cita-cita besar itu akan mati kering
(Soe Hok Gie)
Tahun 2011 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan target produksi perikanan budidaya sebesar 6,847 juta ton sebagaimana tertulis dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) KKP 2010-2014. Dengan melihat kembali pencapaian produksi perikanan budidaya tahun 2010, di atas kertas target 2011 tentu akan mudah dicapai.
Pencapaian produksi tahun 2010 merupakan start yang tidak hanya baik, tetapi juga briliant dari sebuah rencana pembangunan jangka menengah karena target produksi budidaya sebesar 5,38 juta ton dalam Renstra berhasil dilampaui yaitu dengan total produksi 5,48 juta ton.
Di balik keberhasilan pencapaian produksi budidaya tahun 2010, sebenarnya tersimpan beberapa hal mendalam yang masih perlu dijelaskan. Keberhasilan menjelaskan strategi inilah inti dari kehebatan sesungguhnya pembangunan perikanan budidaya.
Mengendalikan Risiko
Strategi pertama yang patut dijelaskan adalah strategi pengendalian risiko. Setidaknya ada tiga kelompok risiko yang mempengaruhi budidaya ikan selama 2010, yaitu perubahan iklim, serangan penyakit, bencana alam dan kerusakan lingkungan. Perubahan iklim telah menjadi isu global, kalau sejenak saja kita sempatkan mencari hasil penelitian di banyak negara maka kita akan mendapatkan banyak upaya untuk mengurangi pengaruh perubahan iklim bagi perikanan budidaya. Sebaliknya, hampir tidak ada publikasi KKP yang berisi strategi budidaya ikan di tengah perubahan iklim global.
Pun demikian dengan kasus penyakit, bencana alam dan kerusakan lingkungan hampir setiap bulan secara bergantian dapat kita dapatkan pemberitaannya di media masa sepanjang tahun 2010. Sekali lagi, hal sebaliknya berupa strategi pengendalian dan antisipasinya sangat jarang ditemui dalam pemberitaan.
Anggaplah risiko-risiko di atas dapat dikendalikan oleh KKP dan hal itu tidak terwartakan di media masa, anggap juga bahwa KKP dengan diam-diam telah memiliki strategi untuk mengantisipasi risiko itu. Tetapi, mungkinkah dalam waktu efektif kurang dari 1 tahun strategi tersebut telah berhasil ditransfer kepada pembudidaya sebagai pelaku utama pembangunan?
Untuk memberikan gambaran betapa di tengah geliat perkembangan teknologi informasi ini transfer teknologi tidaklah semanis yang dibayangkan, baru-baru ini di sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, saya menyaksikan seorang pegawai dinas kelautan dan perikanan dalam suatu pertemuan dengan pembudidaya ikan memberikan jawaban atas pertanyaan, “Bagaimana agar suhu kolam ikan bisa stabil?”, maka dengan mantap dijawablah oleh pegawai tersebut, “Untuk menstabilkan suhu bisa diberikan garam 15 g/ m3.
Kasus ini adalah contoh bahwa suatu teknologi baru yang hebat terkadang tetap berada di menara gading pemerintah pusat karena teknologi sederhana yang sudah lama saja tidak diketahui oleh level dinas kabupaten, yang notabene rantai ke-3 dari pemerintah pusat, lantas kalau demikian apakah masyarakat pada level pembudidaya yang masih menanyakan masalah tersebut bisa menerapkan teknologi terbaru dan terhebat untuk memacu produksinya? Inilah potret nyata kesenjangan informasi yang menimbulkan keraguan apakah bagian terbesar dari pembudidaya mampu mengakses dan menerapkan teknologipengendalian risiko kalau teknologi itu memang ada.
Memacu Produksi
Keberhasilan mengendalikan risiko saja belum cukup untuk membuat lonjakan produksi budidaya. Produksi akan meningkat dengan pesat apabila terjadi peningkatan produktifitas atau perluasan usaha yang dua-duanya berarti penambahan biaya. Dalam hal ini, kerangka analisis bisa kita petakan menjadi dua, yaitu peningkatan produksi melalui pembiayaan pemerintah dan peningkatan produksi secara mandiri.
Memang pemerintah dalam hal ini KKP menggelontorkan miliaran rupiah untuk kegiatan budidaya masyarakat, tetapi anggaran tersebut benar-benar efektif siap digunakan tidak lebih dari dua bulan menjelang akhir tahun anggaran 2010 (Kompas, 25 Oktober 2010). Dengan demikian, kecuali rumput laut, hampir pasti kegiatan pembudidayaan ikan yang bersumber dari anggaran pemerintah baru bisa dipanen pada awal 2011, sehingga statistik perikananpun seharusnya masuk dalam statistik 2011 bukan statistik 2010.
Kalau peningkatan produksi 2010 dari anggaran pemerintah sangat kecil kemungkinannya, maka yang tersisa adalah peningkatan produksi secara mandiri. Seorang pengusaha pembudidaya memutuskan ekspansi bisnis untuk peningkatan produksi selalu didasari pertimbangan iklim bisnis dan kalkulasi finansial dan mempertimbangkan trend usaha selama bertahun-tahun. Kalau iklim bisnis budidaya ikan ini tidak menawarkan perubahan yang benar-benar suatu lonjakan signifikan, para pengusaha tidak akan bersedia untuk langsung menggenjot bisnisnya. Tetapi dari statistik 2010, peningkatan produksi langsung melampaui target, tentu harus didukung suatu penjelasan perubahan iklim bisnis apa yang terjadi sehingga para pengusaha memacu produksinya?
Mungkin ada juga yang berpendapat bahwa pengusaha budidaya kita adalah tipikal pengusaha nasionalis, sehingga dengan iklim bisnis yang tidak berubah sekalipun dan hanya dengan ada visi KKP “Indonesia sebagai Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015” yang diterjemahkan dengan peningkatan produksi perikanan budidaya 353%, para pembudidaya kita secaraserempak meningkatkan produksinya.
Kekuatan Visi
Visi adalah suatu penggerak hebat terjadinya perubahan, syaratnya visi tersebut adalah visi bersama seluruh stakeholder meskipun bisa saja asalnya dari pemimpin tertinggi. Jadi visi KKP harus menjadi impian seluruh bangsa, mulai Menteri KKP hingga pegawai terrendah di dinas kelautan dan perikanan kabupaten, dari pengusaha pembudidaya ikan hingga pembudidaya kecil dengan hanya sepetak lahan.
Masalahnya, apakah dalam waktu baru satu tahun visi KKP sudah menjadi visi bersama. Untuk mengujinya, tanyalah para kepala dinas kelautan dan perikanan kabupaten yang merupakan lini depan operasional pemerintahan, apakah visi KKP menjadi visi meraka? Atau visi mereka adalah visi daerahnya sendiri-sendiri sebagai wujud otonomi yang tidak terkendali. Tanya juga pegawai-pegawainya tentang pengetahuan mereka mengenai visi KKP, jawabannya pastilah tidak menggembirakan kita semua. Demikian juga para pembudidaya, visi KKP bisa jadi belum pernah mereka dengar, apalagi harus turut mereka perjuangkan.
Catatan Penutup
Melihat seluruh hipotesis di atas, tentu kita berharap bahwa yang terjadi pada tahun 2010 adalah kebalikannya. Jadi anggap saja selama 2010, KKP telah berhasil menciptakan pola-pola budidaya ikan yang mampu mengendalikan risiko perubahan iklim, serangan penyakit, dan kerusakan lingkungan. Anggap juga bahwa semua teknologi tersebut langsung tersebar dan diterapkan oleh pembudidaya, iklim usaha yang dicerminkan tingginya permintaan ikan budidaya juga jauh melonjak sehingga memacu pembudidaya untuk meningkatkan produksinya. Dan yang terakhir, anggap saja dalam waktu satu tahun visi KKP sudah menjadi visi seluruh masyarakat Indonesia sehingga diikuti oleh partisipasi dan mobilisasi sosial dengan meningkatkan produksi budidaya. Hanya saja, kalau keadaan-keadaan ini yang terjadi, masih tersisa untuk dijelaskan apa saja yang dilakukan untuk mewujudkannya dan khusus kehadiran pemimpin dengan visi yang mampu memobilisasi masa harus kita syukuri karena bisa jadi tipe pemimpin yang langka seperti ini muncul kembali.
Bagaimana pendapat Anda?
sumber: Arif Sujoko*)