Berpacu menuju masa depan demi kehidupan yang berorientasi ramah lingkungan dan terhindari dari terjadinya ancaman pemanasan global ditengah-tengah tantangan kelangkaan sumber daya BBM dan gas bumi yang harganya semakin selangit, mau tidak mau membuat seluruh bangsa di dunia untuk berupaya menemukan sumber energi alternatif non-fossil yang sisa pembakarannya mengandung emisi gas carbon dioksida : CO2 dalam kadar minimum.
Kalangan ilmuwan telah lama mengetahui bahwa salah satu sumber daya energi masa depan yang memiliki keunggulan nol emisi adalah; hidrogen yang pada prinsipnya dapat dihasilkan dari penguraian air (H2O) dengan proses elektrolisa. Akan halnya hidrogen pun untuk menjadikannya memenuhi prasyarat sumber energi alternatif yang bebas carbon dioksida harus dihasilkan bersumber dari sumber daya energi-terbarukan dan berbasis-non-karbon konvensional ; yang berarti listrik yang digunakan pada proses elektrolisa penguraian air diperoleh dari pembangkit listrik tenaga angin, panel surya, atau pembangkit listrik tenaga nuklir.
Jalan alternatif lain yang juga masih terus ditelaah kajian teknologi ilmuwan khususnya di AS yakni memperoleh hidrogen dengan memproses konversi batubara, namunn dengan tantangan pada proses pengolahan CO2 hasil proses reaksi untuk kemudian dapat diamankan dengan dipendam di bawah tanah mirip dengan yang diberlakukan pada metoda pegolahan akhir sisa-sisa reaksi bahan bakar nuklir.
Energi hidrogen oleh kalangan ilmuwan sejauh ini diyakini amat prospektif guna diterapkan sebagai sumber daya energi bagi mobil masa depan serta penggunaan sebagai batere hydrogen fuel-cell untuk sejumlah perangkat komunikasi ataupun peangkat pemantauan elektronik yang terpasang di area terpencil : remote area.
Suatu inovasi terkini pada proses elektrolisa untuk sistem konversi hidrogen telah diungkapkan dari riset penelitian Emil Roduner dan Andreas Dreizler, ekspert dari University of Stuttgart - Jerman. Pada prinsipnya proses yang dijalankan bekerja dengan cukup sederhana, yakni air dalam material fuel-cell dioksidasi dalam proses katalisis menjadi molekul hidrogen dan oksigen yang dalam keseluruhan proses reaksi ini juga menghasilkan proton dan elektron. Proses ini berlangsung pada kutub sistem anoda, sedangkan proses sebaliknya terjadi di kutub katoda. Mekanisme produksi energi listrik yang berlangsung setelahnya sesungguhnya berjalan standar. Kutub katoda dan anoda dipisahkan satu sama lain menggunakan membran elektrolit polimer yang cara kerjanya berkarakter selektif untuk menjadikan sehingga proton dapat lewat dari satu ujung kutub dalam sel bahan bakar ke kutub lainnya; namun aliran elektron terblokir oleh sifat karakteristik molekoluer pada membran tersebut. Elektron-elektron terpaksa untuk mengalir melalui media kawat miniaturistik yang disediakan hingga menghasilkan sebagai arus listrik.
Aliran udara bebas diperlukan guna menguapkan air yang muncul di katoda. Hal ini diperlukan berhubung jika tidak dilakukan, maka konsentrasi gradien air diantara elktroda dan gaya yang menghasilkan proses reaksi katalisis ini akan melemah dan menghilang.
Riset yang berjudul “A molecular molybdenum-oxo catalyst for generating hydrogen from water” karya Emil Roduner dan Andreas Dreizler dari Jerman ditunjang kerja sama bersama peneliti Christopher Chang and Jeffrey Long ekspert dari Berkeley Lab - Universitas California Berkeley serta mendapatkan sponsor riset dari DOE Office of Science di AS.
Menurut C. Chang tantangan ilmiah paling mendasar adalah menciptakan suatu material yang berasal dari sumber alamiah bumi yang berlimpah berkarakterisitk khas sistem molekular yang dapat menghasilkan hidrogen dari proses elektolisa air dengan aktivitas katalitik berintensitas tinggi serta memiliki tingkat kestabilan yang tinggi. Peneliti meyakini bahwa penemuan material katalis molibdenum-oxo untuk menghasilkan hidrogen dari air tanpa menggunakan asam atau larutan larutan tambahan organik lain hingga dapat memperoleh paradigma kimia baru untuk menciptakan katalis penurunan yang sangat aktif dan kuat dalam media cair serupa yang terdapat pada hydrogen fuel-cell diatas. Dan berlainan dengan kebanyakan batere hidrogen fuel-cell dengan bahan material methanol ataupun larutan asam hidrida, maka keaktifan fuel-cell yang mempersyaratkan suplai ketersediaan hanyalah air dan udara bebas/oksigen selain dapat menjadikannya dapat diterapkan praktis amat independen dari kebutuhan campur tangan manusia juga akan memberi nilai positif tersendiri berhubung materialnya tidak menghasilkan cemaran bagi lingkungan sisa aktivasi batere.
Praktek penerapan akan keberhasilan riset di atas akan amat berguna semisal dipergunakan batere hidrogen cair diatas untuk sumber catu daya listrik pada perangkat pemanatauan aktivitas vulkanik gunung berapi, atau pun pada pesawat nir-awak pengindraan perbatasan untuk kepentingan militer, dll.
Sungguh pun suka-atau-tidak segenap ilmuwan sedunia menyadari betapa proses penguraian air hingga memperoleh hidrogen cair yang dikuasai hingga saat ini memang produksinya masih berbiaya tinggi / mahal dan perolehan hasil “Output” dibanding “Input” masih jauh dari rasio nilai ekonomi yang memadai.
Dan dalam hal mana tidak berlaku sama sekali jalan pintas apalagi penuh misteri berujung heboh “hoax” model: “Blue Energy” di tanah air !
Sumber: Up-dates situs nature-com dan lainnya.