Imam Ghazali : “Ketika
masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya
sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai penyelam penakut dan
pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua maslah,
menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap
rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara
kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan
kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta
bid’ah”.
Al-Ghazali dan Tasawuf
Al-Ghazali dan Tasawuf
Bahwa Al-Ghazali adalah ulama’ besar yang sanggup menyusun kompromi
antara syari’at dan hakikat atau tasawuf menjadi bangunan baru yang
cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’I ataupun
lebih-lebih kalangan sufi.
Berbagai macam buku yang membahas tentang sepak terjang Al-Ghazali
yang tumbuh kembang pada masa dimana banyak muncul mazhab dan goolngan.
Ketika itu, beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama
maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi. Al-Ghazali merasakan
dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak,
filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam
bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan
keberanian;
Dengan demikian tidak ayal al-Ghazali merasakan dirinya berhadapan
dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat dahsyat dan
dalam. Dia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira” yang hanya
ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu. Dia tidak merasa takut terhadap
luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang.
Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia. Perkembangan yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari’ah bisa diperkecil. Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks (pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini diterangkan sebagai berikut;
Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia. Perkembangan yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari’ah bisa diperkecil. Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks (pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini diterangkan sebagai berikut;
“Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.
Tingkat kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil.
Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.
Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian
secara langsung dengan perantara nurul yaqin.(ihya’ ‘ulumuddin, III,
hal. 15).
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum
Batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat,
maka dia melirik tasawuf yang menurut pandangannya adalah harapan
terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia
mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan
ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.”
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu
berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung,
mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya.
Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan
mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan
mengamalkan ilmu yang didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa
tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”
Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi
dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki
dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta
ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli,
Al-Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali mengatakan, “Mendapatkan ilmu
Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai
mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan
guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan
belajtar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak
mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan
memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan
sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan firi dari sifat-sifat yang
rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati dari pikiran
selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Al-Ghazalai
mengatakan, “Adapu manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah
terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya
yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah
bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan
dzikir kepada Allah.”
Di dalam kitab-kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Ghazali menulis, “Bagi
hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati
meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah jalan yang
sangat sukar; jarang sekali ada manusai yang sanggup melakukannya”
Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara
dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya ia merasa
dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi dipakasa untuk meninggalkan
Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar.
Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah,
sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan,
“Penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya
tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor
yang membuatnya sakit”
“Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal,
akupun mau tak mau harus kembali kepada Allah dalam keadaan yang
terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi. Allah-yang menjawab doa yang
terpaksa jika berdoa-mengabulkan niatku, sehinngga kini terasa mudah
bagiku meninggalkan pangkat, harta, anak, dan teman.”
Sesudah mengalami masa-masa keraguan yang cukup rumit, baik dalam
filsafat ataupun penggunaannya dalam Ilmu Kalam, akhirnya justru
mendapatkan kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam Sufisme, yakni
mempercayai kemutlakan dalil kasyfi.[12] Hal ini merupakan
keunikan-keunikan atau keanehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh
lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan
yang subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya
beliau telah sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran
sufisme. Karena memang beliau melihat dan menghayati betapa institusi
tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan perasaan agama yang mendalam,
serta dapat membina akhlaq yang luhur. Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali
jadi propagandis sufisme yang paling bersemangat dan paling sukses.
Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang digambarkannya:
“Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah
orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT, secara
khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya,
dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang
paling suci. Bahkan seandainya para ahli pikir dan para filosof yang
bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at
berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa
yang ada pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya.
Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir ataupun bathin, dituntun
oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini,
cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31).
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman,
Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk
mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk
memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan Ilmu kalam orang baru bisa
mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan
keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena
itulah Tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit
formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.
Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan
mengkrompromikan tasawuf dengan syari’at? Atau dengan kata lain
bagaimana mengkompromokan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak
saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukungnya. Persoalan
inilah yang telah cukup lama diangan-angankan oleh para sufi sendiri,
bagaimana cara menjembatani dua system yang tumbuh berdampingan yang
sering memancing konflik yang cukup tajam.
Adapun fungsi hakikat itu sendiri terhadap syari’at adalah sebagaimana digamabarkan Imam Al-Qusyairi di dalam risalahnya yaitu;
“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat
menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang
tidak diperkuat hakikat adalah tidak diterima; dan setiap hakikat yang
tidak terkait dengan syari’at tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang
dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan.
Syari’at memerintahkan mengibadahi Dia, hakikat meyaksikannya pada Dia.
Syari’at melakukan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan
ketentuannya, kadar-Nya, baik yang tersembunyi maupun yang di luar.
(Risakah Qusyairiyah. Hal, 46)
Disini, Al-Ghazali berupaya membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran
asing yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di atas koridor Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Ia menolak paham Hulul dan Ittihad sebagaimana yang di
propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya. Al-Ghazali hanya menerima
tasawuf Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia
berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal pada
sumber Islam. Semuanya itu harus mempunyai landasan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Satu hal mencolok yang dilakukan Al-Ghazali pada tasawuf adalah
upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang),
Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang peraktis. Ia mengobati
hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya
ini nampak jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang
akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat) dan akhlaq yang menyelamatkan
(al-Munjiyat). “Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang tercela (madzmum)
yang dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq yang tercela
ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang
disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi
alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.
Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan
Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya
sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa “pengetahuan”
dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah
“tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat
apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada
lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat
dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah
ciptaan-Nya. Barang siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah,
maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali
demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali
menambahkan, “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan
melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan memegang teguh dan
mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi
syari’at. Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu
melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan
di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”
Bahkan dengan terang-terangan dia menolak dan melawan mereka deangan
berbagai alasan dan dalil. Secara terus terang menyatakan seseorang yang
telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah)
tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan aqidah
Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana
hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba.
Itulah aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali.[21]Al-Ghazali mengatakan
bahwa ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh kaum sufi itu boleh jadi
masuk ke dalam kategori imajinasi (tawahhun) karena mereka kesulitan
dengan kata-kata tentang kebersatuan yang telah mereka capai. Atau,
boleh jadi, penggunaan istilah-istilah itu masuk kerangka pengembangan
dan perluasan istilah yang sesuai dengan tradisi sufi dan para penyair.
Mereka biasanya meminjam istilah yang paling mudah dipahami, seperti
kata penyair berikut; “Aku adalah yang turun, dan yang turun adalah aku
juga. Kami adalah ruh yang bersemayam dalam satu badan”.
Lebih jauh, Al-Ghazali mengambil kesimpulan secara umum denga
memberikan catatan penting yang menyatakan bahwa kebersatuan dengan
Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi. Dan Al-Ghazali
tidak membahas lebih lanjut ihwal makrifat intuitif (al-ma’rifah
adz-dzawiqiyyah), yang merupakan konsep utama tasawufnya. Sebab,
Al-Ghazali, sebagaimana di katakana oleh Ibnu Thufail, telah terasah
dengan berbagai ilmu dan terpoles dengan ma’rifat. Karena itu,
pembahasan Al-Ghazali tentang konsep ma’rifat senantiasa berada dalam
batas-batas agama. Ia tidak pernah membiarkan dirinya hanyut dalam
ucapan orang lain.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf menurut Al-Ghazali adalah mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, menganggap rendah segala sesuatu selain Allah, dan akibat dari sikap itu mempengaruhi pekerjaan hati dan anggota badan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf menurut Al-Ghazali adalah mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, menganggap rendah segala sesuatu selain Allah, dan akibat dari sikap itu mempengaruhi pekerjaan hati dan anggota badan.
Al-Ghazali dan Syari’at
Sebagaimana dipaparkan di atas tentang kehidupan Al-Ghazali bahwa, kehidupannya diliputi gelombang pemikiran yang sangat dahsyat sehingga membuat Al-Ghazali terombang-ambing dengan keyakinannya, maka dengangan demikian terlontarlah kata-katanya yang bijak bahwa, “hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi harus dipakasa untuk meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan, “penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari faktor-faktor yang membu atnya sakit”
Sebagaimana dipaparkan di atas tentang kehidupan Al-Ghazali bahwa, kehidupannya diliputi gelombang pemikiran yang sangat dahsyat sehingga membuat Al-Ghazali terombang-ambing dengan keyakinannya, maka dengangan demikian terlontarlah kata-katanya yang bijak bahwa, “hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi harus dipakasa untuk meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan, “penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari faktor-faktor yang membu atnya sakit”
Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran
Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah, yang
mengharuskan percaya kepada iman-iman yang dipandang ma’sum (terpelihara
dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih
baik beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim
langsung beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar
bid’ah
Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali
mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum
mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang
syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus
konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam
hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’
diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya.
Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan
tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih
khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan
syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga
dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian
nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga
akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.
Tasawuf dan Syari’at
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety). “Keadaan Mabuk” dikuasai oleh persaan kehadiran Tuhan: para sufi melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan Tuahn yang mencintai. “keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi oleh rasa takut dan hormat (haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh, derta tidak perduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia.
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety). “Keadaan Mabuk” dikuasai oleh persaan kehadiran Tuhan: para sufi melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan Tuahn yang mencintai. “keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi oleh rasa takut dan hormat (haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh, derta tidak perduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia.
Para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat
yaqin pada kasih sayangNya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk”
dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap
kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari’at dan
menyaatkan terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yagn kedua
memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi yang, dalam
ungkapan Ibn al-‘Arabi, “melkihat dengan kedua mata” selalu memelihara
akal dan kasyf (penyingkakpan intuitif) dalam keseimbangan yang sempurna
dengan tetap mengakui hak-hak “yang tidak-mabuk” dan “yang-mabuk.”
Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syari’at tidak dapkat diterima
apabila ditujukan kepada tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”. Pasalnya,
tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak
dapat dipisahkan karena bagi para penganutnya syri’at adalah jalan awal
yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf.
Dalam suatu bagian Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan,
“jika engkau betanya apa itu tasawuf? Maka kami menjawab, tasawuf adalah
mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syri’at secara
lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan kelakuan
baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan
bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at
adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan disikuti oleh
siapa saja yang mengigninkan keberhasialan tasawuf. Sebagai mana Ibn
al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran yang membela tasawuf
tipe “keadaan-tidak-mabuk”berulangkali menekankan bahwa tidak ada
tasawwuf tanpa syari’at.
Iskam sebagai agama yang sngat menekankan keseimbangan
memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum Tuahan) dan
tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau tasawuf.
Apabila syari’ata adalah dimensi eksoteris Islam, yang kebih banyak
berurusan aspek lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam,
yang lebih banyak berurusan dengan aspek bathiniyah. Pentingnya menjaga
keatuan syari’at dan tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala
sesuatu dialam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahitaiyah dan
bathiniyah.
Islam adalah suatu Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas.
Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan Syari’at Islam. Syari’at Islam
mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT, yang dibawa/disampaikan
oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan
makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk mensucikan jiwa
manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian
syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf.
Tasawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid(aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan.
Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma’bud(Tuhan). Soal ini tidak dipelajari di dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dibicarakan di dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.
Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubngan manusia
dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqh selain
membahas tentang rukun Islam ia juga membahas tentang muamalat maliah,
jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan-persoalan ini erat
hubungannya dengan maslah pokok yang disebutkan Nabi diatas(Islam, Iman,
Ihsan). Sebagai contoh adalah tentang penyakit dengki(hasad). Dengki
menurut hadist Rasul dapat memakan amal seprti api memakan kayu bakar.
Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan)dapat dipahamkan bahwa
dengki yang merusak hubungan dengan sesame manusia juga dapat merusak
hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq
yang terpuji yang bertumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu
Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf denga rangkaian
syari’at Islam.
Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada
guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya
adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan
kehendak Allah dan RasulNya.
Sungguh sudah banyak penganut Tasawuf yang tergelincir di bidang ini.
Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi
Tuhan. Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya
dari para wali. Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita
kerjakan tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru
lebih dahulu. Dan bayak macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber
dari akal fikir manusia.
Mereka tidak melakukan segala I’tiqad-I’tiqad kafir dan musyrik ini
kurang mendalami jiwa Tauhid Islam yang murni/yang belum bercampur
dengan filsafat pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk mendalami
tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatagkan pengertian Tauhid Islam.
Amal Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului oleh pengertian
tentang Tauhid.
Demikianlah hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid
(syari’at). Tasawuf tidak aka nada kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid
tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada Tasawuf.
Kodifikasi TASAWUF dengan SYARI’AT dalam Kacamata AL-GHAZALI
Imam Al-Ghazali (w, 111 M.) adalah ulama’ ahli syari’at penganut
mazhab syafi’I dalam hukum fiqh, dan seorang teolog pendukung Asy’ari
yang sangat kritis, namun sesudah lamjut usia ia mulai meragukan dalail
akal yang menjadi tiang tegaknya mazhab asy’ariah di samping dalil
wahyu. Sesudah mengalami keraguan terhadap kemampuan akal baik dalam
filsafat ataupun penggunaannya dalam ilmu kalam, akhirnya justru
mendapat kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam sufisme, mempercayai
kemutlakan dalail kasyf. Hal ini merupakan keunikan atau keanaehan
al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat
Persi masa itu yang merupakan lahan yang subur bagi perkembangan
pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah sejak kecil punya
penilaian positif terhadap ajaran sufisme. Karena memang beliau melihat
dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan
perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang luhur. Dan
ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling
bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi
dan tasawuf yang digambarkannya:
“Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah
orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT, secara
khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya,
dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang
paling suci. Bahkan seandainya para ahli piker dan para filosof yang
bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at
berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa
yang ada pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya.
Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir ataupun bathin, dituntun
oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini,
cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31).
Kutipan di atas menunjukkan betapa tingginya nilai tasawuf di mata
al-Ghazali. Dan memang hingga masa itu tasawuf masih dikelola oleh
golongan elit (khawas), belum merakyat. Jadi kualitasnya masih bias
terkendali. Hanya timbulnya kecenserungan kea rah phanteis atau
union-mistik dan penyimpangan terhadap syari’at yang meulai
memperihatinkan dan menimbulkan ketegangan. Hal ini tercermin dalam
judul risalah otobiografi al-Ghazali al-Munqidz min ad-Dlalal, yang bias
di terjemahkan pembebas dari kesesatan. Dari segi sufuisme buku
tersebut mengkritik kesesatan peafsiran para penganut paham hulul,
ittihad, dan wushul, dengan pernyataannya:
“ringkasnya, penghayatn makrifat itu memuncak sampai yang
demikian dekatnya pada Allah sehingga ada segolongan mengatakan hulul,
segolongan lagi mengatakan ittihad, dan ada pula yang mengatakan wushul,
kesemua ini salah. Dan telah kujelaskan segi kesalahan mereka dalam
maqshudu al-Aqsha(Tujuan yang Tinggi).Al-Munqidz min al-Dlala, hal. 32”
Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran
Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah, yang
mengharuskan percaya kepada imam-imam yang dipandang ma’sum (terpelihara
dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih
baik beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim
langsung beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar
bid’ah. .
Sedang mengenai masalah ajaran-ajaran dalam sufisme, dalam munqidz
telah ditunjikkan paham-paham yang sesat. Agar masyarakat tidak tersesat
kepaham neka-neka al-Ghazali mencoba membatasi penghayatan makrifat
dalam sufisme agar dimoderasi hanhya sampai ke penghayatan yang amat
dekat dengan Tuhan, tidak terjerumus ke paham hulul, ittihad, dan
whusul. Dengan demikian berarti al-Ghazali menolak penghayatan makrifat
kea rah puncak, yaitu menolak fana’ al-fana’. Jadi dalam mengamalkan
tasawuf dibatasi dan dimoderasi hanya kepada penghayatan fana’ (ecstasy)
yang tengah-tengah, yang masih menyadari adanya perbedaan yang
fundamental antara manusia dan Tuhan yang transenden, mengatasi alam
semesta. Yaitu hanya samkpai penghayatan yang dekat (qurb) dengan Tuhan,
sehingga kesadaran diri sebagai yang sedang makrifat tetap berbeda
dengan Tuhan yang dimakrifatinya.
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman,
Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk
mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk
memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa
mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan
keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena
itulah tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit
formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[40] Yang
menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan
mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata lain
bagaimana mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak
saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.?
Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri mengembangkan ajaran
mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk
merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di kemukakan
oleh para ulama’ sufi. Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya
baru bisa merumuskan harapan sebagai berikut:
“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat
menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang
tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang
tidak terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari’at
dating dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan
Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan
yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik
yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar. (Risalah Qusyairiyah, hal.
46)”
Walaupun cita untuik menjalin keselarasan pengamalan taswuf dengan
syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’ sufi
sebelumnya, namun baru al-Ghazali yang secara konkrit berhasil
merumuskan bangunan ajarannya. Konsep al-Ghazali yang mengkompromikan
dan menjalin secara ketat antara pengalaman sufisme denga syari’at
disusun dalam karyanya yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.
Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali
mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum
mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang
syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus
konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam
hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’
diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya.
Yakni sebagai umumnya p[ara penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan
tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih
khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan
syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga
dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian
nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga
akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.
Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan
Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya
sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa “pengetahuan”
dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah
“tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat
apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada
lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat
dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah
ciptaan-Nya. Barang siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah,
maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali
demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali
menambahkan, “mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan
melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan memegang teguh dan
mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi
syari’at. Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu
melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan
di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”
(Oleh: M. Idsris Yusuf dan Hendriyanto al-Mandari)