Tahun ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi rumput laut 5,1 juta ton. Target tersebut seiring keinginan menjadikan Indonesia sebagai produsen utama rumput laut di dunia.

"Pemerintah terus berupaya meningkatan produktivitas kelautan dan perikanan secara terpadu. Salah satunya melalui kebijakan industrialisasi rumput laut," kata Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Saut P Hutagalung, saat membuka Koordinasi dan Sosialisasi Pengembangan Rumput Laut di Takalar dan Jeneponto, Selasa 15 Mei di Hotel Grand Clarion.


Menurut dia, industrialisasi rumput laut penuh hambatan dan tantangan. Salah satunya, kualitas rumput laut yang belum memenuhi standarisasi industri. Karena itu, butuh perhatian penuh. "Kami memilih lima daerah yakni Jeneponto, Takalar (Sulsel), Sumbawa (NTT), Parigi Moutong dan Minahasa Utara (Sulut) sebagai percontohan nasional industrialisasi rumput laut. Diharapkan program industrialisasi itu bisa berjalan mulai dari daerah," kata Saut.

Khusus untuk budi daya rumput laut, potensinya cukup besar untuk dikembangkan. Saut mengatakan, budi daya rumput laut menggunakan modal kerja yang relatif kecil dengan teknologi yang sudah dikuasai serta masa tanam relatif pendek, yaitu 45 hari.  Hal itu, memungkinkan pembudidaya rumput laut meningkatkan pendapatan masyarakat setempat sekaligus menyerap banyak tenaga kerja.

"Potensi budidaya rumput laut sangat besar karena panjang garis pantai Indonesia mencapai 95.000 kilometer, sehingga ke depan komoditas itu, akan menjadi fokus pengembangan," bebernya.

Berdasarkan data KKP, pada 2011 produksi rumput laut Indonesia mencapai 4.305.027 ton. Sebanyak 95.200 ton merupakan produksi rumput laut jenis glacilaria sp kering. Tahun 2011 Indonesia juga telah mengekspor agar-agar (hasil olahan rumput laut) sebesar 1.827 ton dengan nilai total USD12,6 juta.

Menurut Saut, selama ini, rumput laut Indonesia diekspor ke China dan Eropa. Ia mengakui, volume ekspor rumput laut RI masih kecil. Selain itu, industri pengolahan di dalam negeri juga masih kekurangan pasokan. 

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani dan Pengelola Rumput Laut Indonesia (ASPPERLI), Arman Arfah, mengatakan, melalui rencana aksi bersama pengembangan industri rumput laut pada dua lokasi di Takalar dan Jeneponto diharapkan membuka akses ke perbankan.


Menurut Arman, hingga saat ini, persoalan utama rumput laut sulit dikembangkan karena perbankan belum tertarik untuk membiayai pembudidaya rumput laut. Pembudidaya umunya mendapat dana dari para tengkulak atau rentenir.

Meski dengan bunga tinggi, pembudidaya harus bisa menerima. Sebab mereka membutuhkan modal untuk budi daya. "Persoalan pendanaan telah lama dihadapi petani. Para petani rumput laut sulit mendapatkan kredit sebab bank menilai usaha ini tidak feasible dan tidak bankable," bebernya. (aci/upi)


 Sumber:  MAKASSAR, FAJAR 
 
Top