Fakta bahwa petani kita miskin memang tidak bisa dipungkiri. Data BPS menunjukkan, dari 31 juta warga miskin di negeri ini sebagian besar di antaranya adalah warga pedesaan yang berstatus sebagai petani. Berbagai upaya juga sudah dilakukan pemerintah dan banyak pihak untuk meningkatkan kesejahteraan petani, namun faktanya mereka tetap saja terjebak pada kemiskinan dan bahkan cenderung semakin miskin.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengangkat derajat kelayakan hidup petani seolah sia-sia dan petani sepertinya menjadi semakin tidak berdaya.
Salah satu jawaban mengapa petani tetap saja miskin dikemukakan oleh Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Gatot Irianto di Jakarta belum lama ini. Menurutnya, banyak petani tetap miskin karena jumlah petani dan tenaga kerja di sektor pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan memang cenderung berlebihan. Dengan luas baku lahan pertanian 8,1 juta hektar idealnya hanya dibutuhkan satu juta rumah tangga petani, dengan sekitar 400.000 hingga 500.000 tenaga kerja formal di tingkat budidaya. Padahal sekarang ada sekitar 30 juta petani yang menggeluti lahan itu.
Fakta itu menunjukkan, jumlah petani yang menggarap dan menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian jauh melebihi kemampuan ideal lahan pertanian untuk menampung tenaga kerja penggarap. Artinya, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian tanaman pangan terlalu berlebihan sehingga tidak mampu lagi memberi hasil yang mensejahterakan bagi mereka yang menggarap. Bisa juga dikatakan, jutaan petani di negeri ini sesungguhnya menjadi ‘setengah pengangguran’ karena tidak optimal menggunakan potensinya untuk menggarap lahan. Tidak salah bila sebagian besar di antara mereka tetap miskin karena kerja mereka sesungguhnya tidak optimal.
Oleh karena itu, perlu segera ada solusi untuk menjawab persoalan mendasar ini agar jutaan petani yang sekarang miskin bisa segera terbebas dari kemiskinannya. Solusi menambah luas lahan pertanian untuk menampung para petani ‘setengah penganggur’ jelas tidak mungkin. Selain keterbatasan lahan, kompetisi dengan sektor lain juga membatasi kemungkinan penambahan lahan pertanian. Pengalaman yang selama ini terjadi justru lahan pertanian cenderung semakin sempit karena tergerus oleh kepentingan industri, properti dan berbagai kepentingan lain.
Salah satu jalan adalah mengurangi jumlah petani yang langsung mengelola budidaya dengan mengalihkan mereka menjadi tenaga kerja sektor industri dan jasa. Pilihan terbaik tentunya menumbuhkan industri padat tenaga kerja di pedesaan sebagai penampung limpahan tenaga kerja sektor pertanian. Mereka yang terjun menjadi petani adalah mereka yang memang memiliki kemampuan dan kapasitas sebagai petani dan secara ekonomi dapat hidup sejahtera dari lahan pertaniannya. Konsolidasi lahan pertanian sempit dalam wadah ekonomi yang lebih besar mungkin juga bisa menjadi solusinya.
Apapun solusinya, yang penting petani sejahtera dan rakyat bisa makan kenyang dengan harga terjangkau.