Secara nasional potensi produksi perikanan sekitar 65,1 juta ton/tahun, sebenarnya Indonesia bisa menjadi negara perikanan terbesar di dunia. Pasalnya, China yang kini sebagai produsen perikanan terbesar di dunia dengan total produksi 56 juta ton pada 2010 hanya memiliki potensi produksi tidak lebih dari 60 juta ton/tahun (FAO,2010).Potensi produksi 65,1 juta ton/tahun itu berasal dari sumber daya ikan laut 6,5 juta ton/tahun; sumber daya ikan perairan umum (danau, waduk, sungai, dan rawa) 0,9 juta ton/ tahun; budi daya laut (mariculture) 47 juta ton/tahun; budi daya tambak (perairan payau) 5 juta ton/ tahun; dan budi daya perairan tawar 5,7 juta ton/tahun.Karena total potensi produksi perikanan tangkap dari seluruh laut dunia sebesar 90 juta ton/tahun, berarti sekitar 7,22% potensi sumber daya ikan laut dunia terdapat di wilayah laut Indonesia.
Pada 2010 total produksi perikanan Indonesia mencapai 10,19 juta ton sehingga menempatkan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar ketiga di dunia, hanya di bawah China dan Peru (FAO,2010).Sekitar 60% kebutuhan protein hewani yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari ikan dan hasil perikanan lainnya. Saat ini sektor perikanan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 5,35 juta orang yang terdiri atas 2,23 juta nelayan laut,0,47 juta nelayan perairan umum,dan 2,65 juta pembudi daya ikan. Adapun mereka yang bekerja di industri hulu, industri hilir, industri penunjang, perdagangan, dan jasa-jasa lain yang terkait dengan sektor perikanan diperkirakan mencapai dua kali lipatnya alias 10,7 juta jiwa.
Artinya sebanyak 16,05 juta orang atau sekitar 11% dari total angkatan kerja Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Suatu kontribusi yang cukup signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Sayangnya, prestasi sebagai juara tiga produsen perikanan dunia, penyedia protein hewani terbesar bagi rakyat, dan penyedia tenaga kerja yang lumayan besar belum diimbangi dengan prestasi dalam hal perolehan devisa dan kontribusinya terhadap PDB nasional. Nilai ekspor perikanan Indonesia pada 2010 hanya USD2,66 miliar,jauh di bawah Thailand yang mencapai USD6,53 miliar. Padahal, total produksi perikanan Thailand hanya 2 juta ton atau peringkat- 12 dunia.
Ini disebabkan industri pengolahan hasil perikanan dan kemampuan pemasaran Thailand jauh lebih maju ketimbang Indonesia sehingga produk ekspor perikanan Thailand lebih bernilai tambah dan mahal.Selain itu,sebagian besar (6,87 juta ton) produksi ikan Indonesia juga untuk memenuhi kebutuhan domestik, hanya 0,88 juta ton ikan yang diekspor.Sampai saat ini, sumbangan sektor perikanan terhadap PDB hanya sebesar 2,5%. Wajah buruk lain dari sektor perikanan Indonesia adalah fakta bahwa hingga saat ini mayoritas nelayan dan pembudi daya ikan masih miskin. Sementara itu, tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan laut pada 2010 sudah mencapai 78% dari total potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY), sekitar 5,06 juta ton.Artinya,ruang untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap di laut hanya sebesar 22% lagi.
Penyebab Kinerja Rendah
Masih rendahnya kinerja sektor perikanan bisa disebabkan faktor-faktor teknis-internal maupun makro-struktural.Faktor-faktor teknis-internal adalah faktorfaktor yang ada dalam tanggung jawab para nelayan,pembudi daya ikan, dan pelaku usaha perikanan lainnya serta menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).Itu terutama berupa fakta bahwa sebagian besar usaha penangkapan ikan di laut dikerjakan oleh para nelayan kita secara tradisional.
Pada 2010, dari 590.352 kapal ikan Indonesia, hanya 6.370 unit kapal (kurang dari 2%) yang tergolong modern (kapal motor berukuran di atas 30 GT).Kapal motor (inboard motor) sebanyak 155.922 unit (26%). Selebihnya, 238.430 unit (40%) berupa perahu motor tempel (outboard motor) dan 189.630 unit (32%) berupa perahu tanpa motor yang hanya menggunakan layar dan dayung (KKP, 2010). Dengan perahu motor tempel atau perahu tanpa motor dengan alat tangkap yang umumnya sederhana (kurang efisien), para nelayan tradisional (72%) hanya bisa menangkap ikan di perairan laut pesisir (dekat pantai) dan hanya bisa melaut 7–9 bulan dalam setahun. Akibatnya, hasil tangkapan ikan (produktivitas)-nya pun rendah, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keseharian (subsisten).
Cara-cara para nelayan tradisional menangani (handling) ikan hasil tangkapannya pun pada umumnya belum memenuhi standar, tanpa menggunakan es, sehingga mutu ikan menurun yang berakibat pada rendahnya harga jual ikan.Tempat pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan juga umumnya belum memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi; kurang atau tidak ada pabrik es, cold storage, apalagi pabrik pengolahan hasil perikanan yang bisa memproses ikan mentah (raw materials) menjadi produk-produk yang bernilai tambah; dan kurang pembeli/pedagang. Akibatnya, kalau musim paceklik (sedikit ikan), harga ikan tinggi, tetapi begitu musim ikan,harganya jatuh.
Sebagian besar tempat pendaratan ikan/pelabuhan perikanan juga tidak dilengkapi dengan stasiun pengisian bahan bakar untuk nelayan (SPBN), toko yang menyediakan alat tangkap (seperti jaring, pancing, dan tambang), beras, dan perbekalan untuk melaut lainnya sehingga para nelayan biasanya mendapatkan semua sarana produksi itu dari tempat yang cukup jauh dari pemukiman mereka dan dengan harga yang jauh lebih mahal ketimbang harga pasar sebenarnya. Sementara itu, biaya hidup sehari-hari termasuk untuk menyekolahkan anak-anaknya semakin mahal. Distribusi nelayan dan kapal ikan juga sangat tidak merata. Di wilayah-wilayah overfishing telah terjadi involusi perikanan (fisheries involution).Sebaliknya, di wilayahwilayah laut perbatasan,Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), laut dalam, dan laut lepas sedikit sekali atau bahkan tidak ada kapalkapal ikan Indonesia.
Di wilayahwilayah laut inilah ribuan kapal ikan asing melakukan penangkapan ikan secara ilegal alias mencuri. Meskipun lebih baik dan maju, usaha budi daya laut dan budi daya tambak sejauh ini belum optimal. Dari total potensi produksi sekitar 47 juta ton/tahun, usaha budi daya laut nasional pada 2010 baru memproduksi 3,4 juta ton (7,2%).Adapun usaha budi daya tambak pada tahun yang sama baru menghasilkan 0,99 juta ton atau 19,8% dari total potensi produksinya.Produktivitas dan efisiensi usaha tambak kita juga lebih rendah ketimbang Thailand, Malaysia, dan Taiwan. Hal ini disebabkan mayoritas pengusaha tambak kita belum secara disiplin menerapkan good aquaculture practices. Selain itu, harga benih, pakan, BBM, dan sarana produksi lainnya juga lebih mahal di Indonesia.
Jaringan irigasi tambak, jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, dan infrastruktur lainnya juga pada umumnya kurang memadai.Tata ruang wilayah pesisir dan laut belum mampu melindungi kelestarian usaha budi daya laut dan tambak dari alih fungsi lahan menjadi kawasan industri, permukiman, dan lainnya. Pengendalian pencemaran juga belum dilaksanakan secara serius. Industri pengolahan hasil perikanan dan bioteknologi kelautan yang dapat melipatgandakan nilai tambah produk, menciptakan banyak tenaga kerja, dan sejumlah multiplier effects juga belum dikembangkan secara serius seperti halnya di negara-negara maju dan emerging marketsseperti Malaysia, China, dan Thailand.
Padahal, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) tertinggi di dunia, Indonesia memiliki potensi industri bioteknologi kelautan yang sangat besar seperti farmasi, kosmetik, makanan dan minuman sehat, bioenergi,dan industri lain dengan nilai ekonomi empat kali lipat dari industri teknologi informasi saat ini. Demikian pula halnya dengan industri mesin dan peralatan perikanan, hingga kini sebagian besar masih mengandalkan produk impor.
Secara makro-struktural, kendala utama yang menghalangi kemajuan sektor perikanan adalah tingkat suku bunga pinjaman yang sangat tinggi, sekitar 14% per tahun. Padahal, di Malaysia, Thailand, dan Filipina hanya 3,8%; Australia 3%; dan Jepang 0,5%.Selain itu,perbankan juga sangat enggan meminjamkan uangnya untuk investasi dan usaha di sektor perikanan. Tahun lalu, misalnya, kredit yang tersalurkan untuk usaha perikanan hanya mencapai 0,2% dari total kredit perbankan nasional (BI,2010).
Roadmap Pembangunan
Oleh sebab itu,mulai sekarang kita harus memastikan bahwa intensitas penangkapan (jumlah kapal ikan dan nelayan) yang beroperasi di setiap wilayah perairan berada pada tingkat yang optimal, tidak melebihi nilai MSY-nya.Atas dasar patokan ini, kita tingkatkan kapasitas dan teknologi nelayan tradisional agar mereka mampu menangkap ikan di laut secara efisien, menguntungkan, ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable). Praktik penangkapan ikan secara ilegal dan merusak lingkungan harus kita tumpas sampai ke akar-akarnya. Produktivitas dan efisiensi usaha budi daya laut dan tambak yang ada mesti ditingkatkan dengan menerapkan good aquaculture practices sesuai dengan daya dukung lingkungan wilayah setempat.
Metode dan teknik yang sama juga harus diterapkan pada usaha budi daya laut dan tambak di areal baru (ekstensifikasi).Kita harus memperbaiki dan membangun pabrik-pabrik pakan dan pembenihan (hatchery) di sentra-sentra kawasan produksi budidaya laut dan tambak guna menjamin terpenuhinya kebutuhan benih unggul dan pakan berkualitas di seluruh wilayah Nusantara. Tata ruang wilayah pesisir dan lautan serta pengendalian pencemaran mesti dilaksanakan secara konsisten dan serius untuk menjamin kelestarian lingkungan dan usaha perikanan budi daya dan perikanan tangkap. Infrastruktur dan saran produksi baik untuk perikanan tangkap maupun perikanan budi daya harus disediakan sesuai kebutuhan di setiap wilayah perikanan di seluruh Tanah Air.
Sistem rantai dingin (cold-chain system) mesti diterapkan untuk komoditas-komoditas bernilai ekonomis penting seperti udang, tuna, kakap, bawal, baronang, dan makarel. Setiap usaha perikanan tangkap maupun budi daya diusahakan memenuhi skala ekonominya dan menerapkan sistem bisnis terpadu,dari hulu (produksi) sampai ke hilir (pasar). Kini saatnya Indonesia meluncurkan kredit program dengan bunga relatif rendah dan persyaratan lebih lunak untuk sektor kelautan dan perikanan, seperti halnya di Malaysia,Thailand,India,Vietnam, China, dan negara-negara maju. Iklim investasi dan keamanan berusaha harus dibuat lebih kondusif dan atraktif.
Dan, akhirnya, seluruh kebijakan publik (politikekonomi) termasuk fiskal dan moneter, ekspor-impor, pendidikan, iptek,dan otonomi daerah mesti mendukung sektor kelautan dan perikanan. Dengan peta jalan pembangunan seperti itu,kita tidak hanya akan menjadi produsen perikanan dan produk industri bioteknologi kelautan terbesar di dunia, tetapi juga akan mampu mengatasi permasalahan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan daya saing ekonomi menuju Indonesia yang maju,adil-makmur,dan berdaulat dalam waktu tidak terlalu lama,2025 insya Allah.(*)
Sumber: PPNSI