Alam Jabarut merupakan kelanjutan dari alam Malakut. Kedua alam ini sama-sama di dalam alam gaib mutlak. Namun, alam Jabarut berada di atas lagi. Tidak semua penghuni alam Malakut dapat mengakses alam tersebut. Hal ini membuktikan, sesama penghuni alam Malakut tidak memiliki kapasitas yang sama di mata Allah SWT.
Alam Malakut memiliki penghuni tetap, yaitu para malaikat utama, seperti Jibril, Mikail, Israfil, dan lain-lain. Alam ini lebih dekat dengan “Maqam Puncak”, yang biasa disebut Haramil Qudsiyyah.
Dalam suatu pengelompokan, lapisan-lapisan alam dan maqamnya dapat dibedakan pada beberapa tingkatan.
Tingkatan itu adalah :
Maqam Ahdah yang mencakup alam Lahut dan Martabat Dzat;
Maqam Wahdah mencakup alam Jabarut dan Martabat Sifat;
Maqam Wahidiyah mencakup Alam Wahidiyah dan Martabat al-Asma’;
Maqam Roh yang mencakup alam Malakut dan Martabat Af’al;
Maqam Mitsal; dan
Maqam Insan dan alam syahadah.
Kalau alam Malakut merupakan tahap atau maqam ruhaniah dan taman jiwa yang hakiki serta senantiasa mempertahankan kesuciannya, alam Jabarut sudah masuk dalam wilayah Lahut atau berada dalam hamparan Ma’rifatullah, tempat seluruh elemen dan yang banyak menjadi satu.
Alam Jabarut sudah masuk di dalam dunia rahasia Ilahi, tetapi masih tetap wilayah alam dalam arti alam gaib mutlak. Alam Jabarut sebagai bagian dari alam gaib mutlak agak sulit dijelaskan secara skematis karena sudah masuk wilayah antara alam dan Maqam Qudsiyah.
Alam ini berada di antara wilayah aktual dan wilayah potensial yang lazim disebut dengan al-A’yan al-Tsabitah (akan dibahas dalam artikel mendatang).
Penghuni Jabarut adalah sesuatu yang bukan Tuhan dalam level Ahadiyyah, melainkan derivasinya dalam level Wahidiyat.
Dalam buku-buku tasawuf, di alam Jabarut ini berlangsung apa yang disebut sebagai Nafakh al-Ruh (peniupan roh suci Allah) yang kemudian mampu manghidupkan jasad. Itulah sebabnya alam Jabarut biasa juga disebut dengan alam roh. Di alam ini, kita juga mengenal adanya realitas kesamaran antara “sesuatu” dan “bukan sesuatu”. Juga kesamaran antara “alam” dan “bukan alam” serta antara “sifat” dan “asma”.
Di dalam alam Jabarut terjadi proses suatu keberadaan dari keberadaan potensial ke keberadaan aktual.
Alam Jabarut adalah suatu alam yang tidak umum dijangkau oleh alam-alam sebelumnya, termasuk alam Malakut.
Ini sebagai bukti, bukan hanya alam Syahadah yang mengalami tingkatan-tingkatan, tetapi alam gaib juga bertingkat-tingkat.
Sesama penghuni alam gaib tidak semuanya bisa mengakses alam Jabarut, berkenalan dengan para penghuninya, dan memahami seluk-beluk peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Bangsa jin tidak bisa mengenal seluruh perilaku malaikat, meskipun sama-sama sebagai penghuni Malakut. Sesama malaikat pun tidak saling memahami rahasia satu sama lain. Para malaikat adalah makhluk profesional yang mengerjakan tugasnya masing-masing dan tidak saling mengganggu serta mengintervensi sebagaimana diamanatkan Allah.
Di antara para malaikat, ada malaikat utama dan keutamaannya dilihat dari perspektif manusia yang memilah fungsi-fungsi para malaikat.
Sementara itu, alam Jabarut merupakan alam paling tinggi karena di atasnya sudah tidak bisa lagi disebut dengan alam dalam arti ma siwa Allah.
Di atasnya, sudah bukan lagi alam, tetapi sudah masuk dalam wilayah Qudsiyyah. Sebagai alam paling tinggi, tentu menjadi objek cita-cita dan harapan manusia. Namun, perlu ditegaskan bahwa sebagai manusia kita tidak dituntut secara mutlak untuk memasuki alam-alam itu, namun juga tidak dilarang berupaya untuk itu.
Banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan martabat-martabat kehidupan spiritual manusia dan menantang manusia untuk menaiki jenjang derajat yang lebih tinggi. Alquran mencela manusia yang cenderung set back ke jenjang derajat lebih rendah (asfala safilin).
Kalau manusia sudah berupaya menaikkan status ke alam yang lebih tinggi, namun tidak bisa menembus batas-batas alam tersebut, tidak perlu khawatir dan tak perlu dipermasalahkan. Tugas manusia hanya sebagai hamba dan khalifah. Bagaimana menjadi hamba yang lebih baik dan bagaimana menjadi khalifah lebih sukses di muka bumi ini.
Urusan menembus batas atau menyingkap tabir/hijab lalu memasuki alam dan maqam lebih tinggi itu adalah urusan dan hak prerogatif Allah. Apakah Allah mau memberi petunjuk dan siapa yang akan diberi petunjuk untuk itu, semuanya merupa kan rahasia Allah.
Upaya manusia meningkatkan martabat spiritual ke jenjang lebih tinggi ditempuh para sufi dan pengamal tarekat. Namun, substansi pendekatan mereka mempunyai benang merah yang sama, yaitu manusia selalu harus melakukan pembersihan diri (tadzkiyah al-nafs) melalui berbagai “exercise” (riyadhah) dan perjuangan batin (mujahadah).
Dalam Kitab Manhalus Shafi disebutkan langkah-langkah konkret yang dilakukan para salik untuk mencapai tujuan spiritualnya. Kitab ini memperkenalkan apa yang disebut dengan ilmu martabat tujuh atau ilmu tahqiq.
Ketujuh martabat itu ialah :
Hadratul Qudsi (puncak dari tempat penyucian diri) dan Unsi (tempat untuk bermesraan dengan Tuhan),
Mufatahah (tempat untuk membuka rahasia Ilahi),
Muwajahah (tempat untuk membuka hijab zulmani lalu menggunakan energi nuraniyah),
Mujalasah (sarana untuk memisahkan dan membersihkan diri dari segala macam kemusyrikan),
Mujalasah (sarana untuk memisahkan dan membersihkan diri dari segala macam kemusyrikan),
Muhadasah (tempat untuk menyingkap rahasia melalui Dirinya),
Musyahadah (menyaksikan “wajah” Tuhan melalui seluruh alam ciptaan-Nya), dan Muthala’ah (menghayati keberadaan Tuhan melalui hidayah-Nya).
Bagi para salik yang akan menyingkap hijab dan seterusnya melaju ke alam lebih tinggi, menurut buku ini, sangat dimungkinkan. Jika seseorang mampu melewati maqam-maqam tersebut dengan baik, dipersepsikan manusia bisa mengakses alam manapun yang ia kehendaki.
Tentu saja tidak gampang mengakses maqam demi maqam yang berlapis-lapis itu. Peningkatan dari satu maqam ke maqam berikutnya terkadang ditempuh bertahun-tahun. Namun, tidak perlu berkecil hati karena jika Allah menghendaki, tentu tidak ada rintangan berarti bagi yang bersangkut an.
Memang dalam hadis tasawuf sering diungkap bahwa ada sekitar 70 ribu hijab yang menghijab manusia sehingga sulit mencapai mukasyafah (penyingkapan). Namun, tidak perlu takut dan berkecil hati, karena 100 ribu hijab pun dapat ditembus jika Allah menghendaki.
Seorang sufi mempunyai keuletan karena mempunyai tujuan bukan untuk menembus hijab itu tersingkap, tetapi bagaimana mendekatkan diri kepada Allah, tanpa target lain.
Jika ada kalangan sufi memiliki tujuan membuka hijab atau memperoleh karamah dalam pencahariannya, boleh jadi dua-duanya tidak diperoleh. Tuhannya tidak didapat dan karamahnya pun hilang.
Para sufi dan salik tidak jarang terkecoh karena terdekonsentrasi oleh hal-hal yang tidak substansi. Mereka terkecoh oleh sesuatu yang bersifat sekunder lalu meninggalkan urusan primer. Yang primer itu adalah Tuhan yang sekunder itu adalah kelezatan dalam beribadah, kepemilikan karamah di depan jamaah, dan semacamnya.
(* Banyak yang terkecoh oeh rekayasa setan. Mereka menyangka sudah bertemu dengan “Tuhan”, padahal ia adalah setan yg menyaru dan mengaku “Tuhan”. Ciri-ciri pengecohan setan itu antara lain, sifat sombong, meremehkan pelaksanaan syareat, mengabaikan Nabi Muhammad SAW sebagai penunjuk jalan yang lurus
dan lain-lain).
Mari kita mencari yang substansi dan yang primer tanpa harus terkecoh dengan yang nonsubstansi dan yang bersifat sekunder, agar mikraj kita berhasil.
Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/52/132282/Apa_Itu_Alam_Jabarut
(* : Catatan As Salyan.
(* : Catatan As Salyan.