Pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, perikanan budidaya menjadi tumpuan untuk mengejar visi “Indonesia Sebagai Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar di Dunia pada Tahun 2014”. Untuk mewujudkan visi tersebut, dikenalkanlah apa yang kemudian disebut kontrak produksi, daerah-daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, sejenak agak merasa gagap dengan target produksi yang terukur, walaupun kemudian target ini hanya dikendalikan dengan apa yang disebut “Statistik Perikanan Budidaya”.
Di balik skeptisme bahwa produksi perikanan budidaya pada tahun 2010 merupakan angka yang tidak over estimate, patut juga diakui bahwa kepemimpinan MKP Fadel Muhammad berhasil memacu produksi secara progresif, meskipun terkadang terkendala pada aspek pemasarannya.

Belum rampung benar pencapaian target peningkatan produksi 353%, MKP telah berganti Sharif C. Sutardjo. Pergantian ini sepertinya “memaksa” kita untuk tidak lagi berkonsentrasi pada produksi terbesar di dunia, tetapi lebih kepada strategi industrialisasi perikanan. Strategi industrialisasi memang merupakan strategi penting untuk mengangkat subsektor perikanan budidaya menjadi prime mover pembangunan ekonomi, karena pencapaian kesejahteraan sangat sulit apabila hanya mengandalkan budidaya perikanan pada tingkat on farm saja. Tetapi industrialisasi yang bagaimana yang seharusnya menjadi arah strategi pembangunan?
Dari banyak pemberitaan media, kebijakan industrialisasi ini dapat disimpulkan sebagai upaya untuk mengatur agar semua kapasitas terpasang dari pelaku usaha perikanan dari hulu hingga hilir dapat termanfaatkan secara maksimal. Namun, belum banyak terungkap di media arah strategi apa yang akan dikembangkan untuk perikanan budidaya. Dari materi dalam Chief Editor Meeting 29 November 2011 khususnya tentang Value Chain: Perikanan Budidaya sepertinya tidak ada beda dengan kegiatan yang selama ini telah ada.
Tidak begitu jelasnya prioritas-prioritas yang akan dikembangkan dalam industrialisasi perikanan budidaya -padahal tidak mungkin KKP menggarap semuanya dengan sumber daya yang ada- memberikan peluang kepada kita untuk mendiskusikan model industrialisasi perikanan budidaya dalam kerangka ekonomi kerakyatan, yaitu suatu pembangunan perikanan budidaya yang melibatkan bagian terbesar dari masyarakat perikanan dan menghasilkan produk ikan untuk masyarakat luas.
Pola produksi yang menjadikan pemenuhan kebutuhan masyarakat luas ini sejatinya sudah digariskan oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta dalam pidatonya pada Konperensi Ekonomi di Yogyakarta 3 Februari 1946. Beliau menyatakan, ”Sejak munculnya kapitalisme liberal sesudah tahun 1870, Indonesia dipandang semata-mata sebagai suatu onderneming besar, untuk menghasilkan barang-barang bagi pasar dunia. Dasar ekonominya adalah ‘ekspor ekonomi’. Pasar dalam negeri diabaikan semata-mata, sebab tidak mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya. …….. Ini kelanjutan daripada sistem kapitalisme, yang mendasarkan perekonomian Indonesia kepada ‘ekspor ekonomi’. Sistem ini memutar ujung jadi pangkal.”
Tetapi, strategi industrialisasi perikanan budidaya yang akan dikembangkan agaknya tidak sejalan dengan pemikiran Bung Hatta tersebut, bahkan sebagaimana pemberitaan Bisnis Indonesia 30 November 2011 yang menyebutkan bahwa tujuan industrialisasi perikanan ini adalah untuk menyumbang devisa merupakan indikasi bahwa model yang dikritik Bung Hatta 65 tahun lampau tentang ekspor ekonomi masih menjadi arah industrialisasi perikanan.
Sudah sangat banyak kritik tentang pembangunan ekonomi yang disandarkan pada ekspor, selain karena faktor pengabaian pasar dalam negeri, kemandirian ekonomi juga tidak dapat diwujudkan karena pertumbuhan ekonomi tergantung oleh faktor di luar negeri. Pola seperti ini juga menuntut pengembangan komoditas budidaya mahal yang padat modal sehingga pelakunya bukan merupakan bagian terbesar dari masyarakat perikanan. Dalam kondisi yang tidak ada gejolak, ekspor ekonomi memang menghasilkan pertumbuhan yang cepat, tetapi karena melibatkan sedikit masyarakat perikanan maka dampak pemerataan akan terabaikan.
Oleh karena itu, dalam strategi industrialisasi perikanan budidaya KKP tidak hanya berpedoman pada peluang ekspor dan potensi budidaya, tetapi lebih terkonsentrasi pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan bagi masyarakat perikanan. Dengan melihat realita di masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang merupakan pelaku utama produksi perikanan, kita akan mendapati bahwa surplus yang terjadi bukanlah surplus modal tetapi surplus tenaga kerja, sehingga strategi industrialisasi perikanan budidaya pada tahap awal seharusnya dititik beratkan pada upaya menyediakan ikan untuk konsumsi masyarakat luas di dalam negeri –bukan hanya kebutuhan konsumsi golongan atas- melalui pemilihan komoditas budidaya yang tidak membutuhkan modal besar tetapi melibatkan masyarakat perikanan dalam jumlah banyak.
Sedikitnya terdapat enam komoditas budidaya yang memenuhi kriteria tersebut, yaitu rumput laut, bandeng, ikan mas, nila, lele dan patin. Tetapi, apabila kemampuan KKP untuk level nasional masih belum memungkinkan untuk menggarap semua komoditas tersebut dalam industrialisasi perikanan budidaya, penentuan komoditas prioritas dapat dilakukan dengan mempertimbangkan economic of scale baik dari sisi volume produksi maupun kesatuan wilayah geografis.
Pertimbangan  economic of scale ini sangat penting terutama untuk menumbuhkan industri di sektor hulu dan hilir yang sinergis. Pengembangan dalam wilayah administratif yang kecil seperti kabupaten memang bisa mencapai skala ekonomi, tetapi hanya terbatas pada on farm saja bukan skala ekonomi keseluruhan bagi industrialisasi perikanan budidaya. Dengan demikian, tanggung jawab pengembangan bisa jadi lebih luas daripada batas wilayah administratif pemerintahan.
Sebagai contoh, apabila dengan pertimbangan economic of scale KKP memilih empat komoditas prioritas yang dikembangkan maka wilayah pengembangan industrialisasi perikanan budidaya sesuai Peta Sentra Produksi Perikanan Budidaya Tahun 2010 adalah  sebagai berikut: industrialisasi rumput laut dengan wilayah pengembangan meliputi pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi dan Maluku, industrialisasi bandeng dengan wilayah I di Pulau Jawa dan wilayah II terdiri dari Kalimantan dan Sulawesi, industrialisasi ikan mas dengan wilayah pengembangan Sumatera, Jawa, Bali, dan NTB, serta industrialisasi nila dengan wilayah pengembangan Sumatera dan Jawa.
Arah industrialisasi seperti di atas dapat memenuhi seluruh tujuan dari pembangunan ekonomi, yaitu penyediaan konsumsi dalam negeri, pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Kalaupun kemudian melakukan ekspor, maka ekspor tersebut semata-mata merupakan konsekuensi dari kelebihan produksi di dalam negeri. Demikian juga pengembangan komoditas budidaya yang cenderung padat modal seperti ikan ekonomis tinggi -kerapu, kakap, gurami dan udang- akan menjadi pilihan strategi industrialisasi perikanan budidaya pada tahap selanjutnya ketika masyarakat telah memiliki pendapatan yang meningkat dan merata sebagai hasil dari strategi industrialisasi yang pertama.


Di tulis Oleh: Arif Sujoko*)
“An industrial system which not only produces for the mass
but in which the mass of the people are also producers”
-Mahatma Gandhi-

Bagaimana pendapat Anda?

*) Anggota KORAL APS, pemerhati kebijakan kelautan dan perikanan
http://opiniperikanan.wordpress.com/2011/12/15/quo-vadis-industrialisasi-perikanan-budidaya/#comment-32
 
Top