A. Prospek Budi Daya Perikanan
Prospek pengembangan budi daya perikanan di dunia sangat terkait dengan peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun penduduk dunia yang ikut meningkat tajam seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Berdasarkan data FAO, kebutuhan ikan untuk pasar dunia sampai tahun 2010 masih kekurangan pasokan sebesar 2 juta ton per tahun.
Khusus di Indonesia, pada tahun 1998, tingkat konsumsi ikan per kipita penduduk baru mencapai 9,25 kg pertahun atau 72,5% dari standar kecukupan pangan terhadap ikan yang besarnya 26,55 kg per kapita per tahun.Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai sekitar 250 juta jiwa pada tahun 2015.
Saat itu, mereka membutuhkan sekitar 36,2 gram protein per kapita per hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 60% atau 21,72 gram protein diharapkan dapat dipenuhi dari perikanan dan sisanya dari petenakan. Besarnya kebutuhan protein yang berasal dari perikanan tersebut setara dengan 42 kg ikan per kapita per tahun (apabila digunakan angka kandungan protein rata-rata sebesar 18,5%)
Dengan demikian, kebutuhan ikan bagi penduduk Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 10,5 juta ton atau hampir dua kali lipat dari potensi stok ikan laut Indonesia saat ini. Pemenuhan kebutuhan protein hewani tersebut tentu sudah tidak mungkin lagi dipenuhi oleh ikan hasil tangkapan laut yang menunjukan penurunan jumlah dari tahun ke tahun. Untuk itu kebutuhan ikan harus dipasok, dari hasil usaha budi daya, sehingga pengembangan budi daya ikan-ikan ekonomis penting menempati posisi yang sangat strategic pada masa mendatang.
B. Produksi Budi Daya Perikanan
Produksi budi daya perikanan dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang tajam. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, produksi budi daya perikanan dunia meningkat dari 24,5 juta ton pada tahun 1994 menjadi 51,4 juta ton pada tahun 2002 (meningkat 12% per tahun). Kondisi yang sama juga terjadi pada budi daya perikanan Indonesia. Produksi budi daya perikanan Indonesia (budi daya air tawar, air payau, dan laut) sebesar 278.864 ton pada tahun 1993 dan mencapai 1.468.610 ton atau mengalami peningkatan 80,77% (rata-rata 8,08% per tahun) pada tahun 2004.
C. Lahan Budi Daya Perikanan Air Tawar
Budi daya perikanan (akuakultur) tidak terlepas dari ketersedian air dan lahan. Keduanya merupakan media hidup ikan dan sumber daya perikanan lainnya untuk bisa berproses menjadi komoditi yang memiliki nilai tambah. Selama ini, usaha budi daya ikan umumnya terkonsentrasi di pedesaan yang ketersediaan lahan dan airnya relatif masih sangat memadai.
Budi daya perikanan air tawar di Indonesia umumnya dilakukan di kolam, sawah, bak, tangki, atau akuarium. Selain itu, juga dilakukan di perairan umum dalam bentuk pemeliharaan di karamba atau sangkar, karamba jaring apung, atau hampang.
Luas lahan budi daya perikanan air tawar dalam bentuk kolam di Indonesia mencapai 86.783 ha, sawah (mina padi) 151.414 ha, karamba 930.000 unit, dan karamba jaring apung (KJA) 76.320 unit pada tahun 2003, Secara keseluruhan, luas lahan budi daya ikan air tawar di kolam dan sawah yang terbesar berada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Sisanya, dalam jumlah yang lebih kecil, terdapat di Kalimantan, Bali, Nusa tenggara, Maluku, dan Papua. Sementara itu, budi daya ikan air tawar di KJA dan karamba yang terbesar terdapat di Jawa dan Sumatera.
D. Ketersediaan Benih dan Permasalahannya
Konsekuensi dari peningkatan usaha budi daya berbagai jenis ikan ekonomis penting, dalam Skala lokal maupun internasional telah menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan benih dan induk dalam jumlah besar. Seperti yang telah diketahui, benih dan induk sangat diperlukan dalam proses budi daya perikanan. Benih dan induk merupakan sarana produksi yang sangat penting bagi kelanjutan dan keberhasilan usaha budi daya perikanan itu sendiri.
Karena itu, untuk mendukung upaya keberhasilan pengembangan usaha perikanan, pengembangan kegiatan pembenihan diarahkan kepada penyediaan benih yang memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut.
Sayangnya, berdasarkan kenyataan yang ditemukan di lapangan, belum semua pembudidaya ikan-ikan ekonomis penting memahami dan menguasai teknologi budi daya secara baik dan benar. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan keterampilan pembudidaya yang Umumnya masih relatif rendah.
Akibatnya, terjadi degradasi penurunan mutu (kualitas) berbagai jenis ikan tersebut dari waktu ke waktu. Penurunan mutu tidak hanya ditemukan pada stadia benih, tetapi juga terjadi penurunan mutu pada induk.
Keluhan umum terhadap rendahnya mutu benih ikan yang sering ditemui di lapangan adalah lambatnya laju pertumbuhan, mudah terserang penyakit, dan dalam proses pembesarannya memerlukan pakan yang jauh lebih banyak, dari yang seharusnya, sehingga konversi pakannya menjadi tinggi.
Selain itu, tidak jarang terjadi ketidaksesuaian % kandar warna dan bentuk benih yang dihasilkan. Hal lain yang juga sulit dipebuhi adalah faktor keseragaman. Antara satu pembenih dengan pembenih lain belum tentu menghasilkan benih yang sama kondisinya untuk jenis ikan yang sama.
Berikut ini beberapa ciri benih ikan yang mutunya sudah mengalami penurunan, yang umum ditemukan pada unit pembenihan serta dijual di pasaran.
Menurut publikasi Direktorat jenderal Perikanan Budi Daya, Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2003), terjadinya penurunan kualitas atau mutu benih, sangat merugikan secara finansial maupun ekonomi. Pasalnya, hasil yang diperoleh pembudidaya ikan menjadi tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Secara nasional keadaan ini membawa dampak, yaitu terjadinya in-efisiensi dalam penggunaan lahan, air, dana, dan faktor produksi lainnya.
E. Standardisasi Benih
Untuk menghindari kondisi yang merugikan tersebut, pemerintah memandang perlu melakukan standardisasi produksi perikanan dan standardisasi teknologi budi daya yang digunakan. Kemudian proses standardisasi ini akan dilanjutkan dengan proses sertifikasi, sehingga produksi perikanan berupa benih atau induk yang dihasilkan dan dipasarkan (yang diproduksi telah sesuai dengan standar baku yang ditetapkan) telah memiliki sertifikat yang menjamin kualitasnya.
Di era pasar bebas, persyaratan mutu benih dan induk seperti disebutkan di atas menjadi penting untuk dipenuhi dalam upaya memenangkan persaingan perdagangan, terutama berkaitan dengan semakin terbukanya pasar dunia (globalisasi) yang memungkinkan produksi perikanan dari negara lain dapat memasuki pasar benih di Indonesia. demikian juga sebaliknya, produksi benih pembudidaya ikan di Indonesia juga dengan leluasa dapat diperjualbelikan di negara lain yang membutuhkannya.
Dengan kondisi seperti itu, satu-satunya cara yang paling efektif dilakukan adalah menghasilkan benih yang memiliki standar mutu yang baku dan terjamin (dibuktikan dengan adanya sertifikat yang diperoleh melalui proses sertifikasi). jika hal ini tidak dilakukan, pembudidaya ikan di tanah air tidak akan mampu bertahan dan akan tersingkir dari persaingan pasar bebas. jadi jelaslah bahwa pembudidaya perikanan air tawar ekonomis penting di Indonesia
merupakan salah satu bidang budi daya yang perlu segera berbenah diri menghadapi kondisi tersebut.
sumber : dkp.mm
Prospek pengembangan budi daya perikanan di dunia sangat terkait dengan peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun penduduk dunia yang ikut meningkat tajam seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Berdasarkan data FAO, kebutuhan ikan untuk pasar dunia sampai tahun 2010 masih kekurangan pasokan sebesar 2 juta ton per tahun.
Khusus di Indonesia, pada tahun 1998, tingkat konsumsi ikan per kipita penduduk baru mencapai 9,25 kg pertahun atau 72,5% dari standar kecukupan pangan terhadap ikan yang besarnya 26,55 kg per kapita per tahun.Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai sekitar 250 juta jiwa pada tahun 2015.
Saat itu, mereka membutuhkan sekitar 36,2 gram protein per kapita per hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 60% atau 21,72 gram protein diharapkan dapat dipenuhi dari perikanan dan sisanya dari petenakan. Besarnya kebutuhan protein yang berasal dari perikanan tersebut setara dengan 42 kg ikan per kapita per tahun (apabila digunakan angka kandungan protein rata-rata sebesar 18,5%)
Dengan demikian, kebutuhan ikan bagi penduduk Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 10,5 juta ton atau hampir dua kali lipat dari potensi stok ikan laut Indonesia saat ini. Pemenuhan kebutuhan protein hewani tersebut tentu sudah tidak mungkin lagi dipenuhi oleh ikan hasil tangkapan laut yang menunjukan penurunan jumlah dari tahun ke tahun. Untuk itu kebutuhan ikan harus dipasok, dari hasil usaha budi daya, sehingga pengembangan budi daya ikan-ikan ekonomis penting menempati posisi yang sangat strategic pada masa mendatang.
B. Produksi Budi Daya Perikanan
Produksi budi daya perikanan dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang tajam. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, produksi budi daya perikanan dunia meningkat dari 24,5 juta ton pada tahun 1994 menjadi 51,4 juta ton pada tahun 2002 (meningkat 12% per tahun). Kondisi yang sama juga terjadi pada budi daya perikanan Indonesia. Produksi budi daya perikanan Indonesia (budi daya air tawar, air payau, dan laut) sebesar 278.864 ton pada tahun 1993 dan mencapai 1.468.610 ton atau mengalami peningkatan 80,77% (rata-rata 8,08% per tahun) pada tahun 2004.
C. Lahan Budi Daya Perikanan Air Tawar
Budi daya perikanan (akuakultur) tidak terlepas dari ketersedian air dan lahan. Keduanya merupakan media hidup ikan dan sumber daya perikanan lainnya untuk bisa berproses menjadi komoditi yang memiliki nilai tambah. Selama ini, usaha budi daya ikan umumnya terkonsentrasi di pedesaan yang ketersediaan lahan dan airnya relatif masih sangat memadai.
Budi daya perikanan air tawar di Indonesia umumnya dilakukan di kolam, sawah, bak, tangki, atau akuarium. Selain itu, juga dilakukan di perairan umum dalam bentuk pemeliharaan di karamba atau sangkar, karamba jaring apung, atau hampang.
Luas lahan budi daya perikanan air tawar dalam bentuk kolam di Indonesia mencapai 86.783 ha, sawah (mina padi) 151.414 ha, karamba 930.000 unit, dan karamba jaring apung (KJA) 76.320 unit pada tahun 2003, Secara keseluruhan, luas lahan budi daya ikan air tawar di kolam dan sawah yang terbesar berada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Sisanya, dalam jumlah yang lebih kecil, terdapat di Kalimantan, Bali, Nusa tenggara, Maluku, dan Papua. Sementara itu, budi daya ikan air tawar di KJA dan karamba yang terbesar terdapat di Jawa dan Sumatera.
D. Ketersediaan Benih dan Permasalahannya
Konsekuensi dari peningkatan usaha budi daya berbagai jenis ikan ekonomis penting, dalam Skala lokal maupun internasional telah menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan benih dan induk dalam jumlah besar. Seperti yang telah diketahui, benih dan induk sangat diperlukan dalam proses budi daya perikanan. Benih dan induk merupakan sarana produksi yang sangat penting bagi kelanjutan dan keberhasilan usaha budi daya perikanan itu sendiri.
Karena itu, untuk mendukung upaya keberhasilan pengembangan usaha perikanan, pengembangan kegiatan pembenihan diarahkan kepada penyediaan benih yang memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut.
- tepat jenis, artinya benih yang dihasilkan harus sesuai dengan jenis benih ikan yang dibutuhkan.
- Tepat jumlah, artinya jumlah benih yang dihasilkan harus dapat memenuhi permintaan pembudidaya.
- Tepat mutu ,artinya benih yang dihasilkan harus memiliki mutu yang sesuai dengan syarat yang telah ditentukan.
- Tepat ukuran, artinya benih yang dihasilkan harus memiliki ukuran yang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan oleh pembudidaya pembesaran.
- Tepat waktu, artinya benih yang dihasilkan dapat dijual ke pasaran pada saat benih tersebut dibutuhkan atau dicari oleh pembudidaya pembesaran.
- Tepat tempat, artinya benih dihasilkan oleh unit usaha yang berada di lokasi yang dekat atau lokasi yang dapat dicapai dengan mudah dan cepat oleh pembudidaya pembesaran.
- Tepat harga, artinya nilai jual benih sesuai dengan standar dan terjangkau oleh pembeli. Namun di sisi lain, pembenih masih bisa meraih untung dengan harga yang berlaku tersebut.
Sayangnya, berdasarkan kenyataan yang ditemukan di lapangan, belum semua pembudidaya ikan-ikan ekonomis penting memahami dan menguasai teknologi budi daya secara baik dan benar. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan keterampilan pembudidaya yang Umumnya masih relatif rendah.
Akibatnya, terjadi degradasi penurunan mutu (kualitas) berbagai jenis ikan tersebut dari waktu ke waktu. Penurunan mutu tidak hanya ditemukan pada stadia benih, tetapi juga terjadi penurunan mutu pada induk.
Keluhan umum terhadap rendahnya mutu benih ikan yang sering ditemui di lapangan adalah lambatnya laju pertumbuhan, mudah terserang penyakit, dan dalam proses pembesarannya memerlukan pakan yang jauh lebih banyak, dari yang seharusnya, sehingga konversi pakannya menjadi tinggi.
Selain itu, tidak jarang terjadi ketidaksesuaian % kandar warna dan bentuk benih yang dihasilkan. Hal lain yang juga sulit dipebuhi adalah faktor keseragaman. Antara satu pembenih dengan pembenih lain belum tentu menghasilkan benih yang sama kondisinya untuk jenis ikan yang sama.
Berikut ini beberapa ciri benih ikan yang mutunya sudah mengalami penurunan, yang umum ditemukan pada unit pembenihan serta dijual di pasaran.
- Bentuk tubuh berubah, kasus yang ditemukan adalah induk dengan bentuk, normal menghasilkan benih yang pendek bulat atau tidak normal.
- Kecepatan tumbuh menurun, jika biasanya dari 1 liter larva dihasilkan 80-100 kg fingerling (benih gelondongan, seukuran jari, berumur 1-1,5 bulan), pada kenyataannya hanya menghasilkan sekitar 25-30 kg fingerling.
- Mortalitas tinggi, dari yang semula hanya 1-5%, meningkat menjadi 30%.
- Warna benih tidak sama dengan standar atau berbeda dengan warna tubuh induknya.
Menurut publikasi Direktorat jenderal Perikanan Budi Daya, Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2003), terjadinya penurunan kualitas atau mutu benih, sangat merugikan secara finansial maupun ekonomi. Pasalnya, hasil yang diperoleh pembudidaya ikan menjadi tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Secara nasional keadaan ini membawa dampak, yaitu terjadinya in-efisiensi dalam penggunaan lahan, air, dana, dan faktor produksi lainnya.
E. Standardisasi Benih
Untuk menghindari kondisi yang merugikan tersebut, pemerintah memandang perlu melakukan standardisasi produksi perikanan dan standardisasi teknologi budi daya yang digunakan. Kemudian proses standardisasi ini akan dilanjutkan dengan proses sertifikasi, sehingga produksi perikanan berupa benih atau induk yang dihasilkan dan dipasarkan (yang diproduksi telah sesuai dengan standar baku yang ditetapkan) telah memiliki sertifikat yang menjamin kualitasnya.
Di era pasar bebas, persyaratan mutu benih dan induk seperti disebutkan di atas menjadi penting untuk dipenuhi dalam upaya memenangkan persaingan perdagangan, terutama berkaitan dengan semakin terbukanya pasar dunia (globalisasi) yang memungkinkan produksi perikanan dari negara lain dapat memasuki pasar benih di Indonesia. demikian juga sebaliknya, produksi benih pembudidaya ikan di Indonesia juga dengan leluasa dapat diperjualbelikan di negara lain yang membutuhkannya.
Dengan kondisi seperti itu, satu-satunya cara yang paling efektif dilakukan adalah menghasilkan benih yang memiliki standar mutu yang baku dan terjamin (dibuktikan dengan adanya sertifikat yang diperoleh melalui proses sertifikasi). jika hal ini tidak dilakukan, pembudidaya ikan di tanah air tidak akan mampu bertahan dan akan tersingkir dari persaingan pasar bebas. jadi jelaslah bahwa pembudidaya perikanan air tawar ekonomis penting di Indonesia
merupakan salah satu bidang budi daya yang perlu segera berbenah diri menghadapi kondisi tersebut.
sumber : dkp.mm