MENUJU INSAN KAMIL

Manusia sebagai makhluk sempurna, mempunyai dua kehidupan, jasmani dan ruhani. Masing-masing kehidupan tersebut membutuhkan makanan yang seimbang. Oleh karena jasmani hidup di alam lahir maka kebutuhan hidupnya nampak secara lahir, seperti makan, minum dan kebutuhan biologis yang lain. Adapun ruhani, oleh karena hidupnya di alam batin maka kebutuhan hidupnya tersembunyi, maka tidak banyak orang mengetahui kecuali orang yang matahatinya cemerlang. Dengan demikian, menjadi maklum ketika sebagian besar manusia cenderung hanya mencukupi kebutuhan yang lahir tetapi melupakan kebutuhan yang batin.


Bagi orang-orang yang matahatinya cemerlang, mereka mampu melihat kebutuhan batin tersebut tidak ubahnya seperti kebutuhan lahir, dengan itu mereka mampu menjalankan dua kehidupan tersebut dengan seimbang. Supaya manusia mampu menjalankan kehidupannya dengan sempurna sehingga menjadi manusia yang sempurna(insan kamil), mereka harus mencukupi kedua kebutuhan hidup tersebut secara sempurna pula. Caranya dengan melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah SWT. Secara vertikal dengan melaksanakan sholat dan dzikir dan secara horizontal dengan memberi kepedulian kepada orang lain. Itulah makanan ruhani(spiritual) yang harus dicukupi manusia seperti mereka juga harus mencukupi makanan jasmani (emosional).

Untuk tercapainya hal tersebut, mereka juga harus mencukupi kebutuhan kehidupan rasional. Untuk itu manusia harus mencari ilmu pengetahuan, baik ilmu lahir maupun ilmu batin. Dengan kedua ilmu itu, akal pikiran manusia dapat hidup cemerlang, sehingga mereka mampu mengatur dan membagi dua kebutuhan hidup tersebut dengan seimbang. Jasmani mendapatkan makanan sesuai yang dibutuhkan, ruhani juga demikian. Masing-masing diatur untuk mendapatkan bagian sesuai yang dibutuhkan.

Namun kenyataannya tidak demikian. Sebagian besar manusia hanya indera lahirnya yang hidup, hal itu disebabkan karena mereka hanya berusaha mencukupi kebutuhan yang lahir saja, maka indera batinnya dalam keadaan mandul dan bahkan buta. Akibat dari itu, meskipun saat mereka sedang beribadah, yang mestinya dengan itu mereka mampu mencukupi kebutuhan yang batin (spiritual), namun ternyata tujuan ibadah tersebut tidak tercapai. Hal itu disebabkan, karena hasil akhir yang diharapkan dari ibadah tersebut ujung-ujungnya hanya untuk mencari kebutuhan lahir, seperti harta dan tahta.

Jika demikian keadaannya, meski mereka telah melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh, bisa jadi malah justru meracuni ruhaniah. Ruhani yang seharusnya menjadi cemerlang malah menjadi gersang dan mati. Keadaan orang tersebut seperti istilah ‘itik berenang tapi mati kehausan’. Seperti orang duduk di depan meja makan tetapi tidak dapat makan karena lidahnya sedang sariawan. Akibat dari itu, kehidupannya akan berjalan dengan tidak seimbang.

Motivasi dan orientasi hidup mereka menjadi bias alias tidak jelas. Mereka ragu-ragu dalam bersikap dan mengambil keputusan. Tidak ada arah tujuan yang pasti karena sedikitpun tidak mempunyai keyakinan hati yang kuat. Orang yang demikian itu, ketika jalan hidupnya sedang dalam keadaan biasa-biasa atau mereka sedang senang, mereka terlihat biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika mengalami kesusahan hidup, sedang mendapatkan musibah atau ujian hidup misalnya, mereka kehilangan arah hidup atau kalang-kabut tidak menentu.

Kebingungan hati dan pikirannya tampak jelas melalui raut muka maupun saat berbicara. Keadaan tersebut mudah dibaca oleh orang yang melihat, bahwa ilmunya yang tinggi, ibadahnya yang kuat dan amal kebaikan serta perjuangan yang selama ini ditekuni ternyata tidak mampu menjadi obat penawar bagi hatinya sendiri. Terkadang hanya karena sekedar mimpi bertemu kerabat yang sudah mati misalnya, kecintaannya kepada kehidupan duniawi membangkitkan ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Ketakutan itu bahkan mampu menghapus iman yang ada dalam hati. Hal itu disebabkan, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan yang dimiliki itu hanya ada di akal dan di bibir saja sedangkan hatinya kering dari manisnya iman. Allah meberikan sinyalemen melalui firman Nya:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di pinggir, maka jika ia memperoleh kebaikan dia akan tenang-tenang saja dengan kebaikannya, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana (fitnah), maka akan menjadi kacau arah kehidupannya, maka rugilah ia di dunia dan di akherat, yang demikian itu adalah kerugian  yang  nyata”. (QS.al-Hajj; 22/11)

Oleh karena mereka sudah melaksanakan ibadah tetapi dilakukan hanya di tepian saja atau ibadah lahir, hanya aspek syari’at akan tetapi hakikatnya kosong, hanya kemasan yang dihias sedemikian rupa akan tetapi tidak pernah mengetahui apa sesungguhnya yang harus dikemas, akibatnya, buah ibadah tersebut tidak mampu menjadi teman yang mendampingi hidup dalam menyelesaikan problem dan konflik yang setiap kali terjadi. Ketika yang ada di dalam dada terlepas dari perhatian, maka terkadang malah dari situ muncul sumber penyakit yang dapat menghancurkan nilai kehidupan.

Adapun orang-orang `Arifin. Yakni orang yang berhasil meletakkan bangunan ibadah lahir di atas pondasi ibadah batin secara benar, itulah orang yang matahatinya cemerlang dan tembus pandang. Mereka mampu mengenali rahasia ketuhanan yang terselip dibalik takdir yang sudah ditetapkan sejak zaman azali. Orang tersebut mengetahui bahwa setiap konflik horizontal yang terjadi atau gesekan-gesekan yang ada dalam kehidupan sesungguhnya merupakan sesuatu yang memang dibutuhkan oleh kehidupan itu sendiri. Romantika kejadian tersebut merupakan proses pembelajaran guna mendewasakan jiwa dan menumbuhkan keyakinan. Mereka mampu menghadapi realita itu, baik susah maupun senang dengan benar, karena semua itu dianggap sebagai tarbiyah atau pelatihan bagi hidupnya sendiri.

Mereka yakin bahwa kedudukan ibadah secara vertikal, disamping sebagai sarana untuk melaksanakan pengabdian hakiki dan melahirkan rasa syukur kepada Allah s.w.t, juga sebagai sarana latihan hidup yang memang sengaja diadakan supaya imannya menjadi kuat dan hatinya menjadi siap untuk menghadapi segala kejadian. Kesempatan untuk menggembleng jiwa, supaya hatinya menjadi kokoh,  manakala suatu saat mereka harus mengutamakan pilihan Allah untuk dirinya, meski pilihan itu terkadang berupa musibah dan fitnah-fitnah. Karena jika saat itu mereka gagal di dalam menyelesaikan segala ujian tersebut, berarti mereka telah menyia-nyiakan kesempatan hidup. Itulah kerugian yang nyata bagi orang yang beriman, keterpurukan hidup baik di dunia maupun di akherat.

Seharusnya dengan ibadah yang ditekuni, menjadikan seorang hamba dekat dengan Tuhannya. Mereka bisa merasakan petunjuk dan bimbinganNya. Dekat dengan pertolongan dan perlindungan sehingga ilmu pengetahuan yang ada mampu menjadi penerang bagi jalan hidup yang ditempuh. Oleh karena itu, ibadah vertikal adalah sarana latihan sedangkan ibadah horizontal adalah buah atau atsar yang dihasilkan. Bahkan masing-masing ibadah tersebut harus berjalan seimbang dan dapat saling mengisi dan melengkapi segala kekurangan. Kekurangan secara horizontal harus terpenuhi secara vertikal dan demikian pula sebaliknya, kekurangan secara vertikal juga harus mampu dipenuhi dari ibadah horizontal.

Betapapun seorang hamba tekun melaksanakan ibadah vertikal, namun apabila pergaulan dalam masyarakat belum menampakkan akhlak yang mulia sebagaimana akhlak para panutan manusia, baik para Nabi dan Rasul serta hamba-hamba Allah yang sholeh, terlebih jika masih mempunyai rasa iri, dengki, hasud dan nifaq kepada saudaranya seiman, itu pertanda ibadah vertikal tersebut belum menampakkan buahnya. Jika yang demikian itu terjadi atas orang-orang beriman, berarti mereka itu termasuk orang-orang yang sangat merugi, rugi dunia dan akhirat. Supaya ibadah vertikal itu bisa dilaksanakan dengan sempurna sehingga mampu membuahkan kemanfaatan yang universal, maka solusinya adalah melaksanakan tawasul secara ruhaniah. Tawasul tersebut dilaksanakan sebagai ibadah batin yang diterapkan dalam ibadah lahir. Dengan itu berarti seorang hamba mengadakan latihan hidup (riyadhah) secara terus-menerus untuk mencapai kehidupan yang seimbang. 

Interaksi ruhaniah tersebut dijadikan sebagai sarana latihan supaya ibadah vertikal yang dilakukan mampu membuahkan akhlakul karimah yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai landasan guna melaksanakan ibadah horizontal secara sempurna. Mengapa bisa demikian?, karena dengan terjadinya pertalian ruhani antara orang yang bertawasul dengan orang yang ditawasuli tersebut yang diadakan secara terus-menerus, secara otomatis seorang murid akan mewarisi ilmu dan akhlak guru-guru mursyidnya. Ini merupakan sunatullah yang tidak akan terjadi perubahan untuk selama-lamanya. Apabila hal tersebut tidak terjadi, berarti dalam hati murid tersebut masih terdapat pengakit-penyakit dan kotoran yang harus dibersihkan. Yang diungkapkan ini merupakan bagian dari fadhilah atau kemanfaatan tawassul. Selain itu masih banyak lagi kemanfaatan yang bisa dipetik dari pelaksanaan ibadah batin tersebut. Apabila ada kalangan yang mengatakan tawassul secara ruhaniah tersebut dilarang dalam agama, itu semata-mata karena mereka tidak mengetahui ilmunya dan manfaat yang ada di dalamnya. Allahu A’lam.


Sumber bacaan diambil dari: ilmu tarekat (Thorikoh), malfali
 
Top