Oleh :Rustadi,
Kepala bidang perikanan tangkap
Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Mukomuko


Pendahuluan
Sejak zaman dahulu teknik penangkap ikan telah berkembang dari cara menangkap seekor demi seekor hingga cara menangkap ratusan hingga ribuan ekor sekaligus. Hal ini ditunjang oleh perkembangan alat penangkap ikan dari alat yang paling sederhana, yaitu tombak dan pancing, hingga jaring yang berukuran sangat besar (Von Brandt, 1984). Selain itu perkembangan alat bantu berupa kapal dan mesin-mesin hidraulik sangat menunjang pengoperasian alat tangkap dalam skala besar.

Pengoperasian alat tangkap ikan yang berskala besar dan lebih modern seperti trawl, purse seine, long line dan pole and line sudah sejak lama dilakukan oleh nelayan asing dari negara tetangga terutama Jepang dan Taiwan dan mulai dikembangkan oleh masyarakat Indonesia terutama di Sumatera dan Jawa yaitu sekitar pertengahan tahun 1970-an. Sejak saat itu mulailah terjadi berbagai konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan trawl yang terjadi di Jambi dengan aksi pembakaran beberapa kapal trawl (Kusnadi, 2002) dan meluas ke beberapa daerah lain di Sumatera dan Jawa. Para nelayan tradisional khawatir akan kehabisan ikan karena hasil tangkapan trawl dinilai sangat menguras hasil laut.

Untuk dapat mengantisipasi konflik tersebut, Menteri Pertanian mengeluarkan surat keputusan No 609/KPTS/UM/9/1976 (http://www.terangi.or.id/misc/lain.htm ; 27 Desember 2004) untuk mengatur daerah penangkapan kapal trawl dasar. Akan tetapi konflik terus berlanjut hingga terbitlah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl secara bertahap di seluruh perairan Indonesia. Kalau ditanya alasannya selalu dijawab karena trawl merusak habitat organisme dasar perairan. Akan tetapi kalau alat ini dianggap tidak ramah lingkungan mengapa hanya Indonesia satu-satunya negara di dunia yang melarang pengoperasian trawl ?. Bagaimana dengan alat lain, misalnya Bagan dan purse seine ? Apakah alat-alat tersebut ramah lingkungan ?.


Konsep penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Pengembangan teknologi penangkapan ikan saat ini terutama ditujukan pada pengurangan tertangkap ikan yang masih kecil dan ikan non-target ( by-catch) agar upaya penangkapan tidak mengarah pada kegiatan yang merusak sumberdaya. Berdasarkan hal tersebut pada trawl dikembangkan penggunaan jaring persegi empat dan bukan belah ketupat sebagaimana bentuk jaring pada umumnya dengan tujuan mengurangi kemampuannya dalam menangkap ikan-ikan kecil, sedangkan untuk dapat mengurangi ikan non target, dibuatlah BED (By-catch Excluder Device) dan TED (Turtle Exclusion Devices) (King, 1995).

Saat ini konsep penangkapan yang ramah lingkungan semakin berkembang dengan dimasukkannya unsur-unsur lain untuk dapat memenuhi kriteria bagi alat lain, misalnya untuk purse seine dan bagan lampu listrik (bagan rambo), lampu yang digunakan untuk membantu dalam mengumpulkan ikan tidak memboroskan eneregi.

Permasalahan Trawl di Indonesia
Trawl adalah pukat yang dioperasikan dengan bantuan satu atau dua kapal yang berfungsi menarik alat tersebut agar dapat menyapu perairan. Berdasarkan posisinya di dalam air, trawl terbagi tiga kelompok, yaitu : surface trawl (pelagic trawl), mid water trawl (semi-pelagic trawl) dan bottom trawl.

Banyak kalangan peneliti menganggap bahwa pengoperasian trawl, terutama bottom trawl merusak habitat organisme dasar karena dalam pengoperasiannya alat ini mengeruk dan mengaduk dasar perairan. Alat ini dapat dioperasikan di perairan dengan dasar pasir berlumpur. Perairan seperti ini banyak ditemukan di daerah pesisir Kalimantan, terutama di bagian timur, Selat Malaka, Pesisir Utara Jawa, Teluk Bone, Teluk Tomini, Laut Arafura dan pesisir Irian. Oleh karena banyak beroperasi di wilayah pesisir, banyak sekali terjadi benturan sosial dengan para nelayan tradisional, sehingga Pemerintah berkewajiban mengatur daerah penangkapan alat ini melalui SK Menteri Pertanian No. 609/KPTS/UM/9/1976 yang menetapkan jalur penangkapan bagi bottom trawl.
Sungguhpun telah ditetapkan, para nelayan Trawl selalu melanggar ketentuan ini dan akhirnya terjadilah peristiwa pembakaaran kapal-kapal trawl di beberapa pelabuhan perikanan di Indonesia. Jadi sebetulnya yang menjadi penyebab pelarangan trawl di Indonesia adalah ketidak disiplinan para nelayannya.

Permasalahan lain yang timbul akibat pengoperasian Tawl ini adalah ikan yang merupakan target kedua setelah udang, biasanya dibuang kembali ke laut oleh para nelayan karena palkah yang tersedia sangat terbatas. Hal ini bagi masyarakat Indonesia dianggap suatu tindakan yang “mubazir” sehingga perlu adanya pengaturan dalam tata cara penanganan hasil tangkapan trawl

Untuk mengurangi kelebihan hasil tangkapan ini maka disarankan untuk menggunakan pukat udang dengan alat BED yang dipasang dibagian depan kantongnya agar ikan dapat meloloskan diri, sedangkan udang langsung masuk ke kantong. Jadi sebetulnya bukan karena keganasan alat tangkap ini yang merusak lingkungan, tetapi “kerakusan” para nelayannya yang tetap melakukan penangkapan walaupun kapasitas palkah tempat penyimpanan ikan sudah penuh sehingga banyak ikan yang terbuang percuma.

Saran yang kemudian muncul adalah pembuatan kapal khusus pengangkut ikan untuk mengangkut semua hasil sampingan tersebut tetapi hal ini tidak pernah terlaksana bagi armada sebagian besar trawl hingga saat ini.

Pukat harimau merupakan julukan bagi trawl karena dianggap bahwa trawl adalah alat penangkap ikan yang mampu menangkap apa saja yang dilaluinya dalam perairan, bagai seekor harimau yang sedang menerkam. Julukan ini ternyata berdampak sangat besar bagi kelangsungan pengoperasian pukat ini di Indonesia. Bermula dari konflik antara nelayan tradisional dan nelayan trawl di Jambi (Kusnadi, 2002) dan meluas ke beberapa daerah lain di Pulau Jawa maka dengan alasan bahwa alat ini akan merusak lingkungan, maka diterbitkanlah Kepres No. 39 tahun 1980, (http://www. terangi.or.id/misc/lain.htm, 27 Desember 2004) tentang pelarangan pengoperasian alat ini di seluruh perairan Indonesia dan inilah satu-satunya surat keputusan pelarangan yang ada di dunia saat itu yang hanya ada di Indonesia. Suatu prestasi penyelamatan lingkungan yang menghebohkan. Sejak diberlakukan surat keputusan tersebut, produksi udang yang semula menjadi primadona ekspor produk perikanan Indonesia langsung ambruk seiring dengan ambruknya beberapa perusahaan penangkapan ikan.

Trawl adalah satu-satunya alat yang paling efektif dalam menangkap udang yang berada nun jauh di dasar perairan. Trawl dapat menjangkau udang yang bersembunyi di balik lumpur yang sangat susah dilakukan oleh alat tangkap yang lain. Akhirnya dengan melalui berapa permufakatan dan pertimbangan, dikeluarkalah keputusan presiden No.85 tahun 1982 (http://www.terangi.or.id/misc/lain.htm 27 Desember 2004) tentang izin pengoperasian pukat udang di perairan Indonesia bagian timur. Perbedaan antara trawl dan pukat udang adalah terletak pada alat yang dinamakan BED (By-catch Excluder Device), yaitu alat yang dianggap dapat menyeleksi antara udang yang menjadi target utama dan ikan yang merupakan hasil sampingan sehingga dianggap lebih ramah lingkungan. Akan tetapi kemudian alat ini dianggap nelayan sangat mengganggu karena bila ada ikan yang tersangkut di dalam BED, maka tidak ada lagi udang yang dapat masuk ke dalam kantong jaring. Akhirnya alat ini hanya dipasang kalau ada aparat keamanan yang datang memeriksa.

Kondisi trawl di Indonesia saat ini
Apakah masih pantas kita mempertahankan Kepres No 39/1980 tersebut hanya dengan alasan perusakan lingkungan di bumi Indonesia yang masyarakatnya sangat “tidak ramah lingkungan” ini ?. Seberapa besarkah pengaruh perusakan oleh trawl dibandingkan dengan perusakan lingkungan oleh kegiatan “illegal logging” yang telah
terjadi berpuluh-puluh tahun, penggunaan pupuk kimia di sektor pertanian yang sangat
berlebihan, sampah anorganik yang dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa
penangan yang baik?.

Kenyataan dilapangan bahwa tanpa penghapusan Kepres No 39/1980 tersebut, trawl sudah beroprasi kembali dengan bermodifikasi menjadi beberapa nama. Di Jawa Tengah menjadi “jaring arad” dan “lampara dasar”. Di Sulawesi Selatan menjadi “renreng” dan di seluruh perairan Indonesia berlindung dibalik alat yang bernama “dogol”.

Dogol adalah alat bentuknya sejenis trawl yang dioperasikan di dasar perairandeng an cara melingkarkannya pada suatu area kemudian kedua ujung sayapnya ditarik ke kapal hingga seluruh bagian jaringnya naik. Perbedaannya dengan trawl adalah pada cara pengoperasiannya, yaitu jaring trawl diseret di belakang kapal oleh kapal yang bergerak,
sedangkan dogol jaring hanya dilingkarkan kemudian ditarik ke kapal yang pada saat itu
sedang berhenti. Pada kenyataannya di lapangan jaring dogol ini dioperasikan seperti trawl.

Keuntungan dengan tidak dihapuskannya larangan trawl, walaupun pada kenyataanya sudah banyak yang beroperasi di beberapa wilayah tertentu adalah perkembangan jumlah alat yang mesih terkendali dan masih terbatas jumlahnya. Kondisi inilah yang dapat mengurangi benturan fisik antar nelayan tradisional dengan nelayan trawl. Akan tetapi dengan kondisi seperti ini nelayan yang mengoperasikannya menjadi sasaran empuk bagi tindakan pemungutan liar bagi oknum Polisi Perairan.
Trawl saat ini dioperasikan dengan menggunakan kapal kayu dengan ukuran mulai dari 3 hingga 150 GT. Sangat disayangkan adalah tidak tersedianya ruangan pendingin ikan di atas kapal tersebut. Mereka hanya mengandalkan es dan garam. Dari hasil wawancara, didapatkan bahwa ikan-ikan yang ditangkap pada hari pertama hingga hari ke 20 langsung digarami untuk dijadikan ikan asin, sedangkan ikan yang akan dijual dalam bentuk segar ditangkan beberapa hari sebelum kembali ke pelabuhan dan dijaga mutunya dengan menggunakan es. Sehingga dari hasil pengamatan dilapangan pada tanggal 20 Desember 2004 di Pusat Pendaratan Ikan Juwana, Kabupaten Pati, kapal jaring “lampara dasar” dengan waktu operasi selama 30 hari, hampir 80 % hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan tersebut berada dalam kondisi busuk. Sangatlah disayangkan bahwa ikan tersebut seolah-olah mati dengan siasia.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebetulnya factor ketidak ramahan suatu alat terhadap lingkungan sangat ditentukan pada siapa yang mengoperasikannya.


Perkembangan Perikanan Indonesia saat ini
Sungguhpun trawl sudah dilarang, Beberapa pertanyaan masih terus berlanjut yaitu apakah predikat sebagai perusak lingkungan masih tetap disandang oleh trawl ? bagaimana dengan kegiatan “blast dan poison fishing” saat ini?. Bagaimana dengan Purse Seine dan Bagan Rambo ?.

Istilah harimau bagi trawl sebetulnya kurang tepat karena harimau walaupun buas adalah mahluk yang ramah lingkungan. Hewan ini makan hanya kalau dia lapar. Mereka tidak rakus atau makan apa saja walaupun sudah melebihi kapasitas perutnya. Mangsa yang didapatnya juga adalah mangsa terlemah di antara individu dikelompoknya. Hewan yang tersisa adalah hewan yang kuat. Individu yang lebih kuat dapat menghasilkan keturunan yang kuat pula. Istilah yang mungkin tepat bagi alat yang tidak ramah lingkungan adalah “rakus”.

Alat tangkap “rakus” yang lain adalah Purse Seine. Alat ini menangkap ikan-ikan pelagis yang bersifat bergerombol. Alat ini dioperasikan dengan melingkarkannya pada gerombolan ikan, kemudian tali “purse” nya ditarik hingga bagian bawah alat menguncup. Setelah itu keseluruhan alat ini ditarik ke kapal (V. Brandt 1984). Sebetulnya sejak tahun 1970-an juga sudah beroperasi alat lain yang berkemampuan besar yaitu “purse seine”. Alat ini sudah diketahui tidak ramah lingkungan sehingga dikeluarkannya SK menteri Pertanian No 123/kpts/UM/3/1975 (http://www.terangi.or.id/misc/lain.htm , 27 Desember 2004), yang mengatur ukuran mata jaring terkecil bagi Purse Seine, karena alat ini dianggap banyak menangkap juvenil
ikan. Ukuran yang ditetapkan adalah mata jaring yang berukuran 2,5 cm (1 inci). Akan
tetapi pada kenyataannya saat ini masih banyak purse seine yang berukuran mata jaring ¾ inci. Jadi walaupun suatu alat sudah dikembangkan kearah yang lebih ramah lingkungan akan tetapi kembali pada manusia yang mengoperasikannyalah yang lebih menentukan.

Saat ini di Sulawesi Selatan Muncul jagoan baru, yaitu bagan “rambo” (Sudirman et al., 2001). Nama “Rambo” melekat pada alat ini karena dari kejauhan terlihat alat ini terlihat kokoh bagaikan rambo yang “sangar” yang siap membabat habis musuh musuhnya. Dengan cahaya dari 16.000 watt lampu, alat ini terlihat bagai kota di tengah laut.

Dengan cahaya yang sangat terang alat ini Bagan rambo dianggap tidak ramah lingkungan karena salah satu kriteria ramah lingkungan yang berkembang adalah suatu alat harus hemat energi. Kemampuan tangkap alat ini juga besar tetapi masih jauh di bawah kemampuan “purse seine”. Satu hal yang menjadi polemik pada alat ini adalah target tangkapannya adalah teri padahal juvenil ikan lain ada yang berukuran seperti teri
dan ikut tertangkap. Pengaturan ukuran mata jaring sulit dilakukan karena dengan membesarkan mata jaring, ikan yang menjadi target utama akan lolos. Oleh sebab itu perlu ada penelitian yang mendalam tentang bentuk dan ukuran mata jaring agar selektivitas alat ini dapat membuat ikan teri tertangkap sedangkan ikan yang lain dapat
meloloskan diri.

Saat ini peraturan yang mengatur tatacara pengoperasian bagan, khususnya bagan rambo belum ada. Hanya ada satu Surat Keputusan, yaitu SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dengan Nomor. Ea.6/1/36/1970 (http://www.terangi.or.id/misc/lain.htm 27 Desember 2004) yang melarang penggunaan bagan di lautan/perairan dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dengan alas an menggangu aktivitas kapal niaga di jalur pelayaran masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok.


Kesimpulan
Tingkat keramahan lingkungan suatu alat penangkap ikan sangat tergantung pada manusia yang mengoperasikannya. Penelitian tentang selektivitas alat penangkap ikan perlu ditingkatkan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan target dan sekaligus mengurangi by-catch. (sumber: Andi Assir, C561040041/TKL andiassir)


Daftar Pustaka
-King, M. 1995. Fisheries Biology Assessment and Management. Fishing News Books, Oxford. 341 p.
-Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. LKIS, Yogyakarta. 190 hal.
-Sudirman, M.S. Baskoro, A. Purbayanto, D. R. Monintja and T. Arimoto. 2001. Riview on Bagan Rambo (Large-Type Lift Net) with Electric Mercury Lamp in South
-Sulawesi, Indonesia. P. 28-35. In T. Arimoto, H. Sakai, M.S. Baskoro,
-Darmawan, F. A. Sondita, I. Jaya and S.H. Wisudo [eds]. Fishing Technology
-Manual Series 1. Light Fishing in Japan and Indonesia. The JSPS-DGHE
-International Workshop. Tokyu University of Fisheries, Japan.
-Von Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of the World. 3rd Ed. Fishing
-News (Books) Ltd, Farnhan, Surrey, England.
-http://www.terangi.or.id/misc/lain.htm 27 Desember 2004)
-Andi Assir, C561040041/TKL andiassir@yahoo.com © 2005 Andi Assir: Posted: 3 January, 2005, Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702), Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor, Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng, M F (Penanggung Jawab) Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc, Dr. Ir. Hardjanto, M.S
 
Top