Judul Buku: Intelektualisme Tasawuf;
Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali Penulis: Prof Dr Amin Syukur,
MA dan Drs Masyharuddin, MA Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2002 Tebal buku: xi + 249 halaman
———————————–
KEBIMBANGAN tampaknya bisa menjadi salah satu
faktor bagi seseorang untuk kemudian tenggelam ke dalam relung tasawuf
demi memetik sebuah kedamaian hati. Setidaknya, itulah yang dialami oleh
Al-Ghazali, salah satu tokoh besar Islam yang dikemudian hari dikenal
dengan sebutan “Hujjatul Islam”. Sebab, setelah pengembaraannya dalam
belantara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat tak mendapatkan banyak hal
bahkan justru mengalami kebimbangan dan sakit fisik yang berat,
Al-Ghazali-setelah sembuh-kemudian menempuh jalan hidup menjadi seorang
sufi.
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja
telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh
lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta
perkembangan tasawuf.
Jika pada awal pembentukan tasawuf-berupaya
menenggelamkan diri pada Tuhan-dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti
Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazaid
Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan
munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat
al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan
wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan
mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan
warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu
kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Kendatipun sumbangan Al-Ghazali dalam tasawuf bisa
dikatakan cukup besar dan telah memberikan warna baru, dan berusaha
merilis satu jalan ruhani menuju Tuhan dengan mendasarkan Al Quran dan
hadits, selain secara epistemologi berusaha menemukan kebenaran dengan
jalan intuisi (dzauqiyah), toh oleh banyak kalangan (Barat) tasawuf
tetap dianggap antirasionalitas. Bahkan yang lebih parah lagi adalah
adanya satu tuduhan di mana karena tasawuflah, umat Islam mengalami
kemunduran.
Adanya tuduhan itu, memang tak lepas dari gencarnya
serangan yang dilakukan Al-Ghazali kepada filsuf-filsuf Muslim, di mana
akhirnya secara sepihak dimenangkan oleh Al-Ghazali. Dengan demikian,
Al-Ghazali pun kemudian kena satu klaim sebagai orang yang harus
bertanggung jawab atas kemunduran (umat) Islam tersebut.
***
BUKU Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme
Tasawuf Al-Ghazali ini memang tidak berpretensi untuk menjawab tuduhan
di atas dan melakukan pembelaan terhadap Al-Ghazali. Akan tetapi, buku
yang ditulis oleh Amin Syukur dan Masyharuddin-dua orang ilmuwan Muslim
yang memiliki perhatian besar terhadap masalah-masalah tasawuf-ini jelas
ingin menunjukkan dan membuktikan dengan disertai argumen yang
meyakinkan bahwa rumusan tasawuf yang dikembangkan Al-Ghazali bukanlah
suatu rumusan tasawuf yang sepi dari adanya penalaran (rasionalitas).
Adanya segi-segi penalaran mengenai konsepsi
tasawuf Al-Ghazali, dalam buku ini ditunjukkan dari hasil lacakan
melalui dasar-dasar ontologis tasawuf Al-Ghazali yang mengakui otoritas
jiwa/akal sebagai substansi yang berdiri sendiri dan merupakan tempat
bersemayamnya pengetahuan-pengetahuan intelektual. Selain itu,
Al-Ghazali juga mengakui metafisika cahaya (nur), yang mana Allah
sebagai asal-usul segala cahaya serta hubungannya dengan dunia ciptaan
yang menerima cahaya dari-Nya.
Begitu juga tentang moral, dapatlah dikatakan bahwa
tasawufnya bersifat religius dan sufistik, mesti tidak berarti
Al-Ghazali menolak prinsip etika yang berasal dari sumber lain, yakni
rasio/filsafat. Dari situ, sebenarnya sudah tampak sikap Al-Ghazali yang
tidak menafikan peranan akal dalam konsepsi tasawufnya.
Meski demikian, hal itu masih kurang memadai. Lebih
lanjut, Masyharuddin dalam bagian kedua buku ini kemudian melakukan
analisis atas rasionalitas dari sisi epistemologi. Ditinjau dari dimensi
rasionalitas, dia melihat konsepsi tasawuf Al-Ghazali berdasarkan
epistemologi yang dikembangkan tampak tercermin pada; 1) penggunaan
logika yang tetap dalam memahami tasawuf maupun perumusannya, sehingga
bangunan konsepsi tasawufnya memiliki segi pemikiran logis dan rasional,
2) penggunaan analog-analog secara tepat dalam mengomunikasikan
pemikiran tasawufnya, dan 3) sikap apresiatifnya terhadap akal, sehingga
pemikiran tasawufnya tidak menolak akal sama sekali. (hlm. 227)
***
AKHIR kata, apa yang telah diupayakan Al-Ghazali
dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan
keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain Al-Qusyairi dan
Al-Hawari-karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan
hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru
(ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah)
tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya,
sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan
yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.
Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri, ternyata
apa yang telah diupayakan oleh Al-Ghazali tersebut telah melahirkan
implikasi dan ekses yang tak bisa dibendung. Pemikiran tasawufnya
mengalami kemandulan dalam periode sesudahnya.
Adanya kemandulan pemikiran tasawuf
pasca-Al-Ghazali itu, tak lain karena tasawuf telah didistorsi dalam
bentuk tarekat-tarekat yang lebih menyerupai agama dalam agama.
Akibatnya, tasawuf yang sebenarnya sarat dengan muatan
intelektual-sebagaimana yang dirumuskan Al-Ghazali-mengalami pereduksian
dimensi kognitif dan berubah menjadi rutinitas ritual di bawah para
syeikh/mursyid tarekat dengan segala implikasinya, seperti pemujaan
wali, pencarian berkah, dan sebagainya. Dengan demikian, apakah
Al-Ghazali salah dan harus bertanggung jawab terhadap kemunduran umat
Islam? Semua itu tentunya dibutuhkan kecermatan yang tidak serampangan!
sumber:
http://mcdens13.wordpress.com/