Dalam dunia pendidikan, ada beberapa aliran yang mempengaruhi tingkah laku manusia, di antaranya adalah Empirisme, yaitu aliran yang beranggapan, bahwa manusia dalam perkembangan pribadinya ditentukan oleh pengalaman dunia luar. Sementara Nativisme berangapan sebaliknya, bahwa manusia dalam perkembangannya ditentukan dari dalam/pembawaan. Dan jika yang pertama dianggap sebagai tesa,
maka yang kedua merupakan antitesa. Adapun sintesa dari kedua aliran di atas adalah Konvergensi, yang beranggapan bahwa perkembangan manusia di samping ditentukan oleh faktor bakat/ pembawaan juga oleh faktor lingkungan pengalaman/pendidikan, tergantung dari faktor mana yang lebih dominan.
 
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia sejak dilahirkan sudah membawa potensi, yakni potensi dasar/naluri bertuhan, sehingga dengan begitu, secara fitri manusia beragama, tetapi mengapa dalam perkembangannya ternyata ada yang menjadi ateis, musyrik dan sebagainya. Al-Qur’an menyatakan adanya faktor pembawaan, faktor keturunan, dan faktor pendidikan secara bergantian. Contoh kisah Nabi Ibrahim AS. yang tumbuh dari lingkungan keluarga paganis, dan si kafir Kan‘an putra Nabi Nuh AS. tumbuh dari lingkungan yang salih. Sementara Nabi Muhammad SAW. dilahirkan dan didewasakan dalam lingkungan yang menyimpang dari segalanya, yakni pagan, musyrik dan sebagainya, namun demikian beliau tumbuh menjadi manusia yang paripurna, karena adanya faktor X sebagai iradah  (kemauan) manusia dan hidayah (petunjuk) Allah SWT.

1.  Faktor Pembawaan
Yang dimaksud dengan faktor pembawaan di sini adalah suatu keadaan pada diri manusia dan telah ada sejak lahir tanpa adanya unsur ataupun pengaruh dari manapun termasuk dari orang tuanya sendiri. Atau dengan kata lain, suatu keadaan yang dibawa langsung berkat karunia Allah SWT. Berdasarkan penelitian penulis terhadap ayat-ayat yang mengandung bahasan atau yang dapat dikaitkan dengan faktor pembawaan, sedikitnya ada dua ayat dalam surat yang keduanya dalam kategori ayat Makkiyyah, yaitu :
Surat al-A‘raf : 172 :

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? “Mereka menjawab” : betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.[1]
Surat al-Rum : 30 :

  “Maka hadapkanlah wajahmu dengan tunduk kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[2]
Dari Surat al-A‘raf ayat 172 tersebut dapat dipahami bahwa sejak dilahirkan, bani Adam (semua manusia tanpa kecuali) bukan tidak membawa apa-apa, bukan tidak berpotensi, bukan kosong sama sekali, melainkan telah memiliki kecendrungan dasar atau naluri bertuhan, bahkan telah mengikat perjanjian primordial dengan Allah SWT. Dengan demikian pada dasarnya semua manusia itu monoteis sebelum datangnya pengaruh dari luar yang membelokkannya.

Menurut Francois L. Patton yang dikutip oleh Mukti Ali, monoteis adalah agama primitif atau agama fitrah manusia. Dia mengatakan : “ yang terlebih penting untuk dicatat adalah, bahwa terlepas dari pernyataan kitab suci prihal ini, terdapat alasan kuat bahwa politeisme, fetitisme dan keberhalaan merupakan pengrusakan dari agama yang lebih penting sebelumnya. Lima ribu tahun yang lalu, bangsa Cina adalah monoteis bukan henoteis, dan monoteis ini ada dalam bahaya pengrusakan, seperti kita saksikan, lewat penyembahan alam di satu pihak, tahayyul di pihak lain.[3]
Pengertian di atas, bahwa manusia terlahir dalam keadaan bernaluri ke-Tuhanan Yang Mahaesa lebih jelas dapat disimak dalam surat al-Rum ayat 30 yang menyatakan bahwa :
  1. Semua manusia itu diciptakan berdasarkan fitrahnya, yaitu naluri beragama/tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam  Tafsir al-Qur’an al-‘Adim, al-Hafid Ibn Kasir mengatakan : sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan manusia dalam keadaan ma’rifat kepadaNya, mentauhidkanNya dan bahwasanya tidak ada tuhan selain Dia, sebagaimana firmanNya : Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhamu ?, mereka menjawab : Benar (Engkau tuhan kami)”.[4]
  2. Tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah, bahwa semua manusia itu tanpa kecuali terlahir dalam keadaan fitri (beragama/bertauhid). Al-Hafid Ibn Kasir mengatakan : Ulama’ yang lain berpendapat mengenai ayat : La tabdila li khalqillah adalah kalam khabar yang mengandung arti, bahwa Allah SWT. menciptakan semua manusia (tanpa terkecuali) itu dalam keadaan fitri yang berasal dari benih yang baik (lurus), dan tak seorangpun dilahirkan  melainkan dalam keadaan seperti itu, dan ini tidak berbeda antara manusia yang satu dengan lainnya.[5]
  3.  Dan hal ini adalah termasuk ajaran agama (Islam) yang lurus, yang disyari‘atkan sesuai dengan fitrah manusia.

     Dalam kerangka psikoanalisis Eric Fromm menyatakan, bahwa manusia itu selalu ditarik oleh unsur jasmaniah dan rohaniahnya sekaligus. Dengan kata lain, dua unsur kehidupan manusia, jasmani dan rohani selalu tarik menarik. Inilah yang menimbulkan ketimpangan (disharmoni).

Oleh karena itu,  salah satu fungsi diturunkannya syari’at adalah untuk memecahkan masalah ketidak seimbangan tersebut. Contoh yang jelas adalah perintah puasa Ramadan. Dalam proses berpuasa itu manusia berusaha mencari keseimbangan baru, baik pada tingkat individu maupun sosial .

Pada tingkat individu, puasa memberikan kesempatan bagi manusia agar mampu mengendalikan dirinya. Di satu pihak, ia harus mengurangi kegiatan pemenuhan hasrat seksual jasmaniahnya dengan menahan makan, minum, hubungan seksual dan amarah. Di pihak lain, ia harus menyuburkan perkembangan batinnya dengan meningkatkan peribadatan.

Pada tingkat sosial, puasa diikuti dengan pembayaran zakat fitrah (bagi yang mampu) diperuntukkan bagi fakir miskin dan yang membutuhkan guna menciptakan keseimbangan  sosial yang mungkin telah rusak karena aktifitas bisnis dan pertumbuhan ekonomi.[6]
Itulah manusia secara fitri memang beragama (bertauhid), yang secara alamiyah memang berpotensi baik. Adapun dalam kenyataannya ada (justru cendrung banyak) yang tidak beragama (Islam) seperti ateis dan musyrik, ataupun yang mengklaim dirinya beragama tetapi perbuatannya kosong dari muatan nilai-nilai religius –misalnya—munafiq, cinta dunia dan takut mati, penipu, koruptor, dikuasai nafsu-nafsu jahat dan lainnya, maka hal di atas perlu pembahasan lebih lanjut.

2. Faktor Keturunan.
Faktor keturunan adalah sesuatu keadaan yang ada pada diri manusia sebagai akibat keterpengaruhan yang diperoleh dari orang tuanya atau orang-orang yang secara genetik ada hubungan darah dengannya.

Faktor heriditas (keturunan) sendiri merupakan sesuatu yang tergolong dalam kelengkapan dasar manusia, karena ia telah ada pada diri manusia sejak masih dalam bentuknya sebagai plasma benih, yang kemudian menjadi salah satu dasar di mana manusia di atas dasar itu mengalami suatu proses pertumbuhan. Dasar ini tak dapat diubah untuk dijadikan bentuk lain. Namun yang diturunkan bukanlah dalam bentuk tingkah laku melainkan strukturnya. Jadi keturunan berlangsung melalui sel benih bukan sel badan. Kecakapan, pengetahuan, sikap yang ada pada orang tuanya yang diperoleh melalui belajar, menurut prinsip perkembangan tidak dapat mempengaruhi sel-sel benih, tetapi terjadi dengan perantaraan proses-proses yang mengandung perubahan tertentu dalam diri seseorang.[7]
Bagaimana kalau struktur itu kemudian mempengaruhi kepribadian atau tipe seseorang, secara implisit hal ini menunjukkan bahwa faktor keturunan memegang peranan pada pembentukan tingkah laku, hanya saja tidaklah mutlak.

Sejauhmana pengaruh keturunan dapat diukur dengan melihat bahwa kita semua adalah keturunan Adam dan Hawa. Mereka baik-baik, namun keturunannya tidak semua baik-baik. Sejauhmana pula sebenarnya batas keturunan dapat dipertahankan kemungkinan pengaruhnya, hal mana membutuhkan penelitian lebih lanjut. Dan ini problem yang masih mengaburkan pembicaraan setiap masalah faktor keturunan hubungannya dengan masalah perkembangan. Selebihnya memunculkan teori pentingnya upaya pendidikan.

Kiranya untuk hal keturunan perlu kita melihat kisah-kisah nyata, semisal kisah Nabi Ibrahim AS. dalam hubungannya dengan prilaku ayahnya. Dan perlu pula melihat bagaimana kenyataan yang dikisahkan al-Qur’an tentang Nabi Nuh AS. dan putranya. Hal ini membuktikan ketidakmutlakan faktor keturunan. Dugaan kita mengenai masalah keturunan ini adalah pentingnya memilih istri yang baik-baik. Artinya, al-Qur’an menawarkan kepada kita dengan kisah itu untuk melihat siapa sebenarnya yang kurang patut disebut keturunan baik-baik, ibunya atau ayahnya. Ibu Nabi Ibrahim tidak terkisahkan sebagai wanita durhaka. Ibu Nabi Ibrahim melahirkan Nabi Ibrahim, sedangkan istri Nabi Nuh melahirkan Kan’an sebagai anak durhaka. Asumsi kita adalah ibu lebih erat, lebih dekat hubungannya secara mendasar sejak kecil dengan anaknya ketimbang dengan ayahnya. Ibu lebih sering memungkinkan mengadakan hubungan pendidikan dengan anaknya. Namun bagaimanapun, hal ini menunjukkan bahwa keturunan tidak mutlak mempengaruhi perkembangan individu seseorang.

3.       Faktor Pendidikan
Mengenai pentingnya faktor pendidikan, kisah Nabi Musa patut dikaji secara cermat. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga Fir’aun yang lalim, tetapi istri Fir’aun, ia justru sebagai penentang Fir’aun pelindung keimanan dan bakat yang ada pada Nabi Musa. Bagaimana kedudukan ibu jika jasanya dianalogikan dengan pendidikan. Di sinilah arti penting beberapa usaha, mulai dari do’a sejak mengandung dan begitu anak dilahirkan. Semua menunjuk pentingnya perhatian kita kepada penyelamatan, pemeliharaan dan upaya pengembangan fitrah manusia.

Untuk memperjelas uraian di atas perlu dilihat ayat 10 surat al-Tahrim :
“Allah menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada dibawah pengawasan kedua hamba Allah yang salih, diantara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu khianat kepada kedua suaminya; maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan kepada keduanya; masuklah kedalam neraka bersama-sama orang yang masuk (neraka).[8]

Ayat di atas menunjukkan kemungkinan kegagalan Kan’an adalah sebagai akibat asuhan ibu durhaka. Kemudian mengenai kemungkinan terpeliharanya fitrah dalam keluarga terdekat beriman, ditamsilkan pada ayat 11  dan 12 surat al-Tahrim:

Dan Allah membuat isteri Firaun (menjadi) perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah aku dari Firaun dan (dari) perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim. Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian ruh (ciptaan) Kami; dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya, dan dia termasuk orang yang taat.”  [9]

            Ayat di atas menunjuk pentingnya aspek bimbingan, sekaligus pentingnya iradah (kemauan) sebagai taufiq-hidayah Ilahi. Ibu salihah yang menyusui dan mengasuh anaknya lebih berpengaruh sebagai lingkungan efektif dalam rangka penyelamatan awal bagi perkembangan fitrahnya. Musa AS disusui ibunya dan diasuh oleh isteri Fir’aun yang salihah, tumbuh menjadi anak baik, bahkan sebagai rasulullah; demikian pula Isa AS disusui dan diasuh oleh ibundanya (Maryam) yang salihah, tumbuh menjadi pemuda yang hebat dan juga menjadi rasulullah. Dalam kaitan ini surat al-A’raf ayat 58 menjelaskan:
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran Kami bagi kaum yang bersyukur.” [10]
           
Ali Abdul Adhim menjelaskan ayat tersebut sebagai analogi bagi pentingnya lingkungan yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan individu seseorang.[11] Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, sampai dia bisa berbicara. Sesudah itu, maka orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” ( Diriwayatkan oleh Ahmad, ad-Darimiy, an-Nasaiy, Ibn Jarir, Ibn Hibban, at-Tabraniy dan al-Hakim dari al-Aswad bin Suwaid)

Hadis di atas mempunyai sebab wurud yang menarik, yaitu: al-Aswad bin Suwaid bercerita, dalam suatu peperangan dia bersama Rasulullah SAW. Peperangan tersebut terjadi sangat dahsyat, hingga dua anak dari fihak kuffar terbunuh. Karena semangat jihad yang tinggi, kemenangan berada di pihak kaum muslimin. Namun dengan kabar terbunuhnya dua anak dari pihak kuffar tersebut, Rasulullah SAW. dengan nada kesal bertanya: “Mengapa mereka berlebihan sampai membunuh anak-anak ?” Salah seorang sahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, mereka adalah anak-anak orang musyrik juga.” Lalu beliau bersabda:  “Ingatlah, jangan kalian membunuh anak-anak! Ingatlah, jangan kalian membunuh anak-anak !”  Kemudian beliau bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah…”
            Dari hadis dan sebab wurudnya di atas dapat dipahami:
  1. (Sekali lagi) bahwa semua anak (tanpa kecuali) terlahir dalam keadaan berpotensi baik, bernaluri tauhid.
  2. Bahwa fitrah tersebut bersifat terbuka, dapat dipengaruhi faktor dari luar, dan pendidikanlah (yang dalam hadis ini dilambangkan dengan orang tua) yang mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Faktor pendidikan di sini dapat berupa pendidikan keluarga, pendidikan sekolah ataupun pendidikan masyarakat/lingkungan (atau yang lazim disebut dengan tri pusat pendidikan).

4.       Faktor Kemauan (Iradah)
Faktor intern sangatlah penting hubungannya dengan daya pembentukan kepribadian menyesuaikan dengan pola-pola kepribadian menurut al-Qur’an. Faktor itu meliputi fungsi jiwa rohani seperti akal, nafsu, roh, kalbu, dan menurut Nabi SAW. yang terpenting di antara unsur-unsur itu ialah kalbu atau hati, yang di dalamnya terdapat hasrat atau iradah.
Ternyata lingkungan tidak dapat mempengaruhi jiwa yang kuat sempurna itu. Nabi Muhammad SAW. dilahirkan dan didewasakan di tengah lingkungan segalanya, baik keluarga atau masyarakatnya yang sudah jauh menyimpang dari tauhid atau fitrah manusia. Namun kenyataannya beliau justru yang memperbaiki suasana kebobrokan itu. Di sini mudah dibaca adanya faktor lain sebagai rahasia. Itulah faktor X sebagai iradah (kemauan) manusia dan hidayah (petunjuk) Ilahi. Wa Allahu a‘lam.

Karena adanya hasrat dan niat itu maka manusia mencapai kemampuannya dalam kebebasan iradah atau kehendak menyingkapkan tabir kegelapan untuk menemukan cahaya iman. Karena iradah ini, Allah membebankan perintah ibadah kepada manusia dan karenanya maka dijanjikan pahala dan ancaman sebagai siksaan. Dan Allah tidak membebankan sesuatu kepada manusia di luar kemampuannya.[12]

Niat kuat dari hamba Allah untuk berbuat sesuatu, disertai iman kuat pula, akan dapat menyingkirkan krikil-krikil tajam yang senantiasa ada di sekitarnya. Nabi Muhammad SAW. telah sukses sebagai pendidik dalam tempo singkat, di antaranya karena adanya iradah (kehendak) yang kuat, niat yang mantap, didukung oleh iman kuat pula. Ali Abdul Adhim menyebut faktor iradah, sebagai tak kurang pentingnya dalam upaya mempengaruhi kepribadian atau tingkah laku seseorang, memberi bukti dengan menunjuk apa yang tertera dalam surat al-Balad.

Ayat-ayat pada surat tersebut berkesimpulan membuktikan bahwa Allah SWT. menyelamatkan Rasul dari pengaruh lingkungan (paganisme, dosa, dan sesat), sejak beliau kecil hingga dewasa. Diisyaratkan oleh Allah bahwa Dia memberi bekal kepada manusia kekuatan material dan spiritual. Allah memberikan kepada manusia pancaindra, akal, petunjuk, ilham akan jalan menuju kebaikan dan kejahatan. Tak lain, faktor iradah atau kehendak dengan niat yang kuat itulah yang mendorong Nabi beramal demikian gigih. Sabdanya : “Tiada lain (bahwasanya) amal-amal itu tergantung pada (bagaimana) niatnya.”
Kehendak dari Allah pada hakekatnya adalah mengajar kepada manusia untuk memilih dan membuat keputusan serta bertanggung jawab atas pilihannya, atas keputusannya yang telah diambil. Sedangkan kehendak dari manusia pada hakekatnya adalah belajar memilih, menentukan suatu keputusan dengan penuh tanggung jawab. Kehendak yang dibarengi dengan niat, berarti suatu tekad untuk melangkah menuju suatu proses dalam rangka memenuhi tuntutan hatinya. Pada adanya niat itu pula letak penting dan keberartiannya hati, hubungannya dengan kehendak atau iradah.

Jadi hubungannya dengan tingkah laku fitri manusiawi, nafsu dan akalnya selalu bertarung berebut kekuasaan di hati, sangatlah membutuhkan kesehatan akal yang tentu harus ditopang dengan ilmu, belajar dan pendidikan. Faktor suasana hati kiranya lebih penting dan dominan dalam perkembangan kedewasaan manusia dibanding dengan dua faktor lainnya, yaitu pembawaan dan lingkungan. Demi pentingnya aspek intern ini, hampir saja dasar keturunan dan lingkungan tidak berarti sama sekali. Faktor hidayah sebenarnya mengiringi pilihan kebebasan dan ikhtiar manusia sendiri seperti telah disinggung di atas. Hanya saja mana mungkin bagi manusia pada umumnya akal bisa sehat tanpa melalui belajar dan pendidikan, meskipun hanya sekedar sebab, dan bukan merupakan jaminan. Yang jelas akal sehat turut menentukan suasana salihnya hati, sebagai sumber salihnya amal.


[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : 1989), 250.
[2] Ibid., 645.
[3] Dawam Raharja, dalam Ulum al-Qur’an [Jurnal Islam dan Kebudayaan, Bagian Ensiklopedi al-Qur’an : Fitrah] (Jakarta : Aksara Buana, 1992), 41
[4] Imaduddin Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adim, Jilid I (Beirut : Dar al-Fikr, 1970), 358.
[5] Ibid., 359.
[6] Dawam Raharjo, 43.
[7] Witheringthon, dalam MZ.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintazng, 1976), 125.
[8] Depag RI,  952
[9] Ibid.
[10] Ibid., 231.
[11] Ali Abdul Adhim dalam Ahmas, 1989, 122.
[12] Ibid., 128.
 
Top