dunia ini, dan karena dunia ini sempit dan merupakan tempat sementara yang tidak dapat memuaskan keinginan manusia yang tak kunjung habis, manusia kemudian menjadi pesaing satu sama lain. Namun sudah jelas, tak ada hal yang dapat menyebabkan terjadinya persaingan di akhirat atau memang tidak ada persaingan di sana. Dalam hal ini, tak ada persaingan untuk mendapatkan pahala di akhirat. Tak ada tempat untuk cemburu. Seseorang yang cemburu salah satunya mungkin adalah orang munafik yang mencari keuntungan dunia dengan bepura-pura melakukan amal saleh atau pura–pura ikhlas, namun sebenarnya ia adalah orang awam yang tidak mengetahui tujuan amal saleh yang ia lakukan. Ia tidak memahami bahwa keikhlasan merupakan semangat dan dasar dari segala amal saleh. Dengan melakukan persaingan dan permusuhan terhadap kesucian Allah, ia sebenarnya ragu akan keluasan kasih sayang Allah.
Wahai orang–orang yang berada di jalan yang lurus! Melaksanakan kebenaran adalah seperti memikul dan memelihara sebuah harta benda yang berat dan besar. Orang–orang yang memikul kepercayaan tersebut pada pundaknya akan merasa bahagia dan bersyukur bilamana tangan–tangan kuat datang menawarkan bantuan. Jauh dari rasa cemburu, seseorang seharusnya dengan bangga menghargai kekuatan, kedayagunaan, dan kemampuan orang yang unggul, yakni mereka yang dengan kasih sayang yang tulus datang untuk menawarkan bantuan. Lalu, mengapa mencari saudara–saudara dan penolong yang mengorbankan dirinya dalam semangat persaingan hingga kita kehilangan keikhlasan.”[4]
Di sini, Badiuzzaman telah memperingatkan orang–orang beriman bahwa rasa cemburu dan persaingan tidak memiliki tempat di surga. Demikian pula halnya dengan perilaku amal saleh yang bertujuan untuk mendapatkan surga, ia tidak akan pernah bisa dinodai oleh rasa cemburu atau persaingan. Orang–orang beriman adalah sahabat, pelindung, dan saudara satu sama lainnya, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Setiap kali ada yang melakukan amal kebaikan dengan tujuan yang sama, saat itu pula yang lainnya mendukung. Dengan demikian, hal ini akan membuat Allah senang. Untuk alasan inilah, apa yang pantas dilakukan oleh orang–orang beriman adalah membantu dan saling membanggakan satu sama lain. Ini lebih baik daripada cemburu akan kemuliaan amal saleh yang dikerjakannya dan kemudian bersaing dengannya. Dalam semua kondisi, inilah bagian terbaik yang mencerminkan nilai keikhlasan. Rasulullah memberitahukan kepada kita akan pentingnya persatuan, kasih sayang satu sama lain, dan persahabatan di antara orang–orang beriman,
“Kamu akan melihat bahwa orang–orang beriman itu seperti bagian tubuh yang berhubungan satu sama lainnya, dalam urusan kebaikan hati, cinta, dan kasih sayang. Ketika satu bagian dari tubuh tersebut ditimpa kesulitan, seluruh bagian tubuh tersebut akan ikut merasakannya; ia akan sulit tidur dan demam di sekujur tubuhya.”[5]
Pada salah satu karyanya yang lain, Badiuzzaman Said Nursi mengingatkan kepada setiap muslim bahwa seorang mukmin sejati harus mampu mengatasi rasa cemburu dan persaingan, dengan cara membanggakan sifat–sifat orang yang lebih unggul daripada dirinya. Ia juga menekankan bahwa setiap orang yang mengamalkan akhlaq tersebut akan mampu merendahkan kepribadiannya untuk kemudian ikut larut dalam kepribadian seluruh umat muslim. Jadi, setiap amal mulia yang dikerjakan akan disifatkan kepada setiap diri mereka.
“Ini merupakan cara untuk membayangkan kebaikan dan jasa saudaramu di dalam dirimu sendiri, dan dengan penuh terima kasih serta bangga akan kemuliaan mereka. Para sufi memiliki istilah yang mereka gunakan di kalangan mereka sendiri, yakni ‘penghapusan shekh, penghapusan Rasulullah’. Saya bukan seorang sufi, namun prinsip-prinsip yang mereka gunakan memberikan kebiasaan baru bagi kita, yakni dalam bentuk ‘penghapusan saudara muslim’. Di antara saudara muslim, hal ini disebut ‘tafani’ atau dengan kata lain disebut ‘penghapusan satu sama lainnya’. Ungkapan tersebut bermakna bahwa untuk melupakan perasaan dari nafsu seseorang adalah hidup dalam pikiran seseorang dengan kebaikan dan jasanya. Pada peristiwa apa pun, dasar yang kita gunakan adalah persaudaraan. Persaudaraan ini bukan berarti persaudaraan antara ayah dan anak atau pemimpin dan pengikutnya, namun persaudaraan ini memiliki arti persaudaraan yang sejati. Yang paling sering adalah campur tangan seorang guru (ustadz). Cara kita adalah persahabatan yang paling erat. Persahabatan ini memaksa kita untuk menjadi sahabat karib, teman yang paling banyak berkorban, saudara yang paling mulia. Intisari dari persahabatan ini adalah keikhlasan yang sejati. Seseorang yang menodai nilai keikhlasan sejati ini akan jatuh dari puncak persahabatan. Ia mungkin akan terjerumus ke dasar ketertekanan batin yang dalam, tidak ada tempat pegangan untuk bersandar.”[6]
Kecemburuan dan Persaingan akan Menghancurkan Kekuatan Orang Mukmin
Badiuzzaman juga menekankan tentang bahaya yang ditimbulkan dari perselisihpahaman yang berkembang di antara orang-orang beriman. Ia juga mengungkapkan bahwa sama halnya dengan perselisinpahaman dan persaingan yang mengakibatkan kehancuran orang–orang beriman, kesepahaman dan kesatuan akan memberikan mereka kekuatan.
“... Bagi orang-orang yang ingkar dan sesat, agar mereka tidak kehilangan keuntungan yang kepadanya mereka tergila-gila, dan agar tidak menghina para pemimpin dan sahabat yang mereka puja demi keuntungan sendiri--dalam rasa malu, penghinaan, dan kurangnya keberanian--mereka bersekutu denga cara apa pun dengan teman-temannya dalam apa pun yang mungkin diperintahkan oleh keinginan mereka bersama. Sebagai hasil dari kesungguhan ini, mereka benar-benar mendapatkann keuntungan yang diinginkan.”[7]
Sebagaimana dipahami dari ungkapan Said Nursi tersebut, mereka yang ingkar kepada Allah atau pada hari akhirat, dapat melupakan persaingan yang terjadi di antara mereka dan membangun kesatuan satu sama lainnya hanya untuk tujuan mendapatkan kekuatan, kenikmatan, dan manfaat duniawi. Kegandrungan mereka yang tiada tara terhadap kenikmatan-kenikmatan ini dapat melenyapkan kecemburuan dan persaingan di antara mereka, dan mereka dengan segera menjadi sahabat karib. Mereka mengharapkan keuntungan yang dapat diperoleh dari persekutuan mereka tersebut sehingga mereka dapat memperoleh hasilnya.
Walaupun orang–orang yang ingkar kepada Allah dapat membentuk persekutuan yang hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dan penghargaan itu, sangatlah tidak mungkin bagi mukmin sejati yang semata–semata bertujuan menggapai ridha Allah itu, mengalami kegagalan dalam membuang rasa cemburu dan persaingan serta kemudian membangun persekutuan seperti itu. Kegembiraan mereka untuk meraih ridha Allah dapat dengan mudah mengatasi rasa cemburu dan persaingan yang dibisikkan oleh hawa nafsu dalam diri mereka. Masalah yang terpenting adalah mereka memahami bahwa perselisihpahaman tersebut dapat membahayakan diri dan keyakinan mereka. Mereka diingatkan bahwa pertengkaran dan perselisihpahaman menjadi penyebab lemahnya kekuatan yang mereka miliki.
Rasulullah juga telah mengungkapkan bahwa umat Islam seharusnya mampu saling melengkapi kekurangan yang mereka miliki dan menutupi kekeliruan yang pernah mereka lakukan, sebagaimana haditsnya, “Jika seseorang berusaha menutupi aib (dosa) saudaranya di dunia, Allah akan menutupi aib (dosa)nya di akhirat kelak.”[8]Namun jika yang terjadi sebaliknya, kesatuan dan persatuan di antara mereka akan sirna dan kekuatan mereka akan menjadi lemah. Ketika kekuatan umat muslim melemah, kekuatan orang yang kafir kepada Allah akan menjadi kuat. Tak ada seorang muslim pun bersedia bertanggung jawab terhadap hal tersebut, hanya karena ia memenuhi keinginan hawa nafsunya. Sesungguhnya, umat Islam diharapkan mampu mengamalkan kebenaran yang terkandung di dalam Al–Qur`an dengan segala kemampuan terbaik yang mereka miliki. Ia harus menjadi contoh bagi umat muslim lainnya dan mendorong semangat agar mereka hidup sesuai dengan tuntunan Islam. Ini membuktikan bahwa seseorang yang belum berhasil mengatasi kecemburuan dan persaingan yang ada pada dirinya, ia tidak akan mampu memenuhi tanggung jawab ini dengan sebenar-benarnya. Karena itu, ia berbuat sesuatu yang melemahkan kekuatan orang–orang beriman dan menguatkan orang yang ingkar kepada Allah. Sebagai akibatnya, orang seperti ini tidak hanya menjadi contoh buruk bagi teman dan keluarganya, tetapi ia juga memikul kesalahan dan dosa besar. Karena itu, ia seharusnya dengan segera berhenti melakukan kebiasaan seperti itu dan mencontoh akhlaq yang lebih mulia. Hanya dengan begitu, ia mampu mendapatkan keikhlasan dan mencapai tingkatan akhlaq yang diridhai Allah. Sebagaimana yang diungkapkan Badiuzzaman, apa yang pantas bagi seorang muslim adalah “membangun kesatuan yang murni dengan sesama muslim” sesuai dengan ayat yang menyatakan, “Tolong-menolonglah satu sama lainnya dalam kebaikan dan amal saleh,” dan memelihara semangat keikhlasan agar tetap hidup.
“Obat yang dibutuhkan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh pertengkaran yang terjadi di antara orang yang beriman adalah untuk membuat seseorang patuh terhadap larangan-larangan Allah. Seperti yang terkandung dalam firman-Nya, ‘... dan janganlah kamu berbantah–bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu...,’ (al-Anfaal [8]: 46)dan perintah Allah tentang kehidupan sosial terkandung dalam firman-Nya, ‘... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan....” (al–Maa`idah [5]: 2)Seseorang seharusnya menyadari lebih jauh betapa berbahayanya perselisihan di dalam Islam dan alangkah bermanfaatnya perselisihan tersebut bagi orang-orang yang sesat atas orang–orang beriman. Seseorang seharusnya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan diri bergabung dengan barisan orang–orang beriman, dengan perasaan akan kelemahan dan ketidakmampuan dirinya. Pada akhirnya, seseorang harus melupakan dirinya sendiri, menyingkirkan kemunafikan dan kepura–puraan, serta berpegang teguh pada keikhlasan.”[9]
Menyingkirkan Kesombongan
Pada bab ini, kita akan membicarakan sifat–sifat yang mengurangi keikhlasan seorang mukmin dan melihat kecenderungan yang dimiliki nafsu jiwa, seperti persaingan, ambisi, dan mengutamakan diri sendiri daripada orang lain. Seluruh ciri pada hawa nafsu yang terdapat pada diri seseorang ini didasarkan pada besarnya godaan setan berupa kesombongan.
Kesombongan dapat ditemukan pada diri orang yang meremehkan ibadah kepada Allah, dengan melupakan kelemahan–kelemahannya, memandang rendah orang lain, dan bangga akan dirinya sendiri. Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang lemah. Ia bergantung pada kekuasaan Allah untuk dapat hidup dan menyokong kehidupannya. Allah adalah Zat Yang Mahakuasa yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan. Zat yang telah meniupkan ruh ke dalam tubuhnya, menaungi, dan memberi rezeki kepadanya, yang menyebabkannya dapat bernafas. Ia adalah Zat yang memberikan berkah yang tak terhitung atas diri manusia. Allah adalah Tuhan semesta alam. Kedengkian atas kemurnian kebenaran ini adalah ketika seseorang berpikir bahwa dirinya adalah orang yang tidak bergantung kepada Allah dan percaya akan kemampuan serta kecakapan yang muncul dari dalam dirinya, namun sesungguhnya ia adalah orang yang menderita karena khayalan dirinya.
Seseorang tidak berhak untuk sombong. Sesungguhnya, Allah dapat menarik kembali seluruh rahmat dan berkah yang dianugerahkan atas dirinya ketika telah datang bukti dan keterangan yang cukup kepadanya. Dari waktu ke waktu, kita telah mengetahui bahaya yang disebabkan sikap sombong atas kecantikan atau ketampanan fisik, pengetahuan, kecerdasan, harta atau status sosial yang dimiliki. Kita juga dapat melihat hal–hal yang terjadi pada manusia ketika mereka kehilangan segala kelebihan yang pernah dimilikinya untuk alasan apa pun. Jika hal ini terjadi dikarenakan tingkah laku yang diperbuatnya, tidak alasan baginya untuk bersedih karena kehilangan kelebihan tersebut. Allah menciptakan kemalangan dan kesulitan dalam hidup di dunia agar membantu manusia memahami kenyataan hidup. Allah menguji umat manusia dengan memberikan banyak kelemahan, seperti ketuaan dan penyakit.
Orang yang menyadari bahwa Allah telah melimpahkan rahmat atas segala yang ia miliki dan juga menyadari bahwa ia tidak memiliki kekuasaan tanpa bantuan serta pertolongan Allah, ia senantiasa berpulang kepada kebijaksanaan Allah dalam penciptaan-Nya, dan dengan segala kerendahan hati, ia mengakui kelemahan yang dimiliki. Menurut Badiuzzaman, langkah terpenting yang harus diambil untuk memperoleh keikhlasan hati adalah dengan menyingkirkan sifat sombong.
“Dengan menjaga kebenaran dari kebohongan, dengan menyingkirkan sifat mementingkan diri sendiri dan pasrah pada kesalahpahaman dari keangkuhan, serta menahan diri dari segala perasaan tidak berarti yang timbul akibat persaingan (jika pemahaman ini melekat pada dirinya), maka keikhlasan akan terpelihara dan manfaatnya akan diwujudkan dengan sempurna.”[10]
Ini merupakan hal terpenting agar kita taat pada ajaran moral tersebut dalam rangka memperoleh keikhlasan. Keangkuhan menyebabkan seseorang bertingkah laku sesuai kehendaknya sendiri daripada bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Keangkuhan berarti lebih mencintai dan menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain, lebih mendengarkan dirinya daripada mendengarkan nasihat orang lain, dan melindungi apa–apa yang dimilikinya dengan segala daya dan upaya. Karena itu, seseorang yang terhanyut dan lalai dari kesombongannya, nuraninya akan tertutupi dari segala peringatan. Karena ia tidak dapat mendengarkan bisikan suara hatinya, ia tidak akan mampu beramal dengan hati ikhlas.
Dalam kitab suci Al–Qur`an, Allah menegaskan pengaruh dan akibat yang ditimbulkan oleh kesombongan,
“Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertaqwalah kepada Allah,’ bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk–buruknya.”(al-Baqarah [2]: 206)
Apa yang sesungguhnya pantas bagi seorang mukmin adalah membuang kesombongan dan menundukkan hawa nafsunya serta melakukan amalan–amalan yang membuat Allah ridha.
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba–hamba-Nya.” (al-Baqarah [2]: 207)
Dalam surah al-Qashash, Allah menjelaskan kepada kita tentang pertemuan terakhir oleh umat-umat yang bersikap takabur terhadap rasul Allah,
“Qarun berkata, ‘Sesungguhnya, aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidak perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash [28]: 78)
Menyadari akan Kerugian yang Ditimbulkan oleh Kesombongan
Kita mungkin dapat melihat lebih jauh tentang kerugian yang disebabkan oleh kesombongan atas keikhlasan seseorang dalam setiap fase kehidupan yang dialaminya. Seseorang yang menyatakan dirinya lebih unggul daripada orang lain, ia akan menolak segala macam kritikan, peringatan, atau nasihat yang datang dari mereka. Meski ada orang lain yang mengingatkan dirinya akan hal yang belum ia pertimbangkan, ia akan sangat terpengaruh oleh perasaan unggul dalam dirinya. Ia akan tetap mempertahankan pendapatnya daripada tunduk pada kebenaran tersebut, walaupun ia tahu bahwa ia berada dalam posisi yang salah. Dengan begitu, ia menjadi tidak ikhlas dan diatur oleh hawa nasunya. Meski demikian, apa yang menjadi contoh keikhlasan adalah menuruti apa yang dikatakan orang lain (bila ia salah, sedangkan orang lain benar, Ed.) serta berserah diri tanpa perlu merasa lebih unggul dari orang lain.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, yang pertama dan terpenting adalah keharusmampuan meninggalkan perasaan egois yang menjadi penyebab timbulnya kesombongan serta menahan diri dari sifat keras kepala dalam diri kita. Hanya dengan demikian, kita diharapkan mampu memenuhi ruh Al–Qur`an dan beramal dengan ikhlas. Badiuzzaman Said Nursi juga mengingatkan mukmin sejati bahwa penangkal yang tepat melawan ambisi untuk merasa lebih unggul dan paling benar dari orang lain adalah dengan melawan kesombongan dan mengakui bahwa mukmin sejati tidak selalu menuruti pikirannya sendiri.
“Satu–satunya obat penyakit ini adalah dengan menyalahkan jiwamu sendiri sebelum orang lain menyalahkannya dan tuntutlah dirimu. Dan dengarkan nasihat sahabatmu, bukan hanya nasihat dari dirimu sendiri. Aturan dari kebenaran dan kewajaran ini dikuatkan oleh sarjana ahli debat, yang berisi, ‘Barangsiapa yang ingin berdebat tentang masalah apa pun, menginginkan kata–benar, siapa saja yang ingin benar dan lawannya salah dan keliru, orang yang demikian telah berlaku tidak adil.’ Tidak hanya itu, orang yang demikian, ketika ia memunculkan kemenangan dalam perdebatan tersebut, ia belum mempelajari segala sesuatu yang sebelumnya tidak ia ketahui dan kemungkinan rasa kebanggaanya akan menyebabkan dirinya kalah. Akan tetapi, apabila lawan bicaranya benar, ia akan belajar sesuatu yang sebelumnya tidak ia ketahui dan dengan demikian ia mndapatkan sesuatu tanpa sedikit pun merasa kalah. Itu sama baiknya seperti terpelihara dari kesombongan. Seseorang yang adil sehubungan dengan kegemarannya pada kebenaran, akan mempersoalkan keinginan jiwanya untuk menuntut sesuatu dari kebenaran tersebut. Jika ia melihat lawannya berada pada posisi yang benar, ia dengan rela akan menerima kekalahannya dan mendukungnya dengan sukacita.”[11]
Keberhasilan seseorang hanya dapat dicapai bila ia mampu melawan kesombongan yang merusak keikhlasan. Allah adalah Zat yang telah menganugerahkan atas diri umat manusia pikiran dan kemampuan. Sebagaimana dinyatakan pada ayat di bawah ini, manusia tidak mengetahui apa–apa kecuali yang telah Allah hidayahkan kepadanya,
“Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang dapat kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan lagi Mahabijaksana.’” (al–Baqarah [2]: 32)
Manusia adalah makhluk lemah yang telah diciptakan Allah dari ketiadaan menjadi ada. Segala kemampuan manusia merupakan hasil pemberian, kemurahan, dan kebaikan Allah. Ketika dibawa ke dalam kebijaksanaan tiada akhir, kekuasaan yang tiada batas, dan pengetahuan yang dimiliki Allah, jelaslah bahwa orang yang beranggapan telah mendapatkan kemampuan tersebut dengan sendirinya, sesungguhnya ia berada pada jurang kesalahan. Ia terbuai oleh kesombongannya kemudian lalai akan kenyataan ini dan berpikir bahwa keberhasilan yang diperolehnya berasal dari prestasi yang dimilikinya. Hal ini lantas membuatnya sombong dan tidak ikhlas. Apa yang pantas bagi seorang mukmin sejati adalah tidak pernah menganggap bahwa keberhasilan yang didapatnya adalah karena kemampuan yang dimilikinya, meski sesungguhnya ia adalah seseorang yang sangat mampu, cerdas, dan merupakan manusia yang paling sempurna yang pernah ada di bumi. Kesombongan tidak akan pernah menguasai dirinya kalau saja ia bersikap santun untuk mengakui kelemahan diri yang menghalanginya dari semua keberkahan tersebut, bahkan kemudian Allah akan melimpahkan kemurahan, bahkan lebih, atas dirinya. Allah akan membawa dirinya menggapai ridha, kasih sayang, serta masuk ke dalam surga-Nya sebagai balasan atas keikhlasan serta ketulusan hatinya. Sekalipun begitu, banyak orang yang lalai dan lupa bahwa kehidupan dunia adalah fana dan hanya merupakan sebuah ujian bagi orang–orang beriman. Mereka akan ingat kepada Allah tatkala ditimpa kemalangan. Akan tetapi, mereka tidak bersyukur ketika keberuntungan serta kenikmatan datang kepadanya. Mereka juga melakukan kesalahan besar, dengan meyakini bahwa keberkahan dan keberuntungan yang diperolehnya itu merupakan hasil jerih payah yang dikerjakannya. Mereka yakin bahwa keberhasilan hanyalah milik mereka semata. Dalam surah az–Zummar, Allah berfirman,
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, ‘Sesungguhnya, aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, namun kebanyakan mereka itu tidak mengetahuinya.” (az-Zumar [39]: 49)
Kecenderungan lain yang sering ada di antara orang yang berada di bawah pengaruh kesombongan adalah “ambisi untuk menjadi pemimpin”. Hawa nafsu menggoda manusia agar berambisi meraih cita–citanya tersebut, bahkan sambil menunjukkan amalan–amalan saleh dan berusaha merusak keikhlasannya dengan memberikan alasan–alasan yang dapat diterima oleh akal. Said Nursi menegaskan,“Keikhlasan dan ketaatan pada kebenaran membutuhkan orang yang seharusnya berkeinginan agar setiap muslim dapat memperoleh keuntungan dan manfaat dari siapa pun dan di mana pun mereka bisa. Berpikir, ‘Biarkan mereka mengambil pelajaran dari diriku. Dengan begitu, aku akan mendapatkan pahala,’ merupakan tipu muslihat dari nafsu dan diri sendiri.”[12] Pada berbagai keadaan, sebagian orang melakukan tindakan dengan mangambil keputusan, “Aku akan menjadi orang yang menyelesaikan tugas ini,” tanpa meminta balasan atas hasil atau manfaat yang dapat diraih sebagai konsekuensinya. Watak seperti ini, dikuasai oleh keinginan untuk memimpin dan rasa sombong, dan hal ini sangat merusak keikhlasan.
Sebagaimana diungkapkan Badiuzzaman, “Jika kita mengatakan kepada diri sendiri, ‘Biarkan diriku yang mendapatkan pahala tersebut, biarkan diriku yang memimpin orang–orang ini, biarkan mereka mendengarkan diriku,’ maka pikiran ini menciptakan persaingan terhadap saudara–saudaranya yang ada di hadapannya dan saudaranya yang benar–benar butuh kasih sayang, pertolongan, persaudaraan, dan bantuan. Mengatakan pada diri sendiri, ‘Mengapa murid–muridku datang kepadanya? Mengapa aku tidak memiliki murid sebanyak yang ia miliki?’ini akan menjatuhkannya menjadi korban keegoisan, kecenderungan penyakit ambisius yang menggebu, ia kehilangan segala keikhlasan, dan terbuka peluang menuju kemunafikan.”[13]Seseorang yang memiliki tabiat buruk akan menganggap saudara muslimnya sebagai saingan bagi dirinya. Rasa tidak rela jika orang lain ditugasi tanggung jawab penting dan berhasil menyelesaikan tugasnya, dapat dipahami sebagai keinginan untuk tidak mengharapkan siapa pun mendapatkan pahala surga atau menerima sebuah tanggung jawab yang membuatnya masuk ke dalam surga.
Sifat yang paling mulia menurut Al–Qur`an adalah yang paling ikhlas, dengan membiarkan orang lain memperoleh jalan masuk ke surga dan menumbuhkan semangat mereka agar memulai tugas–tugas yang membuat Allah senang.
Seorang muslim seharusnya berharap agar orang lain memperoleh pahala–pahala surga dan melakukan tugas–tugas mulia yang membimbing mereka kepada pertolongan di hari kiamat. Seperti halnya ia ingin melakukan amal saleh untuk keuntungan dirinya sendiri. Mengubah perilaku baik seseorang demi kepentingan ambisi duniawi, dengan mengatakan, “Aku adalah orang yang paling mampu menyelesaikan tugas ini”, “Biarkan mereka melihat betapa aku mampu mengurus tugas tersebut dengan baik dan melihat betapa unggulnya kelebihan–kelebihan yang aku miliki”, “Aku akan melakukan pekerjaan ini agar dapat meraih status dan martabat di antara orang–orang beriman”, adalah bertentangan dengan keikhlasan. Yang bahkan seharusnya dilakukan seseorang adalah memberikan yang lebih dia sukai kepada mukmin lain. Ia dapat menunjukkan bahwa ia juga memiliki keunggulan yang membuat dirinya mampu mengamalkan perbuatan baik dan berlaku ikhlas. Agar dapat mengalahkan kesombongan dan ambisinya atas kekuasaan, Badiuzzaman said Nursi memberikan nasihat,
“Obat dan penyembuh bagi penyakit hati yang serius ini adalah dengan membanggakan sahabat atau teman seperjuangan dalam menempuh jalan yang lurus. Ini berkaitan dengan prinsip mencintai karena Allah. Selain itu, dengan mengikuti mereka serta menolak menjadi pemimpin mereka dan menganggap orang yang berada di jalan Allah mungkin lebih baik dari dirinya sendiri. Dengan demikian, sifat egois diharapkan dapat hancur dan keikhlasan diperoleh kembali. Penyakit hati ini juga bisa dihindari dengan mengetahui bahwa sebuah perbuatan kecil yang dilakukan dengan ikhlas lebih disukai daripada perbuatan besar yang dilakuakan tanpa keikhlasan, serta menyukai status sebagai pengikut daripada pemimpin, dengan segala bahaya dan tanggung jawab yang harus dipikul. Jadi, keikhlasan harus dimiliki setiap orang dan merupakan tugasnya dalam rangka mempersiapkan diri untuk hari kiamat yang kedatangannya pasti akan terjadi.”[14]
Dengan ungkapan ini, Said Nursi--sekali lagi--telah menegaskan betapa pentingnya keikhlasan dan ia mengingatkan orang–orang beriman bahwa mereka yang ingin menikmati kehidupan surga di akhirat harus membersihkan dirinya dari sifat mementingkan diri sendiri, seperti egoisme, persaingan, dan ambisi untuk menjadi pemimpin.
Said Nursi juga memberikan catatan tentang pentingnya memberikan sesuatu yang lebih didambakan oleh mukmin lainnya sebagai sebuah bentuk keikhlasan. Memperkenankan saudara mukmin lainnya untuk memimpin dan gembira dengan apa yang dicapainya. Said Nursi juga mengingatkan orang–orang beriman bahwa yang sesungguhnya mencerminkan keikhlasan adalah dengan berkeyakinan bahwa orang lain juga mampu lebih unggul dari dirinya dan mengakui keunggulannya itu.
Menahan Diri dari Kemunafikan
Kemunafikan adalah salah satu kecenderungan yang didorong oleh hawa nafsu. Ia bertentangan dengan ketentuan dan aturan yang terdapat dalam Al–Qur`an. Kemunafikan mengandung arti bahwa maksud sebenarnya yang tersembunyi dalam diri seseorang berbeda dengan sifat lahiriahnya. Dengan kata lain, orang tersebut bermuka dua, tidak berkelakuan sesuai dengan yang ia yakini. Jadi, kemunafikan merupakan sifat buruk yang merusak keikhlasan. Kenyataan yang membuktikan bahwa seseorang yang dapat berlaku tidak ikhlas dan melakukan dua sikap yang berbeda dalam lahir-batinnya, menunjukkan bahwa ia sepenuhnya belum memahami arti keimanan serta tidak menghargai kebesaran kekuasaan dan kebijaksanaan Allah.
Allah Maha Menguasai segala sesuatu, Dia Maha Mengetahui sesuatu yang dirahasiakan, Maha Mengetahui sesuatu yang terlintas dalam pikiran manusia, dan Maha Melihat di mana pun mereka berada. Jika seseorang berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya dan berusaha menunjukkan kebalikannya, berarti ia telah melupakan sifat-sifat Allah. Walaupun ia berhasil menyenangkan orang lain yang berada di sekelilingnya melalui perbuatan dan kata–katanya, Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di lubuk hatinya.
Orang yang takut kepada Allah akan menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan yang membuat Allah murka. Manusia dapat menyanjung orang lain di dunia ini karena kemunafikannya, namun ia tidak akan pernah mendapatkan kesenangan di akhirat. Harus diingat bahwa kenikmatan yang diraih selama hidup di dunia adalah fana jika dibandingkan dengan kenikmatan yang didapatkan di akhirat. Allah mengingatkan kita tentang kebenaran ini sebagaimana firman-Nya dalam surah at-Taubah,
“... Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah [9]: 38)
Seseorang yang memiliki sifat munafik adalah orang yang bermuka dua dan orang yang sombong. Dengan kehendak Allah, mukmin sejati akan mampu mengetahui tabiat seperti itu. Kenyataan menjelaskan bahwa para rasul Allah diberi pengetahuan yang ditanamkan dalam diri mereka oleh Allah. Mereka mampu mengenali dan mengetahui orang–orang munafik yang menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka pikirkan dengan bersikap munafik serta menampilkan jati diri yang berbeda dari yang sebenarnya. Orang-orang munafik menunjukkan kemampuan bicaranya dan penampilannya. Meskipun orang–orang seperti ini tidak dapat dikenali oleh mukmin sejati, Allah mengetahui kepura–puraan dan ketidaktulusannya. Dia Maha Mendengar setiap ucapan dan kata–kata, dan Dia Maha Melihat setiap tingkah lakunya. Allah menjelaskan lebih lanjut tentang pengetahuan-Nya ini dalam salah satu firman-Nya,
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.”(ath-Thaghaabun [64]: 4)
Seorang mukmin sejati tidak perlu bersandar pada kemunafikan untuk membuat orang lain mau mengasihi dan menerimanya. Hal ini karena hanya Allahlah yang mampu menanamkan kasih sayang di antara manusia. Tiap-tiap mukmin lazimnya mambantu dan mengasihi mukmin yang berjuang dan berusaha menggapai ridha Allah. Merupakan dasar keyakinan orang–orang beriman untuk mencintai seseorang yang sopan, ikhlas, jujur, dan murni. Memperoleh ridha Allah akhirnya juga akan membawa kita pada keridhaan para mukmin sejati. Perbuatan yang dilakukan semata–mata untuk mendapatkan ridha manusia akan menjadi tidak berguna dalam usaha untuk menggapai ridha Allah.
Karena itulah, seseorang seharusnya tidak mendengarkan hasutan nafsunya. Ia seharusnya menyucikan diri dari segala macam sifat dan pemikiran yang mengarah pada kemunafikan untuk memperoleh keikhlasan.
Meninggalkan Ambisi untuk Memperoleh Kekuasaan dan Jabatan
Penyebab lain yang mencegah manusia dari keinginan menggapai ridha Allah dan berjuang dengan ikhlas demi memperoleh surga adalah kesenangan yang berlebihan akan nilai–nilai kehidupan duniawi, seperti kekuasaan, status sosial dan nama baik. Nilai–nilai duniawi seperti itu sama sekali tidak ada artinya untuk akhirat. Allah memberitahukan bahwa kelebihan manusia ditentukan bukan berdasarkan kekuasaan atau status, melainkan berdasarkan tingkat kebajikannya. Sebagaimana firman-Nya,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki–laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku–suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49]: 13)
Dalam salah satu karyanya, Badiuzzaman Said Nursi menegaskan kenyataan ini,
“(Rintangan kedua yang merusak keikhlasan) adalah menyanjung diri sendiri dan mengutamakan bujukan nafsu setan dengan menarik perhatian diri dan perhatian serta sambutan orang lain, yang digerakkan oleh keinginan akan ketenaran, kemasyhuran, dan pangkat atau jabatan. Ini sungguh–sungguh merupakan penyakit hati yang serius, yang membuka peluang menuju kemunafikan dan mementingkan diri sendiri. Hal ini disebut ‘penyekutuan Allah yang tersembunyi’ dan ini merusak keikhlasan.” [15]
Keyakinan bahwa kekuasaan dan jabatan termasuk sebuah kelebihan, adalah tipuan yang lazim terjadi di kalangan orang–orang awam. Siapa pun mukmin sejati yang memahami makna keimanan, ia tidak akan berada pada kecenderungan godaan–godaan hawa nafsunya. Ia bahkan akan mencari kelebihan melalui keikhlasan. Karena itu, orang yang menyucikan jiwanya dari keinginan–keinginan tersebut akan mendapatkan sesuatu yang jauh melebihi apa yang ada di dunia ini. Ia akan dilimpahi ketenaran dan kehormatan sejati. Umat manusia diingatkan akan kenyataan ini dalam salah satu ayat kitab suci Al–Qur`an,
“Jika kamu menjauhi dosa–dosa besar di antara dosa–dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan–kesalahanmu (dosa–dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (an-Nisaa` [4]: 31)
Agar layak mendapatkan tempat mulia tersebut, kita harus memahami kebenaran di bawah ini,
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan–perkataan yang baik dan amal saleh dinaikkan-Nya....”(Faathir [35]: 10)
Allah adalah satu-satunya pemilik kemuliaan. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan adalah melakukan amalan–amalan saleh dengan ikhlas.
Dalam karyanya, Badiuzzaman Said Nursi memberikan perhatian khusus pada masalah ini. Ia menyoroti betapa fana kekuasaan duniawi, seperti status dan nama baik, jika dibandingkan dengan tempat mulia yang dapat diperoleh di akhirat. Ia mengutip ayat Allah, “Janganlah kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan harga yang rendah,” dan ia menyatakan,
“Kita sangat perlu belajar dengan sungguh–sungguh tentang keikhlasan dalam diri kita sendiri. Dengan kata lain, apa yang telah kita capai sejauh ini dalam pengorbanan dan pengabdian kita yang suci akan menjadi bagian yang hilang dan tidak akan bertahan selamanya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Kita akan membuktikan ancaman keras yang terkandung pada larangan Tuhan, “Janganlah kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan harga yang rendah,” (al-Baqarah [2]: 41) dan perusakan keikhlasan, yang akan mengancam kebahagiaan abadi demi kepentingan yang tiada arti, tiada penting, berbahaya, menyedihkan, mementingkan diri sendiri, menjemukan, perasaan-perasaan yang berdasar pada kemunafikan, dan keuntungan yang tidak berarti. Dan perbuatan-perbuatan tersebut juga akan melanggar hak–hak saudara kita, mengingkari tugas yang ditugaskan oleh Al–Qur`an, dan menjadi tidak hormat terhadap suci dan benarnya keimanan.”[16]
Keinginan untuk mendapatkan status dan kekuasaan mencegah seseorang untuk tidak ikhlas dalam beramal serta menjadikannya tidak jujur. Sebagian orang yang ingin menggapai ridha Allah dan ganjaran surgawi, mungkin juga ingin mendapatkan kemuliaan dan nama baik di dunia ini. Secara tidak sengaja, hal ini akan menjadi penyebab menurunnya amalan-amalan yang dikerjakannya. Setiap mukmin sejati harus memperhatikan peringatan Al–Qur`an ini dan membersihkan jiwanya dari keinginan–keinginan untuk mendapatkan nama baik dan kemuliaan di dunia. Ia harus berusaha untuk menggapai keagungan dan kemuliaan bersama Allah.
Sebaliknya, seseorang akan dilalaikan oleh “persaingan satu sama lainnya untuk saling mengungguli” hingga akhir hayatnya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Bermegah–megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (at-Takaatsur [102]: 1-2) Ia hanya akan memahami bahwa ajalnya di akhirat adalah hasil dari menghabiskan tahun demi tahun untuk memenuhi hasrat hawa nafsunya yang sia-sia. Segala daya dan upaya yang dilakukannya tidak akan berguna. Lebih baik bagi seorang mukmin untuk menyucikan diri dari keburukan jiwanya semasih ada waktu untuk memperbaikinya di dunia. Ia akan memperoleh keikhlasan, yakni sebuah tingkatan akhlaq yang diridhai Allah.
Tidak Cemas akan Kekayaan dan Hidup Seseorang
Kecenderungan buruk hawa nafsu adalah cinta yang berlebihan terhadap harta benda dan keindahan jasmani. Karena itu, hawa nafsu akan terus-menerus menyemangati seseorang agar lebih berambisi untuk mendapatkan dua hal tersebut. Akan tetapi, harta benda dan keindahan fisik tidak diciptakan untuk dicintai secara berlebihan, tetapi sebagai ujian bagi manusia dalam kehidupan dunia ini. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran,
“Kamu sungguh–sungguh akan di uji terhadap hartamu dan dirimu....” (Ali Imran [3]: 186)
Allah menjanjikan balasan surga bagi mereka yang lebih suka mengorbankan hartanya demi menggapai ridha Allah daripada terobsesi mengejar harta dunia. Allah menjelaskan kepada umat manusia bahwa mereka sebaiknya bersikap demikian demi memperoleh kebahagiaan dan keberhasilan di akhirat sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang–orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al–Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah [9]: 111)
Karena itu, mukmin sejati dengan hati–hati akan menahan diri untuk mencintai harta dan diri mereka secara berlebihan. Nafsu akan terus-menerus merayu manusia untuk mendapatkan dua hal tersebut. Akan tetapi, seorang mukmin sejati yang sadar dan yakin kepada janji Allah, tidak akan mengikuti kecondongan hawa nafsunya. Dengan demikian, tidak ada yang dapat diraih melalui harta dan usaha pribadi dalam kehidupan dunia jika dibandingkan dengan keberkahan di akhirat. Karena itu, Allah memerintahkan manusia untuk “bergembira dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu”.
Manusia ditakdirkan untuk menikmati keberkahan di dunia ini hanya dalam waktu singkat. Pada saat kematian, seseorang tidak hanya akan dipaksa meninggalkan jasadnya, tetapi juga harta yang telah dikumpulkannya selama hidup di dunia. Keberkahan yang dilimpahkan Allah di akhirat adalah makna sebenarnya bagi pencapaian kebahagiaan dan keberhasilan. Badiuzzaman mengutarakan keadaan mereka yang sangat terikat pada harta dan kehidupannya, dan kemudian memahami kagagalannya,
“Jadi, dalam tubuh manusia ada banyak emosi. Tiap–tiap bagiannya memiliki dua tingkatan, yang satu merupakan kiasan dan yang lain adalah keadaan sebenarnya. Sebagai contoh, emosi kegelisahan akan masa depan telah ada dalam diri setiap orang. Seseorang yang sangat gelisah akan masa depan, ia melihat bahwa dirinya tidak memiliki apa–apa yang menjaminnya akan meraih masa depan yang ia cemaskan. Juga dalam menghormati pemeliharaan, ada sebuah usaha darinya. Masa depan adalah singkat dan tidak bemanfaat untuk sangat cemas seperti itu. Jadi, ia akan berpaling dari masa depan menuju masa depan di alam baka yang akan berlangsung lama. Bagi yang tidak memperhatikan, ia tidak berusaha ke arah sana.”[17]
Pada karya yang sama, Badiuzzaman Said Nursi mengemukakan kegagalan nafsu manusia akan harta benda dan pribadi mereka sendiri,
“Manusia juga menunjukkan ambisi yang kuat akan harta benda dan jabatan, kemudian ia memahami bahwa kekayaan yang telah diamanahkan untuk sementara waktu di bawah kontrolnya adalah fana dan tidak abadi. Ketenaran serta jabatan yang mencelakakan, membahayakan, dan menjerumuskan manusia ke dalam jurang kemunafikan adalah tidak berguna dalam berambisi seperti itu. Ia kemudian berpaling dari hal–hal yang demikian menuju tingkat dan derajat rohani dalam pendekatan diri kepada Allah, yang mengangkatnya ke tingkatan/derajat yang sejati dan pembekalan diri menuju hari kiamat, dan amalan–amalan saleh yang merupakan harta yang sebenarnya. Ambisi metaforis yang merupakan hal buruk diubah menjadi ambisi sejati, sebuah sifat yang ditinggikan.”[18]
Jika seseorang cemas akan harta benda dan kehidupannya, tidak mungkin baginya mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang tulus, menundukkan dirinya di hadapan Allah. Nafsu–nafsu yang tersembunyi dalam jiwanya akan mengarahkannya secara sembunyi-sembunyi dan menyebabkannya bertindak demi kepentingan dirinya sendiri daripada berusaha menggapai ridha Allah. Sebagai perumpamaan, ketika ia menemukan seseorang yang membutuhkan, ia lebih suka menyimpan kenikmatannya sendiri daripada menyedekahkan dan membantu orang yang lebih membutuhkan. Namun sebagaimana yang Allah jelaskan pada ayat di bawah ini, yang lebih mewakili keikhlasan adalah rela memberikan atau menyedekahkan hartanya kepada orang lain, sekalipun dengan ini berarti ia tidak akan memiliki apa–apa,
“Dan orang–orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(al-Hasyr [59]: 9)
Begitu pula keinginan pribadinya yang akan memalingkan perhatiannya demi menggapai ridha Allah. Allah menjelaskan kepada kita dalam kitab suci Al–Qur`an bahwa pilihan seperti itu hanya akan mendatangkan aib,
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara– saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di Jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at-Taubah [9]: 24)
Sebagaimana telah diuraikan oleh Allah, kekayaan seseorang tidak akan berguna di akhirat,
“Dan Hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (al-Lail [92]: 11)
Hanyalah mereka yang ikhlas yang akan diganjar dengan keberkahan yang tiada akhir dan kekal,
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (al-Lail [92]: 17-21)
Al–Qur`an menceritakan berbagai contoh keadaan orang–orang yang sangat cemas akan kehidupan dan harta mereka. Dengan demikian, mereka kehilangan keikhlasannya dan tidak sanggup meraih ridha Allah. Ketika Rasulullah saw. mengajak orang-orang untuk berjihad dengan diri mereka demi kepentingan Allah, beberapa di antaranya mengatakan, “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama–samamu,” (at-Taubah [9]: 42) sedangkan yang lainnya berkata,“Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” (at-Taubah [9]: 81) Karena itu, mereka melebihkan diri mereka sendiri dengan menguraikan alasan–alasan selanjutnya. Sambil mencari-cari alasan, sebagian mereka pergi keluar dengan melafalkan sumpah atas nama Allah untuk menunjukkan bahwa mereka mengatakan yang sesungguhnya. Akan tetapi, Allah menegaskan bahwa Dia mengetahui kebohongan yang mereka lakukan. Mereka telah memberikan jiwa mereka kepada hukuman atas ketidakikhlasannya. Sikap yang dimiliki para mukmin sejati--sebagaimana dilukiskan pada ayat yang dikutip di bawah ini--adalah bahwa yang mewakili keikhlasan sesungguhnya adalah,
“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung.” (at-Taubah [9]: 88)
Orang-orang beriman akan berjihad dengan harta dan dirinya demi mendapatkan ridha Allah. Pada salah satu ayat-Nya, Allah mengabarkan berita gembira bagi orang-orang beriman bahwa mereka yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka dan mereka yang mengakui adanya kepentingan besar demi ridha Allah, akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Tuhannya. Sebagaimana dinyatakan dalam surah an-Nisaa`,
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak memiliki uzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala besar.” (an-Nisaa` [4]: 95)
[1] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-21.
[2] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-21.
[3] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-21.
[4] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalsh an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20.
[5] Hadits Bukhari-Muslim dari Nu’man Ibnu Bashir.
[6] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-21.
[7] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20.
[8] Hadits sahih Bukhari-Muslim.
[9] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20.
[10] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20.
[11] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20.
[12] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20.
[13] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20.
[14] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20.
[15] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-21
[16] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-21.
[17] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan Surat, Surat Ke-9