HAL pertama yang akan dilakukan oleh seseorang yang mau mendengar nuraninya adalah mencari jawaban dan menjelajahi hal-hal yang terlihat di sekelilingnya. Sese-orang yang telah mengembangkan kepekaan berpikirnya, akan dengan mudah melihat bahwa dia tinggal di sebuah dunia yang tercipta tanpa cacat, yang ada di tengah-tengah alam semesta yang sempurna.

Mari kita renungkan sejenak lingkungan dan kondisi-kondisi di mana kita tinggal. Kita tinggal di sebuah dunia yang dirancang dan didisain dengan halus dengan segala rincian yang mungkin. Bahkan sistem-sistem di da¬lam tubuh manusia saja begitu amat banyak kesempurnaannya. Sambil membaca buku ini, jantung Anda berdetak secara konstan tanpa henti, kulit Anda melakukan peremajaan sendiri, paru-paru Anda membersihkan udara yang Anda hirup, hati Anda mengalirkan darah Anda, dan jutaan protein disintesakan (dipadukan) ke dalam sel-sel Anda setiap detik dalam rangka menjamin keberlang¬sungan hidup. Manusia tidak menyadari adanya ribuan aktivitas yang berlangsung di dalam dirinya, bahkan tidak menyadari bagai¬mana sebagian aktivitas-aktivitas tersebut terjadi.


Dan jauh di atas sana ada matahari, jutaan kilometer jaraknya dari planet kita, yang memberi cahaya, panas, dan energi yang kita butuhkan. Jarak antara matahari dan bumi dibuat sedemikian rupa sehingga sumber energi ini tidak menghanguskan bumi ataupun membekukannya hingga mati.


Tatkala kita memandang ke langit, kita mempelajari bahwa lepas dari daya tarik estetisnya, massa udara yang menyelubungi bumi juga melindungi manusia dan semua makhluk lainnya dari kemungkinan ancaman-ancaman dari luar. Jika atmosfir tidak ada, maka tak akan ada satu makhluk hidup pun di muka bumi ini.


Seorang manusia, yang mau memikirkan fakta-fakta ini satu demi satu, cepat atau lam-bat akan bertanya bagaimana dirinya dan alam semesta yang ditempatinya ini terjadi dan bagaimana semua ini terpelihara. Tatkala dia mencari tahu tentang hal ini, akan mun¬cullah dua alternatif penjelasan.


Salah satu penjelasan ini mengatakan kepada kita bahwa seluruh alam semesta, planet-planet, bintang-bintang, dan semua makhluk hidup terjadi dengan sendirinya sebagai suatu hasil dari serangkaian peristiwa-peristiwa yang bersifat kebetulan. Dinyatakan bahwa atom-atom yang mengambang dengan bebas, yang merupakan unit-unit terkecil dari materi, secara kebetulan bersatu membentuk sel-sel, manusia-manusia, hewan-hewan, tanaman-tanaman, bintang-bintang, dan semua struktur yang sangat kompleks dan tanpa cacat ini beserta sistem-sistem yang mengelilingi kita dan menakjubkan ini.


Alternatif kedua mengatakan kepada kita bahwa segala hal yang kita lihat diciptakan oleh seorang pencipta yang memiliki kebijaksanaan dan kekuatan yang ulung di atas segala-galanya; bahwa tak ada sesuatu pun yang mungkin terjadi hanya secara kebetulan dan bahwa semua sistem yang ada di sekeli¬ling kita dirancang dan didisain oleh seorang pencipta. Sang pencipta ini adalah Allah.


Kita harus kembali pada nurani untuk memutuskan. Mungkinkah sistem-sistem yang begitu sempurna dan rinci ini dapat terbentuk secara kebetulan namun demikian sempurna harmoninya.


Siapapun yang berpulang ke hati nurani¬nya dapat menangkap bahwa segala sesuatu di alam semesta ini memiliki seorang pencipta, dan sang pencipta ini sangat terpuji kebi-jaksanaannya dan berkuasa atas segala hal. Segala sesuatu di sekeliling kita mengandung tanda-tanda nyata adanya Allah. Keseim-bangan dan keselarasan yang sempurna dari alam semesta ini dan makhluk-makhluk hidup di dalamnya, adalah indikasi yang paling kuat dari adanya suatu pengetahuan tertinggi. Bukti ini terang-benderang, seder-hana, dan tak terbantahkan. Nurani kita tidak punya pilihan kecuali mengakui bahwa semua ini adalah hasil karya Allah, satu-satunya Pencipta.


Akan tetapi, seseorang yang tidak kembali kepada nuraninya sendiri tidak dapat mencapai kesadaran yang sama. Kesadaran ini dicapai melalui kebijaksanaan, dan kebijak¬sanaan adalah sebuah sifat ruhaniah yang hanya muncul manakala seseorang mau men¬dengar nuraninya. Perilaku apa pun yang ditampilkan sesuai dengan nurani membantu membangun dan mengembangkan kebijaksanaan. Dengan demikian, di sinilah perlunya ada perhatian khusus tentang definisi kebijaksanaan. Berlawanan dengan pemakaiannya secara umum, kebijaksanaan adalah sebuah konsep yang berbeda dengan kecerdasan. Seseorang, tidak peduli betapa pun cerdas dan banyak pengetahuannya, akan tetap tidak bijaksana jika dia tidak mau mendengar nura¬ninya, dan tidak dapat melihat atau memahami fakta-fakta yang ditemuinya.


Sebuah contoh dapat menguraikan perbedaan antara kecerdasan dengan kebijaksanaan yang dicapai lewat nurani. Seorang ilmuwan bisa saja menempuh penelitian yang sangat rinci tentang sel selama bertahun-tahun. Bah¬kan bisa saja dia adalah orang paling ahli di bidangnya. Walaupun demikian, jika kebijak-sanaan dan nuraninya kurang, dia hanya dapat menguasai potongan-potongan pengeta¬huan saja. Dia tidak akan mampu menyusun potongan-potongan ini menjadi satu tubuh yang utuh. Dengan kata lain, dia tidak akan dapat menarik sebuah kesimpulan yang tepat dari isi informasi ini.


Namun, bagi seseorang yang memiliki kebijaksanaan dan nurani, merasakan adanya aspek-aspek yang menakjubkan dan kesem-purnaan dari detail sebuah sel, dan mengakui adanya tangan seorang pencipta, seorang di-sainer dengan kebijaksanaan yang ulung. Jika seseorang berpikir dengan menggunakan nuraninya dia akan sampai pada kesimpulan ini: kekuasaan yang menciptakan sebuah sel dengan kesempurnaan yang sedemikian itu tentulah pencipta dari semua makhluk hidup dan makhluk tak hidup lainnya.


Di dalam al-Quran ada contoh dari Nabi Ibrahim a.s., yang menemukan adanya Allah dengan mendengar nuraninya:


Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, Inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, Aku tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata, Inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberiku petunjuk, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, .Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku cuci tangan dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah... (Q.s. al-An.am: 76-9).


Bagaimana Nabi Ibrahim a.s. dulu menemukan adanya Allah melalui kebijaksanaan dapat terlihat dalam ayat-ayat di atas. Melalui nuraninya, dia menyadari bahwa semua hal yang terlihat di sekelilingnya hanyalah makhluk-makhluk yang diciptakan, dan bahwa Sang Pencipta jauh lebih unggul dari makhluk-makhluk itu. Siapa pun yang berpulang ke nuraninya akan melihat fakta ini bahkan jika tidak ada seorang pun yang memberi¬tahunya. Setiap orang yang berpikir dengan tulus, tanpa melibatkan hawa nafsunya, dan hanya menerapkan nuraninya saja, dapat memahami keberadaan dan keagungan Allah. Jika seseorang tidak mau melihat fakta-fakta yang gamblang di depan matanya ini, dan bertingkah seakan-akan fakta-fakta tadi tidak ada, maka orang ini akan menjadi hina meskipun dia cerdas. Alasan mengapa seseorang yang mengetahui kebenaran dengan nuraninya namun tidak mau menerimanya adalah karena fakta ini bertentangan dengan kepentingan-kepentingan pribadinya. Pengakuan seseorang atas adanya Allah berarti pengaku-annya bahwa dirinya berada jauh di bawah keunggulan yang kepada-Nya dia harus berserah diri, yang kepada-Nya dia sangat mem-butuhkan, dan yang kepada-Nya dia kelak akan ditanyai.


Tanda-tanda adanya Allah sangat jelas dan tampak bagi siapa saja yang mau melihatnya. Ini adalah sebuah bukti kebenaran bahwa Pencipta dari disain yang berlaku di seluruh alam semesta ini adalah Allah. Sebagian orang yang menolak adanya Allah berbuat demikian bukan karena mereka sungguh-sungguh tidak mempercayai-Nya namun karena mereka ingin menghindar dari aturan moral yang harus mereka taati sebagai orang-orang yang beriman. Setiap orang dengan nuraninya mengetahui eksistensi dan kekuasaan abadi Allah. Kendati demikian, seseorang yang mengakui adanya Allah dan merasakan kekuasaan-Nya, juga tahu bahwa dirinya kelak akan ditanyai oleh-Nya, dan bahwa dia harus mematuhi hukum-hukum-Nya dan hidup untuk-Nya. Sedangkan orang yang berkeras untuk menolak sekalipun dia sudah mengetahui fakta-fakta ini, berbuat demikian karena bila dia menerima fakta yang sangat besar ini tidak sesuai dengan kepentingan-kepentingannya dan perasaan superioritas yang ada di dalam dirinya. Di dalam al¬Qur.an orang-orang ini digambarkan di dalam Surat an-Naml:


"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) pada-hal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.." (Q.s. an-Naml, 14).


KETIKA JIWA-JIWA DAN MALAIKAT MENANGIS

"Dalam memahami firman Allah, Abu Bakar al-Shiddiq berkata, "Yang dimaksud dengan al-barru adalah lisan sedangkan yang dimaksud dengan al-bahru adalah kalbu. Jiwa-jiwa akan menangis jika lisan seseorang rusak dan Malaikat akan menangis jika kalbu seseorang rusak " (Abu Bakar al-Shiddiq Ra)

‘Umar RA berkata, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah Munafiq ‘Alim (yang berpengetahuan).” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezhaliman atau kemungkaran.”



Pada umumnya, apa yang keluar dari tubuh manusia adalah sesuatu yang berbau tidak sedap. Mulai dari bau keringat, bau mulut, hingga bau yang satu itu. Hanya beberapa organ tertentu saja yang masih memungkinkan mengeluarkan keharuman. Lisan dengan kata-katanya yang indah, bermakna, dan menyejukkan, akal dengan gagasan-gagasannya yang baik dan bermanfaat, atau hati (qalb dalam bahasa Arab) seseorang dengan niat tulusnya yang melahirkan amal-amal shalih. Apabila lisan, akal, dan hati seseorang tidak bisa mengeluarkan yang baik, maka dapat dipastikan seluruh tubuhnya hanya akan memproduksi bau busuk.


Kenyataannya, apa yang keluar dari akal, lisan, dan hati manusia memiliki implikasi yang sangat luas terhadap dirinya dan orang lain. Rasulullah Saw melukiskan lisan dan hati sebagai kekayaan yang sangat berharga. ”Abdu bin Humaid menceriterakan ketika ayaat 34 surat al-Taubbah (”dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak”) turun kami sedang dalam suatu perjalanan. Kemudian beberapa orang sahabat berkata, ”Ayat tersebut turun berkenaan dengan emas dan perak. Seandainya kami tahu harta yang paling baik, tentu kami akan menyimpannya.” Rasulullah Saw kemudian bersabda, ”Harta yang paling baik adalah lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan isteri yang beriman yang membantu suaminya dalam merealisasikan keimanannya” (HR, al-Tirmidzi).


Tentu saja kenyataan itu harus benar-benar disadari oleh setiap insan. Agaknya ungkapan Sayyidina Abu Bakar tersebut merefleksikan orang yang memiliki kesadaran tinggi tentang implikasi gerak dua komponen diri manusia tersebut (lisan dan hati).


Tak dapat dipungkiri, lidah adalah karunia Allah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Siapa pun pasti akan mengalami kesukaran untuk berkomunikasi dan menyampaikan gagasan-gagasan, bahkan keinginannya, kepada orang lain, tanpa melalui lisan. Barangkali lisan termasuk organ tubuh paling utama yang sering beraktivitas dalam keseharian kita. Bahkan dalam banyak hal, apa yang meluncur dari lisan menjadi ukuran kualitas seseorang. “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR, Bukhari).


Dari lisan meluncur apa yang disebut ”kata”. Di sini penstrukturan tanda atau bunyi menyimpan makna yang sangat penting dalam proses komunikasi. Dengan ”kata”, sebuah tanda atau artikulasi diri dapat dipahami oleh orang lain. Tanpa ”kata” yang meluncur dari lisan nyaris seseorang tidak dapat merealisasikan keinginan-keinginannya yang paling fundamental sekalipun yang karenanya ia akan teralienasi dari lingkungan otentiknya. Oleh sebab itu posisi lisan dalam aktivitas kemanusiaan memiliki nilai sangat strategis.


Nilai strategis lisan dalam kehidupan manusia tampak pada ungkapan Rasulullah Saw ketika beliau menjawab pertanyaan Uqbah bin Amir. Dalam satu riwayat Uqbah berkata, ”Aku bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, ”Wahai Rasulullah Saw, apakah jalan keselamatan? Beliau menjawab, ”Tahanlah lidahmu, perluaslah rumahmu, dan tangisilah kesalahanmu.” (HR, al-Tirmidzi).


”Kata” yang meluncur dari lisan seseorang, implikasi dan pengaruhnya bisa melebihi kapasitas dirinya dan zamannya. Akan menggema dan dapat memantul di semua benua. Banyak ungkapan yang lahir dari lisan seseorang memiliki nilai abadi.


Pada kenyataannya, sebuah keyakinan, gagasan, atau doktrin hanya dapat dipahami melalui rangkaian kata-kata yang pada mulanya meluncur dari lisan. Bahkan sebuah arketip atau pola yang diteladani dapat dipahami oleh manusia pada awalnya melalui kata-kata. Oleh sebab itu nilai strategis lisan dalam kehidupan manusia tak dapat diingkari oleh siapa pun. Dalam sebuah hadits dikatakan, ”Tiada satu pun dari jasad manusia melainkan akan mengadukan lidah kepada Allah Swt atas ketajamannya.” (HR, Abu Dunia).


Aktivitas lisan bisa berefek ganda dan luar biasa pengaruhnya terhadap tata hubungan manusia. Terkadang ia dapat meluncurkan sejumlah kebaikan dan kemanfaatan yang luas bagi siapa yang menjaganya dengan baik dan mempergunakannya sebagaimana diharapkan syari'at. Sebaliknya, lisan juga dapat meluncurkan sejumlah kejelekan yang membahayakan dirinya dan orang lain bagi siapa yang menggunakannya secara sembarangan. “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur.” (HR, Bukhari)


Bahaya lisan yang tidak dikendalikan oleh norma dan tuntunan syari'at bisa menyeret seseorang ke jurang kebinasaan. Untuk itu Rasulullah Saw menasehati agar menjaga lidah dengan baik. Ia menganjurkan untuk bisa diam ketika tidak bisa bicara baik. "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka berkatalah yang baik, atau (jika tidak), diamlah ". (HR. Bukhari dan Muslim).


Oleh sebab ketajaman lidah mengalahkan ketajaman pedang yang mampu menebas leher siapa pun, maka dimensi daya hancurnya kepada kehidupan sangat luas. Rasulullah Saw bersabda:"Tidak ada satupun jasad manusia, kecuali pasti kelak akan mengadukan lidah kepada Allah atas ketajamannya".(HR, Ibnu Abi Dunya). Bahkan dosa bisa membiak dari lisan. "Sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya" (HR. Al- Thabrani, Ibnu Abi Dunya, dan Al Baihaqi).


Atas dasar itu kita dapat memahami nilai keutamaan menjaga lidah yang diajarkan oleh Islam. Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin mengatakan, "Ketahuilah bahwa lidah bahayanya sangat besar, sedikit orang yang selamat darinya, kecuali dengan banyak diam ". Luqman al-Hakim berkata: "Diam itu adalah kebijakan, namun sedikit sekali orang yang melakukannya". Rasulullah Saw bersabda, "Simpanlah lidahmu kecuali untuk kebaikan, karena dengan demikian kamu dapat mengalahkan syaitan " (HR, al-Thabarani dan Ibnu Hibban).


Ketika lisan mengalami kerusakan, maka akibat pastinya adalah meluncurnya produk lisan yang membahayakan orisinalitas jiwa manusia. Baik jiwa orang yang mengeluarkannya atau pun jiwa yang menangkapnya. Selanjutnya, kesadaran azali kita, seperti ketika kita di tanya oleh Sang Pencipta di alam azali, “Apakah aku Rabb kalian?” dan kita menjawab, “Benar”, akan menjadi rusak pula karena diperkosa oleh berbagai produk lisan yang menggencetnya. Akibatnya jiwa pun menangis karenanya. Sebab jiwa pada dasarnya/secara orisinil senantiasa cenderung mencari ketenangan, rasa nyaman dan kepuasan.


Kecenderungan itu akan menuntut pencarian pada segala sesuatu di luar dirinya yang mampu menjaga dan berkesesuaian dengan orisinalitas jiwa. Oleh karena itu, jiwa-jiwa pun akan menjerit bila dibombardir oleh produk lisan yang buruk sebab hal itu sangat bertentangan dengan kecenderungannya. Jika interaksi jiwa dengan produk lisan yang buruk berlangsung secara terus menerus, maka orisinalitas jiwa akan tergerus sedikit demi sedikit yang pada akhirnya akan melahirkan insensifitas yang mengancam keselamatannya. Lebih parah jika sampai pada tingkat kesadaran azalinya terbenam oleh ingar-bingar produk lisan.


Selain lisan, hati adalah komponen penting lain, yang posisinya sangat menentukan perjalanan hidup manusia. Lathifah rabbaniyyah, yang amat halus dan lembut; yang tidak kesatmata, tak berupa, dan tak dapat diraba; yang bersifat Rabbani dan ruhani ini, pada hakikatnya merupakan inti manusia. Dalam bahasa Arab, makna literal qalb adalah ”berbalik” atau ”berputar balik”. Allah-lah yang membulak-balikkan hati manusia. Dalam sebuah doa dikatakan ”ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ’ala dinik.”


Hati laksana sebuah radar yang terus-menerus berputar dan mengamati secara sepintas. Ia selalu mencari yang suci. Hati adalah cermin yang dapat memantulkan cahaya Ilahiah. Imam Ghazali mengatakan, ”Wahai teman! Hatimu adalah cermin yang mengkilap. Kau harus membersihkan debu yang mengotorinya, karena hati ditakdirkan untuk memantulkan rahasia-rahasia Ilahi. Oleh karena itu hati merupakan potensi utama yang dianugerahkan kepada manusia. Oleh Allah Swt, hati diberi kemampuan untuk menyerap, menghayati, memahami, dan mengenal segala sesuatu yang diinderai dan dipercayainya demi kemajuan eksistensinya. Hati adalah medium kemajuan spiritualitas manusia.


Oleh karena itu kemajuan kemanusiaan tidak hanya ada pada otak semata, melainkan ada kekuatan lain yang lebih dahsyat dari kekuatan otak, akal, dan pikiran, yaitu kekuatan hati. Sebab, kekuatan ini bukan hanya mengantarkan manusia meraih sukses namun juga mampu mengantarkan pada kemuliaan hidup dan kemajuan psiritualnya yang menentukan kualitas dirinya. Dalam kajian sufi, hati dilukiskan sebagai raja yang mengatur dan memerintahkan otak, pikiran dan panca indra manusia.


Allah Swt mengajarkan kepada manusia agar selalu mendengarkan suara hati nuraninya dan karena itu kewajiban kita untuk memelihara kejernihannya. Sebab dengan kejernihan hati diharapkan sifat-sifat mulia yang tertanam di dalamnya dapat memancar ke prilaku lahiriah.


Sesungguhnya di dalam hati manusia sudah tertanam percikan sifat-sifat “Illahiah”, sifat-sifat maha mulia Allah Swt, telah bersemayam. Dapat dikatakan, semua yang hak, terindah, dan terbaik bersarang di dalamnya. Melalui pemeliharaan yang serius hati manusia bisa terang benderang, bercahaya dengan cahaya dari sifat-sifat-Nya Yang Maha Mulia, Yang Maha Agung, dan Maha sempurna. Medium pemeliharaaan yang paling efektif adalah dengan makrifat, yakni ilmu-ilmu yang berakar pada tauhid, mengesakan Allah Swt.


Selanjutnya dengan makrifat yang terus mekar di hati, cahaya kebesaran Allah, keindahan, dan keagunganNya akan terus memancar. Kesadaran batinnya tentang yang benar dan salah akan selalu hidup. Dengan cahaya itu ia dapat menagkap kemahamuliaan Allah Swt, mengambil dan mengamalkan segala kehendak-Nya, dan melakukan segala sesuatu yang membawa manfaat, serta menjauhi sejauh-jauhnya segala yang membawa madarat. Memang hati menjadi pusat kebaikan, ketenangan, kedamaian, kesehatan, dan kebahagiaan hakiki.


Hati yang jernih dan sehat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih dan pada akhirnya melahirkan tindakan-tindakan mulia berdasarkan suara hati nurani yang bening. Socrates mengidentikkan suara hati dengan suara peringatan batin yang diaanggapnya berasal dari Allah. Filosof lain menyebutnya sebagai percikan ilahi yang mampu menyediakan pedoman dalam kehidupan.


Kejernihan hati dapat menjadikan manusia menjadi mampu berpikir positif, betindak bijak, cerdas, dan berbagai sifat-sifat mulia. Dengan hati yang jernih, kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih

produktif untuk meraih kemuliaan hakiki. Sebab, seperti dikemukakan para pemikir, manusia yang suara hatinya jernih karena berada dalam wadah hati yang jernih merupakan fakultas akal yang mampu membedakan yang benar dan yang salah.

Akan tetapi hati tidak akan dapat dijernihkan dengan cahaya ilahiah jika ia teralingi oleh nafsu duniawi dan ternodai oleh maksiat. Kecerahannya ditentukan oleh ketulusannya dalam mempersembahkan dirinya kepada Allah yang merupakan tujuan awal bagi manusia dan kesaksian zalinya.


Ibnu ’Atha`illah dalam al-Hikam mengattakan, ”Bagaimana hati dapat bersinar sementara bayang-bayang dunia terlukis dalam cerminnya? Atau, bagaimana hati dapat berangkat menuju Allah sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwatnya? Atau, bagaimana hati akan antusias menghadap hadirat-Nya jika ia belum suci dari ”janabah” kelalaiannya? Atau, bagaimana hati mampu memahami kedalaman rahasia-rahasia sedangkan ia belum bertaubat dari kesalahannya?.


Lebih dari itu hati adalah kunci hubungan manusia dengan Tuhannya dikarenakan ia tempat bersemayamnya iman. Hati juga menjadi kunci hubungan dengan sesama manusia. Bahkan ia adalah sumber kesehatan fisik, kekuatan mental, dan kecerdasan emosional. Dalam kajian sufi hati menyimpan kecerdasan dan sekaligus kearifan yang terdalam bagi manusia. Ia adalah lokus makrifat, genosis, atau pengetahuan spiritual. Dalam sebuah riwayat Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya hati seorang mukmin mampu memuat segala sesuatu yang tidaka dapat dimuat oleh langit dan bumi.”


Oleh sebab posisi hati adalah terminal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dan alam, maka kejernihan hati dapat menjadikan hubungan itu sehat, baik, dan konstruktif. Hubungan dengan Tuhannya akan penuh ketundukan dan kecintaan. Hubungan dengan sesamanya akan mengedepankan kasih sayang, kejujuran, kebersamaan dan saling menghormati sehingga menghadirkan kedamaian dan kebahagiaan. Hubungan dengan alam dan lingkungannya dengan etik yang menyebabkan tidak menimbulkan kerusakan.


Begitulah posisi strategis hati sangat menentukan kemanausiaan seseorang. Dalam sebuah hadits yang sangat masyhur Rasulullah Saw bersabda, "Ingatlah sesungguhnya pada jasad itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka rusak pulalah seluruh jasad. Ingatlah, ia adalah hati."


Oleh sebab itu jika hati rusak maka seluruh tata hubungan menjadi rusak pula yang menyebabkan malaikat pun menangis. Dalam kitab al-Tadzkirah fi Ahwal al-Maut wa Umur al-Akhirah, Imam al-Qurthubi mengutip sebuah riwayat dari Imam al-Zuhri, Wahab bin Munabbih, dan lain-lainnya. Dalam riwayat itu diceritakan bahwa ketika itu Allah mengutus malaikat Jibril untuk membawakan tanah kepada – Nya.

Ketika diambil oleh Jibril, tanah memohon perlindungan kepada Allah dari Jibril, sehingga Jibril tidak jadi membawanya. Hal yang sama juga terjadi pada Malaikat kedua yang diutus. Akan tetapi, tidak demikian halnya pada malaikat yang ketiga. Ia justru berhasil membawakan tanah kepada Allah swt. Lalu Allah bertanya kepadanya, ”Apakah tanah itu tidak memohon perlindungan kepada- Ku dari kamu ?” Malaikat menjawab, ”Ya”. Allah bertanya lagi, ” Kenapa kamu tidak merasa kasihan kepadanya, seperti kedua tanganmu?”. Malaikat menjawab, ”Aku lebih mengutamakan taat kepada Engkau dari pada mengasihaninya (tanah)”. Allah berfirman, ”Pergilah! Kamu adalah malaikat maut, yang aku beri kuasa untuk mencabut nyawa seluruh makhluk ”. Mendengar itu, malaikat menangis. Kemudian Allah bertanya lagi, ”Kenapa kamu menangis?” Malaikat pun menjawab : ” Ya Tuhan, dari tanah ini Engkau ciptakan para nabi dan makhluk pilihan lainnya. Dan, Engkau tidak menciptakan makhluk yang lebih mereka benci daripada kematian. Jika mereka mengenali aku, mereka pasti membenci dan mencaci maki aku”. Wallahu A’lam 
 
 
SAUMBER REFERENSI
http://www.gagakmas.org/qolbu/
 
Top