Namun, tahukah kalian, kalau udang yang memiliki nama ilmiah A
lpheus spp ini, dahulu kala sebenarnya hanyalah udang biasa yang memiliki sepasang capit yang sama kecilnya dan tak bisa “bersuara”. Nah, kenapa ya, dia akhirnya punya capit yang besar sebelah dan tiba-tiba saja juga bisa bersuara (?). Lalu, kenapa juga suara capitnya bisa keras, sekeras suara letupan pistol (?). Berikut ini kisahnya.
Selamat membaca.
Dahulu kala, hiduplah seorang pemburu yang sangat kejam. Pemburu itu, biasa dipanggil dengan Bang Buru. Bersama dengan kelompoknya yang berjumlah tiga orang, mereka tinggal di markas mereka di sekitar pesisir pantai. Hampir semua hewan pesisir dan satwa liar di hutan telah mereka buru. Selain terkenal sebagai pemburu yang handal, Bang Buru dan kelompoknya juga sangat ditakuti karena tingkah laku mereka yang kasar, suka merampok dan merampas harta benda penduduk di sekitarnya. Bang Buru mengkonsumsi sebagian hasil buruannya, dan menjual sebagian lainnya ke pedagang gelap. Tanpa memandang jenis satwa apa yang diburunya, kulit dan daging ular, biawak, buaya dan lain-lain adalah sedikit dari ratusan jenis satwa yang terbunuh akibat ulah Bang Buru yang jahat.
Pagi itu, Bang Buru dan anak buahnya, berniat berburu lagi ke hutan mangrove yang tumbuh lebat, tak jauh dari markas mereka.
“Aku ingin, kali ini, kalian benar-benar menghabisi semua hewan yang ada di hutan penuh nyamuk, ini! Kita sudah sering berburu di hutan ini, tapi di sebelah sini, sepertinya belum,” terang Bang Buru kepada anak buahnya,
“Siap Bos, laksanakan. Apa yang pertama kita buru?”
“Mulai dari atas dulu. Dari burung-burung itu, lalu monyet, kemudian biawak, ular, buaya rawa, lalu kita istirahat di sungai kecil itu,” perintah Bang Buru.
“Siap!”
“Jangan lupa, malam ini kita langsung jual daging dan kulitnya ke pasar gelap.”
“Laksanakan.”
Segera, dengan membabi buta, hutan mangrove yang tak bertuan itupun tertembaki dengan senapan laras panjang. Burung, monyet, biawak, buaya, dan binatang khas mangrove lainnya, mati terbunuh karena perburuan yang tak berperikemanusiaan, itu. Dalam sekejap, kelompok pemburu sadis itu, sudah berhasil menikmati hasil buruannya dan mengulitinya di tepian sungai. Sambil bersantai, Bang Buru memerintahkan anak buahnya untuk mencari udang sebagai santapan makan siang mereka. Bang Buru, memang penyuka udang. Dibandingkan dengan hewan laut lainnya, rasa udang yang manis dan gurih, kiranya telah membuat Bang Buru tergila-gila. Setiap hari, anak buahnya diwajibkannya untuk membawa berkilo-kilo udang untuk dijual dan dikonsumsi, yang diambil dari hutan mangrove sekitar atau dicurinya dari pertambakan penduduk setempat. Tak puas berburu binatang yang ada di hutan mangrove, Bang Buru juga menebangi pohon mangrove untuk dijual ke pasar gelap, dengan tujuan untuk memperkaya diri.
*
Sementara itu, di kerajaan mangrove. Nampak Udang, Kepiting, Burung, Biawak, Buaya, Monyet dan binatang lainnya semakin gusar dengan perburuan Bang Buru yang memburu dengan cara membabi buta. Malam hari, mereka berkumpul bersama di bawah Sonneratia yang rindang untuk menentukan nasib mereka, mengingat aksi Bang Buru dan kelompoknya yang semakin meresahkan.
“Kita harus bertindak cepat!” teriak Buaya.
“Benar. Pemburu itu sangat kejam. Kalau begini terus, spesies kita bisa punah. Dia tak hanya membunuh banyak binatang mangrove, tapi juga menebangi pohon mangrovenya,” Biawak menimpali.
“Apa yang harus kita lakukan?,” kata Kepiting cemas.
“Kita hanya bisa berdoa kepada sang Dewata. Semoga Bang Buru dibukakan hati, mata dan pikirannya,” kata Udang bijak.
“Kita juga harus berbuat sesuatu, Dang. Jangan hanya berdoa dan menunggu saja,” saran Monyet.
“Benar. Ayo kita rundingkan, bagaimana caranya mengusir dan melawan Bang Buru agar bisa keluar dari hutan mangrove kita!,” teriak Buaya semangat.
Akhirnya, malam itu, semua penghuni hutan mangrove nampak sibuk merapatkan barisan sampai dengan fajar tiba. Akhirnya, sebuah rencana untuk mencegah perburuan Bang Buru yang membabi buta telah disepakati.
*
Siang itu, Bang Buru kembali ke hutan mangrove, dan seperti hari-hari sebelumnya, dia dan teman-temannya bersiap berburu lagi di hutan itu. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Sebelum tembakan pertama diletuskan, tiba-tiba saja puluhan ekor burung Bangau kecil terbang rendah di samping kanan mereka.
Dar. Dor. Der. Dor. Tar.
Peluru dan tembakan pistol dari Bang Buru dan komplotannya seketika menggema. Dan, enam dari puluhan Bangau yang terbang rendah tadi, segera berjatuhan ke lumpur mangrove terkena gerakan reflek para pemburu jahat. Setelah itu, hampir tidak ada kehidupan di hutan mangrove. Suara air, jangkrik, kepak sayap kupu-kupu dan lalat, seolah-olah semuanya berhenti.
“Ada apa ini? Tak ada hewan lagi di sini?,” tanya Bang Buru heran.
“Benar, Bos. Semuanya hilang. Kelihatannya mereka sembunyi...”
“Sialan!”
Walaupun sudah dicari kesana kemari, seekor semut-pun, sekarang tak bisa ditemukan lagi oleh Bang Buru dan pengikutnya. Semua seolah lenyap ditelan bumi. Kesal tak mendapatkan hasil, Bang Buru menyampaikan sumpah serapahnya bahkan menghina sang Dewata yang menurutnya tak adil dengannya.
*
Disaat malam mulai menua, para penghuni hutan mangrove kembali bersidang. Nampaknya, mereka menyesalkan atas tragedi tewasnya enam ekor Bangau tadi siang.
“Kita tidak bisa lagi mempertahankan ide ini. Mengandalkan keluarga Bangau sebagai pertanda Bang Buru datang, sangat risakan. Bahkan kita sudah melihat sendiri, banyak Bangau yang tewas terbunuh,” terang Buaya sedih.
“Setuju. Kita memang bisa dengan segera bersembunyi setelah mendengar kepakan sayap keluarga Bangau, tapi dengan begitu, jiwa mereka terancam,” sambut Udang.
“Benar, kita harus mencoba ide lainnya. Tapi, bagaimana caranya? Kita tak mau lagi ada yang terbunuh,” kata Monyet, cemas.
*
Hari demi hari berlalu, dan kondisi hutan mangrove semakin mencekam. Setiap kali Bang Buru dan komplotannya datang, maka ratusan hewan dan pepohonan mangrove tewas. Bila hal ini terus terjadi, maka flora dan fauna mangrove bisa musnah! Maka, setiap malam, tak henti-hentinya, semua penghuni mangrove tanpa kecuali berdoa, memohon kepada Yang Kuasa, agar segera terbebas dari teror Bang Buru.
Malam itu, setelah satu purnama berlalu, tiba-tiba saja, seberkas sinar putih datang dari langit dan menerangi hutan mangrove, tepat di tengah malam, di atas pohon Rhizophora tertinggi. Kelomang yang hidup di tengah malam segera membangunkan Buaya dan anggota keluarga hewan mangrove lainnya, agar segera berkumpul di bawah pohon Rhizophora, untuk melihat secara langsung peristiwa aneh itu. Tak seberapa lama, ribuan penghuni mangrove telah terjaga dan menyaksikan sendiri seberkas sinar yang semakin lama semakin membesar, menerangi hampir semua bagian hutan mangrove.
“Kami akan membantu kalian. Tunggulah esok hari.” Begitulah pesan singkat yang membahana. Sedetik kemudian, sinar terang itupun, lenyap.
*
Esok harinya, Bang Buru kembali berburu di hutan mangrove. Tanpa diketahuinya, kini, populasi beberapa jenis tumbuhan dan hewan di hutan mangrove, semakin menipis akibat perbuatannya. Keluarga Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Burung, Monyet, Buaya dan Kucing mangrove, kini hanya tersisa puluhan saja. Sungguh mengkhawatirkan. Tapi, nampaknya Bang Buru dan gerombolannya tak peduli. Ratusan peluru senapan dan pistol masih saja ditembakkan ke sana kemari, begitu juga dengan pepohonan mangrove terus saja mereka tebangi.
Di saat semua penghuni mangrove telah pasrah tanpa daya, tiba-tiba saja, seberkas sinar putih kembali mendatangi di tempat yang sama. Di pucuk daun Rhizophora tertinggi, sinar itu berhenti sebentar dan langsung menghujam keras ke tubuh Bang Buru.
Bledar! Blar..Bruarr!
“Buru, aku jadikan kamu sebagai Udang. Rasakanlah kehidupanmu sebagai Udang, makanan favoritmu, yang setiap waktu juga kamu buru bersama para penghuni mangrove lainnya. Aku rubah senapan dan pistolmu menjadi sebuah capit besar dan aku beri nama kamu Udang Pistol. Bekerjalah memberikan tanda bahaya di saat ada siapa saja yang ingin melukai penghuni mangrove ini. Mulailah berbuat baik terhadap sesamamu, untuk menebus dosa-dosamu. Bertobatlah dan sampai bertemu di surga.”
Begitulah suara sinar putih itu menggelegar dan mengejutkan semua penghuni mangrove yang ada. Tiga orang anak buah Bang Buru lari tunggang langgang, keluar dari hutan mangrove yang kini gundul, dan meninggalkan hasil buruannya.
Sementara itu, Bang Buru yang kini lenyap dan berubah menjadi sebuah Udang Pistol, langsung dikerumuni oleh semua penghuni mangrove. Awalnya mereka berniat membalas dendam dengan cara melukainya. Namun setelah keluarga Udang menjelaskannya dengan baik dan ini juga atas perintah sang Dewata, maka akhirnya para penghuni mangrove bisa menerima Udang Pistol dengan baik.
Kini, Bang Buru yang telah menjelma menjadi Udang Pistol berjanji, dia akan menebus dosa-dosanya dengan cara tekun bekerja dan mengabdikan dirinya untuk mangrove. Setiap saat, ketika dia menengarai ada niat jahat dari manusia dan atau makhluk lainnya kepada mangrove dan penghuninya, dengan segera dia akan membunyikan capit pistolnya. Hal ini, tak lain dan tak bukan, adalah untuk memberikan tanda kepada para keluarga mangrove lainnya agar waspada, menjauh dan bersembunyi. Nah, apakah kalian pernah mendengar suara “letusan pistol” dari Bang Buru ini? Segeralah berkunjung ke hutan mangrove, untuk membuktikannya.