Pernahkah di siang hari sewaktu bulan Ramadhan ketika kita kecil dulu, kita celingak-celinguk kanan-kiri, lalu kemudian diam-diam membuka pintu kulkas, mengambil minuman dingin yang menggiurkan di dalamnya dan meminumnya dengan segera agar tidak ada satu pun orang rumah yang tahu? Lalu setelah itu kita mengusap mulut kita dengan tissu dan beranjak berkumpul lagi dengan yang lain dan berlagak seolah tak terjadi apa-apa.
Atau pernahkah kita berwudhu untuk shalat Dzuhur di hari yang terik sambil meminum sedikit (atau banyak) air keran yang menyegarkan itu untuk sekadar membasahi kerongkongan kita yang begitu perih kekeringan karena puasa? Sepertinya hampir semua anak-anak, minimal sekali, pernah melakukan hal-hal yang semacam itu.
Mungkin kita menganggapnya sebagai kenakalan biasa seorang anak kecil. Tapi lebih jauh saya menemukan ada sebuah penelitian menarik yang mungkin bisa memberikan alasan tentang hal ini. Saya pernah diberi sebuah video yang ditujukan terutama untuk memberikan visualisasi kreatif dan pembuktian empiris dari sebuah penelitian besar yang pernah dilakukan sebelumnya. Video ini menayangkan sebuah perlakuan sederhana yang dilakukan terhadap 20 orang anak TK.
Kedua puluh anak TK itu diberikan sebuah tantangan yang akan menguji seberapa jauh mereka mampu menahan cobaan. Masing-masing anak itu satu persatu mendapatkan perlakuan yang sama yaitu ditempatkan di sebuah ruangan dimana terdapat sebuah meja dan kursi kecil. Di atas meja terdapat satu buah permen yang sangat menggiurkan bagi anak-anak.
Anak itu didudukkan di kursi tepat menghadap sebuah permen di atas meja. Kepadanya dikatakan bahwa ia akan ditinggal sendirian di ruangan itu selama lima menit saja. Jika dia tidak memakan permen di atas meja itu selama lima menit sampai orangtua anak tersebut datang, maka ia akan mendapatkan tiga buah permen. Tapi jika dia memakan permen di depannya sebelum lima menit atau sebelum orangtuanya kembali, ia tidak akan mendapatkan tambahan permen. Itu artinya ia hanya bisa memakan satu permen saja.
Di ruangan itu mereka akan merasa sendirian tanpa ada yang mengawasi, padahal ada kamera pengintai yang senantiasa merekam gerak-gerik mereka. Nah di sinilah tantangannya. Bisakah dalam kondisi seperti itu anak-anak menahan godaan sebuah permen yang menggiurkan di depan matanya? Bisakah mereka bersabar lima menit saja untuk mendapatkan tiga buah permen (tidak hanya satu)?
Lima menit saja! Bukan perkara yang sulit kan? Tapi ternyata hal ini sama sekali tidak mudah untuk anak-anak. Hampir semua dari 20 anak itu pada akhirnya memakan permen di atas meja sebelum lima menit. Mereka paham bahwa hanya dengan bersabar lima menit saja mereka akan mendapat permen lebih banyak. Tapi permen di depan mata terlalu menggoda sehingga mereka kehilangan fokus terhadap keuntungan besar yang akan mereka dapatkan andai mereka bisa bersabar.
Dalam video tersebut disebutkan bahwa hal ini dikarenakan lobus frontalis pada anak seusia mereka belum cukup matang untuk mengontrol impulsnya. Hal ini menyebabkan mereka belum bisa menguasai diri dengan baik dan sulit untuk menahan cobaan. Perlu beberapa tahun lagi agar lobus frontalnya berkembang pesat sehingga ia lebih bisa mengontrol dirinya sendiri.
Nah, kita kembali lagi ke cerita diam-diam meminum air ketika puasa di awal tadi. Ketika sudah dewasa (baligh), masihkah kita mengulangi perbuatan konyol khas anak-anak yang tak bisa menahan cobaan itu? Saya yakin tidak. Kita tentu paham bahwa jika kita berbuka sebelum waktunya, maka puasa kita akan sia-sia. Tidak ada pahala yang akan menyambut kita di akhirnya.
Bahkan jika tidak ada seorang pun yang melihat kita berbuka, kita tetap tidak akan melakukannya karena sadar sepenuhnya bahwa ada Allah yang senantiasa mengawasi kita. Bahwa yang menilai puasa kita dan memberi pahala adalah Allah, bukan orang-orang di sekeliling kita. Itulah kedewasaaan. Itulah iman. Berbeda dengan anak kecil yang belum memiliki kekokohan iman sehingga ia tidak merasa bahwa Allah senantiasa mengawasinya. Namun jika ternyata Anda masih juga melakukan hal yang sama dengan anak kecil itu, mungkin ada yang salah dengan otak Anda. Ditambah mungkin ada yang rusak dengan iman di dalam dada.
Dari sini berarti bisa kita ambil kesimpulan bahwa semakin dewasa kita, maka semakin kita bisa bersabar, semakin kita bisa menahan cobaan, semakin kita bisa mengendalikan diri, dan tentunya semakin kokoh keimanan di dalam hati kita. Sepakat ya?
Nah, jika kita merasa sudah cukup dewasa sehingga bisa menahan godaan untuk berbuka diam-diam di siang hari yang terik di bulan Ramadhan, bisakah kita menahan godaaan untuk hal-hal yang lain dalam lingkup yang lebih luas. Mari sama-sama kita berintrospeksi.
Sudah seberapa sering kita mencontek waktu ujian? Seberapa sering mata kita melihat sesuatu yang tak seharusnya kita lihat? Seberapa sering mulut ini memfitnah dan bergunjing? Seberapa sering kaki ini dilangkahkan menuju tempat kemaksiatan? Seberapa sering shalat kita tinggalkan? Seberapa sering kita melanggar syariat-Nya dan mengabaikan perintah-Nya?
Padahal kita tahu benar jika yang kita lakukan itu dilarang syariat. Namun kita lebih memilih mencari dalih daripada berjuang untuk taat. Apakah kita masih menganggap bahwa tidak ada yang melihat kita melakukan dosa itu? Lalu dimanakah Allah? Lalu dimanakah iman?
Padahal kita sadar bahwa aturan main dalam kehidupan di dunia sudah sangat gamblang. Kita harus menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya sampai malaikat Izrail mencabut nyawa kita. Sebagai balasannya Allah akan memberikan surga dengan kenikmatan luar biasa yang tak pernah terindra oleh mata dan tak pernah terbayang dalam angan-angan. Sesimpel itu.
Namun ternyata banyak dari kita yang tidak terlalu dewasa untuk bisa menahan cobaan berupa hawa nafsu sehingga tertipu dengan kenikmatan dunia yang semu. Padahal bukankah surga itu begitu menggiurkan? Ataukah kita merasa cukup dengan sampah dunia sehingga mengabaikan surga? Layaknya seorang anak kecil yang memilih satu permen dibandingkan dengan tiga permen. Sungguh ada yang salah dengan otak kita jika masih dunia yang kita kejar-kejar. Sungguh ada yang rusak dengan iman kita jika surga tak lagi mampu membuat kita mati-matian menahan diri di dunia agar bisa meraihnya.
Sungguh, betapa jauh kedewasaan. Dan betapa rendah kita punya iman. Mungkin secara kuantitatif dari segi usia kita sudah dewasa, tapi secara kualitatif kita tak ubahnya seperti anak kecil. Menyedihkan.
Bersyukur bahwa Tuhan kita adalah Allah, Ia Yang Maha Pengampun. Maka tak ada kata terlambat sebelum nyawa diangkat. Jika kita sungguh bertaubat, Allah berkenan memaafkan dan mempersilakan kita kembali untuk berlaga di arena memperjuangkan janji surga. Dan semoga bulan Ramadhan yang sebentar lagi datang bisa menjadi sarana penggemblengan agar kita menjadi pribadi yang benar-benar dewasa. Kedewasaan yang menghujamkan iman dalam hati dan membuat kita bertindak dalam koridor aturan main (syariat) Allah, bukan dikendalikan oleh hawa nafsu yang membuat kita merugi selama-lamanya..
So now, are you mature enough?
http://adityasaja.blogspot.com/2012/07/mengeja-kedewasaan.html