HEBOH juga ketika organisasi Fund for Peace (FFP) mempublikasikan Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012. Publikasi ini menempatkan Indonesia di urutan ke 63 dari 178 negara. Indonesia dikategorikan sebagai negara dalam bahaya. Ironiknya, media dan sebagian orang Indonesia justru lebih suka menyebutnya sebagai negara gagal.
The Fund for Peace adalah suatu organisasi nirlaba beranggotakan lebih dari 500 orang peneliti dengan latar belakang yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat. Organisasi yang memiliki jaringan di lebih dari 50 negara ini mengadakan pendekatan secara holistik melalui mekanisme mereka yang bekerja baik sebagai tokoh kunci di tingkat akar rumput dan para pengambil kebijakan.
The Fund for Peace adalah suatu organisasi nirlaba beranggotakan lebih dari 500 orang peneliti dengan latar belakang yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat. Organisasi yang memiliki jaringan di lebih dari 50 negara ini mengadakan pendekatan secara holistik melalui mekanisme mereka yang bekerja baik sebagai tokoh kunci di tingkat akar rumput dan para pengambil kebijakan.
Uniknya, organisasi ini mengkombinasikan kecanggihan teknologi informasi dengan ilmu pengetahuan sosial menghasilkan apa yang disebut Conflict Assessment System Tool (CAST). Melalui piranti lunak ini mereka mampu menghasilkan kerangka kerja dan teknik pengumpulan data untuk mengukur risiko konflik di suatu negara. Produk lainnya adalah Indeks Negara Gagal (The Failed States Index), suatu indeks tahunan yang berisikan 177 negara menggunakan 12 indikator yang dipublikasikan oleh majalah Foreign Policy.
Negara Gagal
Luar biasa memang publi-kasi yang dilakukan dari negara-negara maju. Bukan hanya secara ilmiah lebih dapat dipertanggung-jawabkan tetapi juga gemanya bisa kemana-mana. Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dari apa yang dilakukan oleh the Fund for Peace. Mereka hanya mengkompilasi berbagai informasi yang masuk, mengolahnya dengan menggunakan piranti lunak (software) yang diciptakan sendiri, lantas mengumumkan hasil pengolahan data tersebut. Sebagaimana juga hasil berbagai penelitian, kredibilitas suatu lembaga yang paling menentukan.
Hanya saja karena kredi-bilitas dan kapabilitas kebanyakan lembaga non-pemerintah di luar negeri yang sebagian besar “benar-benar” swadaya. “Benar-benar” tidak mencari untung dan non-partisan. Menyebabkan, temuan dan publikasi mereka lebih dipercaya.
Tahun 2012 The Fund for Peace menempatkan negara Somalia kelima kali berturut-turut sebagai negara gagal nomor satu di dunia. Somalia dikategorikan sebagai negara paling gagal di dunia ini karena memenuhi kategori sebagai negara tidak memiliki hukum (lawlessnes), pemerintahan yang tidak efektif (ineffective government), aktivitas tero-risme (terrorism), pemberontakan melawan pemerintahan yang sah (insurgency), tingkat kejahatan (crime), dan publikasi yang meluas terkait pembajakan kapal-kapal asing (well-publicized pirate attacks against foreign vessels).
Di sisi lain, FFP menempatkan kembali Finlandia sebagai negara “paling berhasil” bersama dengan negara-negara tetangga Skandinavia lainnya.
Posisi kedua terbaik ditempati oleh Swedia serta Denmark di posisi ketiga. Negara-negara ini berada pada posisi berlawanan dengan Somalia karena memiliki indikator sosial ekonomi yang sangat kuat. Ditambah lagi sempurnanya pelayanan publik (public services), penghormatan nilai-nilai HAM (respect for human rights) serta tegaknya hukum (the rule of law).
Bukan Negara Gagal
Ada banyak orang yang tidak setuju jika Indonesia dikategorikan sebagai negara gagal. Penilaian terhadap Indonesia didasarkan berbagai informasi yang masuk ke organisasi FFP di Amerika Serikat itu. Justru karena keberhasilan Indonesia di berbagai bidang itulah maka FFP mendapatkan data yang sangat majemuk. Orang Indonesia bisa berbicara apa saja. Media dapat memberitakan sesukanya. Positif tetapi juga dapat menjadi bumerang.
Jika indikator ekstrim seperti Somalia yang digunakan berarti Indonesia tidak memiliki hukum (lawlessnes), pemerintahan yang tidak efektif (ineffective government), terorisme (terrorism), pemberontakan melawan pemerintahan yang sah (insurgency), tingkat kejahatan (crime), dan publikasi yang meluas terkait pembajakan kapal-kapal asing (well-publicized pirate attacks against foreign vessels).
Memang hampir semua indikator Somalia itu “dimiliki” oleh Indonesia. Indonesia masih bermasalah dalam penegakan hukum. Tetapi jika jujur, kondisi hukum Indonesia mengalami kemajuan. Jauh dari kesempurnaan, tapi upaya itu cukup nyata. Berbagai lembaga terbentuk untuk memastikan pelaksaan hukum lebih baik. Komisi Yudisial dibentuk agar hakim lebih baik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan agar korupsi di berbagai tingkatan dibe-rantas. Cukup banyak jaksa, hakim, polisi, pengacara yang ditindak.
Bagaimana dengan pemerintahan yang tidak efektif (ineffective government)? Indikator ini juga bisa diperdebatkan. Misalnya, apa tolok ukur sehingga dapat dikatakan pemerintahan suatu negara tidak efektif? Pemerintah pusat masih memiliki kontrol yang wajar terhadap pemerintahan di daerah. Pemerintah daerah masih bekerja untuk wilayahnya. Memang jika kualitas tuntutan ditingkatkan dibandingkan “masa lalu”, maka akan tampil berbagai sisi kekurangannya.
Tidak juga fair jika definisi negara gagal dibandingkan dengan negara Singapura yang luasnya mungkin sama dengan salah satu kabupaten di Indonesia. Demography and geography yang tidak sebanding. Apalagi kompleksitas masalah yang dihadapi. Tentulah negara “Kota Singapura” akan lebih nyaman, lebih tertib dan lebih rapi.
Kejahatan terorisme dan pemberontakan juga ada. Tapi mungkin tingkatannya masih jauh di bawah Somalia. Negara melakukan berbagai upaya mengatasi dan membatasi kejahatan terorisme. Gerakan pemberontakan sudah jauh menurun. Aceh tak lagi bergolak. Jikapun Papua masih bermasalah, tidak separah sebelumnya. Tetapi, dalam kondisi sekarang ini, isu Indonesia negara gagal pastilah amunisi canggih untuk dipolitisasi.
Namun, sekalipun Indonesia bukan negara gagal (failed state), masuk ke dalam urutan ke-63 dari 178 negara yang diteliti, mestinya sebagai peringatan (warning) bagi pemerintah dan kita semua. Pemerintah tidak boleh bersikap apriori dengan publikasi ini. Justru karena kualitas hidup bangsa Indonesia yang meningkat menuntut penghargaan HAM, pelayanan publik dan penegakan hukum yang lebih baik. Semuanya masih harus ditingkatkan, tetapi jangan pula lantas pesimis. Harus ditegaskan Indonesia bukanlah negara gagal (failed state).
Editor : Bedjo
Sumber : Sriwijaya Post
http://palembang.tribunnews.com/2012/07/03/indonesia-bukan-negara-gagal