Penginderaan Jauh semakin berkembang dalam hal teknik dan aplikasinya, termasuk aplikasinya di bidang geografi, sumberdaya, lingkungan, pengembangan wilayah, kajian sumberdaya alam dan mitigasi bencana alam. Perkembangan satelit di negara berkembang semakin maju, termasuk di Thailand, Malaysia, Indonesia dan India.
Amerika sebagai super power teknologi ini, telah pula meluncurkan satelit yang menyajikan ukuran pixel detil, 0,41m, dengan nama GeoEye-1. Indonesia telah meluncurkan TUBSAT pada tahun 2007, bekerjasama dengan Jerman dan India.
Amerika sebagai super power teknologi ini, telah pula meluncurkan satelit yang menyajikan ukuran pixel detil, 0,41m, dengan nama GeoEye-1. Indonesia telah meluncurkan TUBSAT pada tahun 2007, bekerjasama dengan Jerman dan India.
Untuk itu inventarisasi, pemetaan dan survei data tentang fenomena geografi, sumberdaya alam, dan bencana alam dan informasi pendukungnya, pembentukan basisdata dan sistem informasi kebencanaan perlu dilakukan agar identifikasi, deteksi, pemetaan, monitoring, analisi dapat dilakukan dengan baik. Basisdata dan sistem informasi tersebut dapat digunakan dalam berbagai aplikasi terasuk sistem peramalan dini dan penentu kebijakan (Early Warning and Decision Support Systems). Dalam hal aplikasi-aplikasi ini, tenaga geograf terampil sangat diperlukan.
Untuk keperluan pendidikan, penginderaan jauh dan SIG dapat dimanfaatkan terutama untuk deteksi, indentifikasi, pemetaan, pengukuran, analisis obyek geografi, sumberdaya dan lingkungan, melalui produk-produk turunannya (photomap, spasiomap, orthofoto, peta dasar, peta tematik, digital terrain model, system informasi,…). Peragaan wajah bumi untuk pendidikan SMU dapat memanfaatkan PJ/SIG dengan pilihan-plihan aplikasi yang bervariasi dalam menyusunnya.
I. PENDAHULUAN
Pada masa kini kebutuhan informasi geografi makin nyata dalam negara yang sedang membangun seperti Indonesia, termasuk kegunaanya untuk pendidikan geografi dari sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Di satu sisi, diyakini bahwa informasi geografi sangat penting dalam menunjukan sumberdaya alam dan fenomena spasial, tetapi di lain pihak, informasi geografi tersebut belum diperoleh, diselenggarakan dan dikelola sebagaimana mestinya dalam pengelolaan muka bumi, karena belum menjadi prioritas dalam sistem pengelolaannya. Produk-produk perundang-undangan terkait basisdata yang telah diterbitkan oleh pemerintah RI (PP 10/2000 tentang ketelitian peta tematik pendukung tata ruang; Perpres 85/2007 tentang JDSN; dan RUU Tata Informasi Geografi), jelas memposisikan informasi geografi sebagai substansi yang sangat vital dalam penyelenggaraan negara NKRI, dan juga untuk menunjang pendidikan kebumian.
Dalam kaidah standart internasional, informasi geografi telah diatur dalam Geographic Information/ Geomatics, tertuang dalam ISO/TC 211 N 573. Dalam ISO tersebut, informasi geografi didukung dengan 10 buah teknologi berikut (1) Digital survey instruments, (2) Global Positioning System, (3) Remote Sensing, (4) Geographic Information Systems, (5) Spatial Systems Engineering Tools, (6) Spatial Database Management, (7) Automated Cartography, (8) Visualisation, (9) Modeling, (10) Spatial Analysis.
Penginderaan jauh dapat didefinisikan sebagai teknik atau ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang sesuatu obyek tanpa menyentuhnya (Campell, 1996). Teknologi ini dapat pula diartikan sebagai kegiatan perolehan informasi tentang permukaan bumi dengan menggunakan citra yang diperoleh dari dirgantara menggunakan energi elektromagnetik pada satu atau beberapa bagian spektrum elektromagnetik yang dipantulkan maupun dipancarkan dari permukaan bumi (Campell, 1996, dalam Sigit, 2008). Penginderaan jauh terdiri dari komponen-komponen yang membentuk suatu sistem: energi elektromagnetik, atmosfer, obyek permukaan bumi, dan sensor (Curran, 1985). Kemajuan teknologi penginderaan jauh sistem satelit mampu menyediakan citra penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial (ukuran pixel), resolusi spektral (panjang gelombang) dan resolusi temporal yang cukup tinggi. Hal ini tentu saja sangat membantu pelaksanaan aplikasi citra penginderaan jauh dalam hal pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan dengan lebih efisien dibandingkan pemetaan secara konvensional.
Sistem Informasi Geografi (SIG) terdiri atas input, penyusunan basisdata, proses dan output. Sebagai input, semua data spasial dapat digunakan sebagai masukannya, yang meliputi peta-peta tersedia, data sensus, hasil penetian, dan citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh sebagai data utama dalam SIG karena muthakir, yang didukung oleh resolusi temporalnya. Proses (buffer, overlay, transformasi,...) dapat dilakukan pada basisdata untuk menghasilkan informasi baru hasil dari pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan. Hasil tersebut sanagt berguna bagi proses pendidikan geografi, yang obyek utamanya adalah muka bumi, sedikit bawah muka bumi, dan atas bumi (lithosfer, hydrosfer, atmosfer, biosfer, antropofer).
Produk-produk penginderaan jauh dan SIG yang berupa citra digital dan hardcopy sangat bermanfaat bagi pendidikan geografi, karena obyek geografi, dan gejala kebumian dan lingkungan dapat disajikan dengan jelas pada data penginderaan jauh, dengan varisai skala dari skala besar hingga skala kecil. Kompetensi pendidikan geografi yang telah dirumuskan oleh Depdiknas, 2003, sebagaian besar dapat dibantu dengan menggunakan penginderaan jauh dan SIG untuk
II. TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH
2.1 Pengertian Penginderaan Jauh
Dalam memilih sistem penginderaan jauh yang sesuai dengan tujuan peneraannya, maka perlu memahami adanya konsep resolusi. Resolusi sangat menentukan tingkat kerincian obyek, sifat signatur spektral, periode ulang untuk monitoring dan tampilan datanya. Empat resolusi, yaitu : (a) Resolusi spektral, (b) Resolusi spasial, (c) Resolusi temporal, dan (d) Resolusi radiometrik. Resolusi spasial mencerminkan rincian data tentang obyek yang dapat disadap dari suatu sistem penginderaan jauh, dalam bentuk ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali pada citra, disebut pixel (picture element). Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum elektromagnetik yang digunakan dalam suatu sistem penginderaan jauh. Resolusi temporal merupakan frekuensi perekaman ulang bagi daerah yang sama oleh suatu sistem penginderaan jauh, dan resolusi radiometrik menunjukkan kepekaan suatu sistem sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan sinyal yang sampai pada sensor tersebut.
2.2 Pemotretan udara (Airborne Sensing)
Pemotretan udara merupakan teknik penginderaan jauh konvensional yang hingga kini peranannya belum dapat tergantikan oleh sistem lainnya dalam memberikan kerincian data permukaan bumi, kecuali kini adanya IKONOS, yang masih perlu evaluasi aplikasinya di Indonesia. Para interpreter telah terbiasa dengan pengenalan hasil pemotretan tegak yang dihasilkan (foto udara). Foto udara makin terkenal ketika digunakan dalam Perang Dunia I, untuk merekam pergerakan lawan. Foto udara menyajikan gambar yang jelas, mudah ditafsirkan dan bermanfaat untuk kajian yang berkaitan dengan muka bumi.
Berdasarkan jenis film yang digunakan, foto udara dibedakan manjadi foto udara pankromatik, inframerah, ultra violet dan ortrokromatik. Penginderaan dengan cara ini bersifat manual, baik sistem, data dan cara interpretasinya. Sistem hyperspektral (CASI, The MAP), memunculkan fenomena baru dalam penginderaan ini, karena sifat spektral obyek dapat dicermati menjadi lebih rinci. Small format photography berskala 1:5000 atau lebih besar, biaya relatih murah (Rp.20.000,-/Ha), menawarkan produk lain yang lebih kompetitif pada era otonomi daerah ini. Adanya scanner yang berfungsi konversi data analog ke digital, teknik interpretasi interaktif telah berkembang baik untuk obyek muka dan dalam bumi.
2.3 Penginderaan Jauh Satelit (Spaceborne Sensing)
Penginderaan jauh satelit menggunakan satelit sebagai kendaraan untuk membawa sensor dalam rangka penginderaan bumi pada ketinggian ratusan hingga ribuan kilometer. Penginderaan dengan satelit bersifat otomatik dengan sistem orbit sunsynchronous : pemotretan teratur, pengiriman data secara elektronik, analisis data secara digital. Jenis satelit yang digunakan untuk inventarisasi dan evaluasi bencana alam misalnya adalah Landsat (Multispektral Scanner, Thematic Mapper), System Pour l'Observation de la Terre (SPOT), Marine Observation Satelite (MOS), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Geometeorological Satellite (GMS), Barkara, ERS-1, JERS-1, ALMAZ-1, IRS, ADEOS.
Kemampuan memberikan satuan data terkecil di permukaan bumi disebut resolusi spasial, yakni sama dengan ukuran obyek yang ditampilkan sebagai satu unsur gambar (pixel). Satelit Landsat MSS memiliki resolusi spasial sebesar 80 x 80 m2, Thematic Mapper sebesar 30 x 30 m2 sedang SPOT sebesar 20 m x 20 m2 untuk sensor dengan panjang gelombang multispektral (multispectral mode) dan 10 m x 10 m2 untuk panjang gelombang tampak mata (panchromatic mode). Satelit NOAA beresolusi spasial 1 km2 (LAC) dan 9 km2 (GAC).
Periode ulang di dalam mengindera permukaan bumi sebesar 26 hari, dengan adanya jalur samping nadir (off-nadir viewing) periode selama 26 hari tersebut dapat digunakan untuk merekam daerah yang sama sebanyak tujuh kali untuk daerah di equator dan 11 kali bagi daerah lintang 45 derajat. Disamping periode ulangnya makin pendek juga diperoleh citra foto stereoskopis, karena adanya sistim penginderaan pada daerah yang sama dengan sudut pandang berbeda. Citra foto stereoskopis ini sangat bermanfaat bagi sistim analisa selanjutnya, terutama untuk penerapan interpretasi foto dan fotogrametri. Citra foto stereoskopis ini akan memberikan kenampakan tiga dimensi bila dilihat dengan menggunakan alat yang disebut stereoskope. Dengan melihat gambaran permukaan bumi yang tiga dimensi tersebut, maka informasi yang dapat disadap pada penelitian tertentu nampak semakin jelas. Sistem Landsat memiliki pengulangan rekaman sebesar 16 hari, sedang NOAA setiap 12 jam. Perolehan data yang cepat ini, memungkinkan kegiatan monitoring hutan dan pemuthakiran basisdata hutan dengan baik.
Citra NOAA, bekerja dengan visible, infrared dan thermal, resolusi 1 km dan 3 km, memberikan gambaran global tentang bumi, sehingga identifikasi bencana alam seperti letusan gunung berapi, kebakaran hutan baik dilakukan dengan citra ini. Citra ERS-1 beresolusi menengah, menggunakan microwave dalam penginderaannya, memungkinkan pengenalan fisik bumi (geomorfologi, geologi) yang lebih baik untuk pengenalan bencana seperti genangan banjir, longsor lahan, dan aktivitas volkanik.
2.4 Berbagai Sistem Penginderaan Jauh yang dikenal di Indonesia
2.4.1 Sistem Landsat 7 ETM+
Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan tujuan untuk menghasilkan data seri untuk seluruh daratan dan wilayah pesisir bumi dengan citra yang direkam dengan panjang gelombang tampak mata dan inframerah kualitas tinggi serta melanjutkan basis data Landsat yang sudah ada. Satelit ini dioperasikan bersama oleh NASA, NOAA dan USGS. Citra Landsat 7 ETM+ tersedia dalam tiga level data, yaitu : 0R, 1R dan 1G. Citra dalam level 0R merupakan citra yang belum mengalami koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Untuk citra dalam level 1R sudah mengalami koreksi radiometrik namun belum mengalami koreksi geometrik, sedangkan untuk citra dalam level 1G sudah mengalami koreksi radiometrik maupun koreksi geometrik.
2.4.2 Sistem Sensor Hiperspektral
Penginderaan jauh sistem sensor hiperspektral merupakan penggabungan kemampuan teknologi pencitraan dengan kemampuan analitis spektrometer. Sensor hiperspektral mampu merekam informasi spektral obyek seperti kemampuan spektrometri secara spasial. Dikalangan perintisnya teknologi ini lebih dikenal dengan sebutan spektrometer pencitra (imaging spectrometry) – spektrometer yang mampu melakukan pencitraan (imaging). Spektrometer sendiri hanya mampu merekam respon spektral obyek pada target titik. (Campell, 1996). Sistem sensor hiperspektral dirancang berbeda dengan sensor penginderaan jauh pada umumnya.
Dalam operasionalisasinya, sensor hiperspektral dapat diprogram dalam tiga mode, yaitu: mode spasial, spektral, dan enhanced spektral. Masing-masing mode memiliki spesifikasi sendiri-sendiri. Pada mode spasial, jumlah saluran spektral dapat mencapai 19 saluran dengan lebar sapuan adalah 512 piksel, resolusi spasialnya antara 0,8 – 5 m, dan resolusi radiometriknya adalah 16 bit. Pada mode spektral, jumlah saluran spektral dapat mencapai 288 saluran kontinyu dengan resolusi spektral 1.8 nm. Pada mode enhanced spektral jumlah saluran spektral dapat mencapai 72 saluran dengan resolusi spektral 8.6 nm. (www.themap.com.au).
2.4.3 Sistem Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER)
Salah satu citra satelit penginderaan jauh yang bisa digunakan dalam membantu pelaksanaan pemetaan pada skala sedang adalah citra satelit penginderaan jauh sistem ASTER. ASTER saat ini dipandang sebagai salah satu sistem penginderaan jauh satelit yang diharapkan mampu mengganti satelit Landsat ETM+ yang telah mengalami malfungsi sejak tahun 2003. Satelit Landsat 7 dengan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) adalah kelanjutan dari satelit Landsat generasi sebelumnya yang merupakan sistem penginderaan jauh yang memiliki sejarah panjang dan basis data yang paling lengkap untuk seluruh dunia. Citra satelit ini banyak diaplikasikan untuk berbagai kepentingan mulai dari agribisnis, militer, akademik, bisnis, dan sebagainya (http://ltpwww.gscf.nasa.gov; 20 April 2000; 13.30 WIB).
Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data ini, sehingga data ini tidak hanya untuk peta topografik saja, tetapi bisa juga digunakan sebagai citra stereo. SWIR merupakan high resolution optical instrument dengan 6 band yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan short wavelength infrared range (1.6 – 2.43 m). Penggunaan radiometer ini memungkinkan menerapkan ASTER untuk identifikasi jenis batu dan mineral, serta untuk monitoring bencana alam seperti monitoring gunung berapi yang masih aktif. TIR adalah high accuracy instrument untuk observasi thermal infrared radiation (800 – 1200 m) dari permukaan bumi dengan menggunakan 5 bands. Band ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi. Multi-band thermal infrared sensor dalam satelit ini adalah pertama kali di dunia. Ukuran citra adalah 60 km dengan ground resolution 90m (Sumantyo dan Soekanto, 2003). Karakteristik citra aster disajikan pada tabel 2.
2.4.3 Sistem Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)
SRTM diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2000 oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) and the National Aeronautics and Space Administration (NASA). Sensor SRTM diletakkan pada pesawat ulang alik Endeavour yang mengorbit bumi selama 10 hari dan berhasil mengumpulkan data topografi berresolusi tinggi hampir mendekati 80 % luas permukaan daratan di bumi. SRTM termasuk dalam katagori satelit gelombang mikro aktif. Sensor SRTM berkerja pada dua kanal, yaitu kanal C dengan panjang gelombang 5,6 cm dan kanal X dengan panjang gelombang 3 cm. Pada pencitraan dengan kanal C dihasilkan citra resolusi tinggi dengan lebar liputan 50 km untuk beberapa daerah tertentu, sedangkan pada pencitraan dengan kanal X dihasilkan citra yang lebih rendah resolusinya dengan lebar liputan 225 km namun luas liputannya hampir mencapai 80% luas permukaan daratan di dunia (Gambar 5). Resolusi spasial citra SRTM berkisar antara 10 m sampai dengan 90 meter dengan resolusi rata-rata 30 m.
Untuk menghasilkan citra topografik resolusi tinggi dan mempunyai kemampuan untuk pemodelan tiga dimensi dengan teknik interferometri, maka sensor SRTM beroperasi dengan dua antena, dimana salah satunya diletakkan pada badan pesawat endeavour dan satunya diletakkan 60 meter di luar badan pesawat ulang alik tersebut.
2.5 Satelit di Negara Berkembang
Berikut disampaikan perkembangan dunia penginderaan jauh di negara sedang berkembang : Indonesia, Thailand, Malaysia, dan India. Perkembangan ini tidak dapt dibandingkan dengan perkembangan di negara-negara maju, yang sudah sangat lanjut. Perkembangan di negara berkembang ini berciri kemitraan dengan negara maju, sehingga secara ilmiah dan teknis, sangat dirasakan adanya bantuan dan dukungan dari negara maju.
2.5.1 Satelit TUBSAT - Indonesia
Toto Marnanto Kadri dan Adi Sadewo Salatun (2007) menyatakan bahwa kebutuhan pengembangan satelit di Indonesia didasarkan pada wilayah nasional Indonesia sebagai Negara kepulauan dan wilayah daratan yang sangat luas. Satelit TUBSAT diluncurkan oleh Indonesia , hasil kerjasama dengan jerman dan India , pada tahun 2007. Spesifikasi satelit TUBSAT memiliki resolusi spasial Ground Resolution 5 m dan 200 m . Attitude Control System : 3 wheels fiber optic laser gyros in orthogonal axis, CMOS star sensor, 3 magnetic coils in orthogonal axis, Coarse sun sensor (solar cells) at 6 sides. Manfaat satelit telekomunikasi dan satelit penginderaan jauh bagi Indonesia diharapkan berperan dalam : a. Telecommunication (first domestic satellite telecommunication system in operation in 1976); b. Earth observation (natural resources, urban and rural land use; development, environment, weather, climate and others); c. Disaster management; d. Navigation; e. Search and Rescue; f. Health; g. Education; h. Others. Satelit dan aplikasinya diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat.
2.5.2 Satelit THEOS Thailand
Spesifikasi satelit THEOS : Mass: 750 kg, Orbit: Sun Synchronous, Altitude: 822 km, Inclination: 98.7, Repeat Cycle: 26 days, Mean Local Time: 10.00 a.m., Payload: Panchromatic telescope dan Multi-spectral camera On-board Memory: 51Gb, Mission Data: X-band Link; TT&C: S-band Link, Attitude Orbit Control and Orbit Determination: 3-axis stabilized, Star Tracker, Gyro, GPS, Magnetic Torque, Sun Sensor, Design Life Time: 5 Years; Launch Date: Mid 2007.
Peran satelit penginderaan jauh bagi Thailand : ground receiving station is the major source of satellite data, Disaster management and R&D activities are being conducted, cooperating with agencies world wide. Thailand can support Sentinel Asia as : satellite data provider, WMS network, capacity building…
2.6.3 Satelit Razaqsat Malaysia
2.6.4 Program Penginderaan Jauh Satelit India
Kemampuan India dalam hal ini adalah : (1) data at different spatial resolutions in identical spectral bands, (2) high Repetivity/Revisit Launch in tandem, Coarse spatial resolution or Geo-synchronous, (3) specific narrow bands (High S/N), (4) high Spatial Resolution (PAN) and Stereo Capability, (5) observations over land, ocean and atmosphere, (6) ensuring availability of data from international missions of different dimensions to fill gaps (LANDSAT, SPOT, ERS, RADARSAT, JERS, NOAA, Terra-Aqua, etc).
2.6.5 Satelit GeoEye1 Milik Amerika Serikat
Amerika Serikat sebagai Negara maju di bidang penginderaan jauh, baru-baru ini telah meluncurkan satelit sumberdaya alam, yang mampu menyajikan resolusi spasial terbaik, yaitu 0,41m. diluncurkan pada tanggal 8 September 2008, dengan ketinggian 478mile (700km). Satelit diberi nama GeoEye-1. Kemampuan yang sejenis juga telah dirancang untuk satelit OrbView-4. Resolusi spasial 0,41m itu, lebih baik dibanding dengan satelit yang telah masuk di pasaran citra dunia, QuickBirds, 0,64m, yang citranya telah banyak digunakan di Indonesia .
III. INTEGRASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI SERTA APLIKASINYA
Setiap daerah kabupaten berusaha memanfaatkan SDA sebagai modal dasar pembangunan secara efisien. Dalam pengelolaan wilayah kabupaten, efisiensi dan penilaian yang tepat tentang potensi SDA perlu dilakukan, agar supaya modal dasar pembangunan tersebut dapat dimanfaatkan sesuai sasaran. Untuk itu perolehan data SDA, pemanfaatan data yang baik, benar, cepat perlu dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan data dan pengembangan sistem informasi spasial sesuai dengan kebutuhan.
Dalam era pembangunan dan globalisasi, diperlukan data yang baru dan pengelolaan data dan informasi yang mudah diakses. Dalam hal ini, teknik penginderaan jauh dan SIG dapat menjawab hal tersebut. Penginderaan jauh, citra foto, citra satelit dapat dimanfaatkan sebagai sumberdata lingkungan abiotik (sumberdaya alam), lingkungan biotik (flora dan fauna), serta lingkungan budaya (bentuk penggunaan lahan).
Kesadaran tentang pentingnya data SDA serta peran data dan informasi tersebut untuk perencanaan pembangunan dan pengendalian dampak yang ditimbulkan. Untuk itu, dirasa perlu untuk meningkatkan kualitas para pelaksana dan pengendali pembangunan untuk mengetahui semua jenis sumberdaya dan pembangunan, serta mengetahui lokasi agihannya.
Data dan informasi dapat diperoleh secara langsung melalui teknik pengukuran, sensus ataupun observasi, yg perlu waktu dan biaya yang relatif besar. Pengolahan citra penginderaan jauh, dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, terutama dalam bidang SDA. Manfaat tersebut antara lain perolehan data dan informasi tentang jenis, luas, distribusi, dan kualitas SDA secara cepat dan perubahan-perubahannya. Teknik penginderaan jauh memerlukan tenaga dan pelaksana yang mampu mengelola citra : interpretasi citra hingga menyajikannya ke dalam bentuk peta sumberdaya atau produk digital lainnya. Produk tersebut kemudian dapat digunakan sebagai input dalam penyusunan basisdata wilayah, yang bermanfaat utk berbagai keperluan pengelolaan wilayah.
3.1 Penginderaan Jauh dan Penyusunan Basisdata SIG
Data dasar nasional berisi data dan informasi dasar geografis yang tercakup dalam peta Topografi, Rupabumi, lingkungan Pantai Indonesia, Lingkungan Laut Nasional dan Benua Maritim. Sebesar 70% dari wilayah nasional telah terselesaikan. Data tematik yang dibangun di atas data dasar meliputi tematik abiotik (geologi, tanah, air, iklim, mineral, laut), biotik (vegetasi) dan data sosial ekonomi penduduk. Perolehan data tersebut oleh instansi penghasil data (BPN, Puslittanak, Dirjen Geologi, Lemigas, Departemen Kehutanan, Bakosurtanal, Jawatan Topografi, Kimpraswil, BMG, BPS, Dirjen Pajak PBB) menggunakan data penginderaan jauh dan diolah dengan SIG. Pembentukan IDSN dan IDSD telah dimulai, monitoring kemajuan antar instansi penghasil dan pengguna data dilakukan melalui Rakor dan Rakortek SIG, yang berlangsung setiap tahun.
PP 10/2000, yang ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid tanggal 20 Desember 2000 menjelaskan tentang tingkat ketelitian peta tematik untuk mendukung tataruang wilayah sebagai berikut :
- Peta RTRW Nasional minimal 1 : 1.000.000. Isi : Garis Pantai, Hidrografi lebar minimal 125m, Kota, transportasi, batas administrasi nama-nama geografis
- Peta RTRW Daerah Propinsi, minimal 1 : 250.000. Isi : Idem, Hidrografi minimal 35m, + kontur 125m, propinsi Sempit : 1 : 50.000-1:100.000
- Peta RTRW Daerah Kabupaten, minimal 1 : 100.000. Isi : Idem, Hidrografi minimal 15m, + kontur 50m, Kabupaten Sempit : 1 : 50.000-1:25.000
- Peta RTRW Daerah Kota, minimal 1 : 50.000 . Isi : Idem, Hidrografi minimal 7m, + kontur 25m, Kota Sempit : 1 : 25.000-1:10.000
Isi (1 : 25.000): Idem, Hidrografi minimal 5m, kontur 12,5m
Isi (1 : 10.000): Idem, Hidrografi minimal 1,5m, kontur 5m
Data nasional sebagai input terbentuknya basisdata nasional telah tersedia dalam skala 1:1000.000 dan 1:250.000, sedang skala yang lebih besar 1:100.000; 1:50.000; 1:25.000 masih perlu dikerjakan dengan cara-cara yang lebih sistematik, konsisten, dan berkesinambungan. Prof. M.T Zen dari ITB, pada acara Kongres Ilmu Pengetahuan di Serpong, tahun 1996, pernah menyatakan bahwa peta SDA tersedia tidak cukup untuk kegiatan eksplorasi SDA, tetapi perlu segera didetilkan.
Basisdata merupakan sekumpulan data spasial yang terdiri dari beberapa tema (layer) yang memiliki kesamaan, (hidrografi, topografi, perhubungan, liputan lahan, toponimi). Penyusunan basisdata telah diatur dan sebaiknya mengkuti ketentuan yang berlaku, antara lain PP No.10 Tahun 2000, yang berisi tentang Kerincian peta tematik untuk mendukung tataruang; Perpres No.85 2007 tentang Jaring Data Spasial Nasional; RUU Tata Informasi Geospasial (UU Tata Informasi Geografi); Bab X UU No.25 Tahun 2000 tentang Sumberdaya alam dan Lingkungan Hidup; SNI terbitan BSN, yang telah menghasilkan lebih dari 10 standart penyusunan Peta Dasar; dan ISO TC 211 Geographic Information/Geomatics.
Perpres No.85 tahun 2007, berisi berbagai pengertian tentang Jaring data spasial Nasional yaitu sistem penyelenggaraan pengelolaan data spasial secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi, dan berkesinambungan dan berdayaguna. Data spasial adalah hasil pengukuran, pencatatan dan pencitraan terhadap suatu unsure keruangan yang berada di bawah, pada, di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu koordinat nasional (GEOGRAFIS : A 110d, 30m, 30dt BT; 6d, 10m, 10d LS; A 411365; 9023345 Universal Transverse Mercator….UTM). Simpul Jaringan merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengumpulan, pemuthakiran, pertukaran, penyebarluaasan data spasial tertentu. Penghubung simpul jaringan adalah institusi yang menyelenggarakan pengintergrasian simpul jaringan secara nasional. Unit kliring adalah salah satu unit kerja pada simpul jaringan yang ditunjuk sebagai pelaksana pertukaan dan penyebarluasan data spasial tertentu. Metadata merupakan informasi singkat ataas data spasial yang berisi identifikasi, kualitas, organisasi, acuan, entitas, distribusi, sitasi, waktu dan acuan data. Standart nasional Indonesia adalah standart yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku secara nasional. Spesifikasi data sppasial merupakan uraian yang berisi ketentuan teknis dalam mencapai tujuan khusus dan penjelasan rinci sesuai dengan kekhususan data spasial tersebut. JDSN berfungsi sebagai sarana pertukaran data spasial dan sarana penyebarluasan data spasial. Institusi tersebut adalah Departemen, non deprtemen dan kementrian.
Core data set merupakan kesepakatan nasional tentang data apa yang harus dimiliki oleh setiap unit pengembang basisdata. Saat ini perbincangan tentang hal tersebut belum final, dengan usulan sebanyak 13 macam data set. Sebagai perbandingan data tentang Digital Himalaya berisi hanya 6 macam data spasial, dengan melibatkan 8 negara yang memiliki wilayah hulu di Himalaya. Data tersebut adalah Topography; Land Use and Land cover; Infrastructure; Drainage Network; Administrative Boundary; Socio-Economy (Census). Jenis data meliputi
1. DATA DASAR : geografis, hidrografi, topografi, sarana (jalan, KA), ekologis (rawa, non rawa), nama2, bathimetri. Disajikan informasi tepi kartografis : orientasi, judul, skala, koordinat (geografis, UTM), inset, legenda, cara membaca, sumber data, tahun, grid/indeks. Input sbg data grafis.
2. Data Tematik Dasar : Abiotik, Biotik, Cultural, SD Lahan , SD Air, SD Hutan , SD Mineral/Batuan, SD Laut. Data tersebut merupakan Input data atribut. Skala 1:1000.000 dan 1:250.000. Skala lebih besar menunggu utk dibuat dgn baik.
3. Data Tematik Analitik : data yang diderivasikan dari data dasar, data tematik dasar (lereng/DEM dari kontur ketinggian; Peta ekosistemßP.liputan lahan + P.Bentuk lahan
4. Data Tematik Sintetik: data yang merupakan sintesa dari aspek kebumian secara integral ß Tataruang (biofisik, ipoleksosbudhankam)
Basisdata harus memiliki kualitas data spasial yang memadai. Kriteria penilaian kualitas data spasial meliputi
(1) Skala yaitu ratio of distance on a map to the equivalent distance on the earth's surface; Primarily an output issue; at what scale do I wish to display?
(2) Precision or Resolution (skala peta-à resolusi cocok ?, penyebut skala/10.000): the exactness of measurement or description dan determined by input; can output at lower (but not higher) resolution.
(3) Accuracy (horizontal, o,5 x resolusi spasial; vertikal 0,5 x Ci) 1:50.000, CI = 50.000/2000 = 25m…Ketetlitian vertikal <12,5m. 1:200…CI =200/2000….10CM….5CM. Akurasi merupakan the degree of correspondence between data and the real world, dimana pada dasarnya akurasi ditentutak oleh input data.
(4) Kemuthakiran (Currency) (Baru, mutakhir, 1-2 tahun terakhir LU/LC, 5-10 tahun Fisik), yaitu the degree to which data represents the world at the present moment in time
(5) Documentation or Metadata (header of CD ROM), FU, jalur terbang, overlap, sidelap, end land, daerah efektif, vertikal/oblique <3); metadata is data about data; Recording all of the above
(6) Standards yaitu Common or “agreed-to” ways of doing things (SNI--BSN, ISO)..Geographic Information dan Data built to standards is more valuable since it’s more easily shareable SIGNAS (sharing and interoperabilty data)
3.3 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG
Kekuatan dari SIG adalah terbentuknya New Information dari hasil analisis basisdata, melalui berbagai proses yang dapat dilakukan pada SIG , melalui (1) Pemrosesan data atribut (Query dan Kalkulasi), (2) Pemrosesan data grafis (mengubah skala, mengubah Sistem Proyeksi, Rotasi dan Translasi, Pengkondisian (Spasial Querying), Tumpangsusun (Overlay), Re-klasifikasi, Jarak dan Buffer, model Elevasi/Medan Digital, pemodelan Spasial dan Kalkulasi Data Grafis); dan (3) Terpadu antara data grafis dan atribut (Pengkaitan atribut ke grafis dengan simbol area, warna, angka, diagram).
SIG merupakan suatu sistem informasi yang dirancang pelaksanaannya dengan mendasarkan pada letak spasial atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG merupakan suatu sistem “data base” yang memiliki kemampuan tertentu untuk data yang bereferensi spasial dan juga merupakan serangkaian proses kerja dengan data spasial dan atribut. Star and Estes (1990) menyatakan bahwa pemahaman terhadap lingkungan alam dan gejala-gejalanya (termasuk bencana alam) dapat dilakukan dengan menerapkan konsep empat M. Empat M tersebut adalah pengukuran (measurement), pemetaan (mapping), pantauan (monitoring) dan pembuatan model (modeling). Data penginderaan jauh merupakan input penting pada SIG karena datanya muthakir, lengkap dan cepat diperoleh.
Contoh aplikasi SIG yang meliputi 4M, dimana M pertama adalah Measurement; misalnya pengembangan pemodelan sig utk mengukur volume banjir DKI. Berkutnya adalah mapping: pemetaan curah hujan dari data satelit, kemudian Monitoring; monitoring limbah Freeport dalam konteks kelestarian lingkungan di lowland; dan Modeling, misalnya Site selection area permukiman yg lestari utk penduduk pra sejahtera.
3.3.1 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Kajian Sumberdaya Mineral dan Batuan
Pemanfaatan SIG untuk pemetaan sumberdaya mineral dan batuan dapat dicontohkan dengan studi Asadi, H.H. (2000), berjudul The Zarshuran gold deposit model applied in a mineral exploration GIS in Iran. Sebuah disertasi doctor di Delft University of Technology. Enam model pendekatan telah dilakukan untuk melokalisir cebakan emas, dengan menggunakan data peta, citra satelit, citra aeromagnetic dan survey lapangan. Enam pendekatan tersebut adalah (1) Chemically-reactive host rocks (Precambrian shale, limestone), (2) Metal source rocks (serpentinized ophiolite), (3) Igneous heat sources (andesite, basalt), (4) Faults (trending NW-SE, E-W and NE-SW), (5) Hydrothermal alteration (argillic, iron oxide), (6) Geochemical signature (of orpiment, sphalerite and sulphosalts). Tampilan spasial komposit dari masing-masing model tersebut dapat menghasilkan alternative lokasi potensi cebakan emas.
3.3.2 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Kajian Sumberdaya Air
Pemetaan, monitoring dan modeling sumberdaya air telah dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia . Kekeringan, menyusutnya volume air permukaan, pendangkalan danau dan rawa, telah dilaporkan dalam berbagai media. Kajian Rawa Biru oleh WWF dan Fakultas Geografi UGM 2003, menunjukan fenomena tersebut. Contoh kajian entang sumberdaya air tanah, telak dilakukan oleh Dulbahri 1994 memetakan sumberdaya air tanah di DAS Progro dengan menggunakan foto udara inframerah 1;30.000, peta tematik dan kerja lapangan. Analisis spasial holistic dengan overlay, dilakukan dengan menggunakan berbagai variable abiotik sebagai input (geologi, geomorfologi, tanah, dan liputan lahan) dan mampu menunjukan potensi akuifer.
3.3.3 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Kajian Sumberdaya Lahan
Pemetaan dan evaluasi sumberdaya lahan telah dilakukan oleh Puslitanak secara operasional, menggunakan foto udara. Pada LREP kegiatan tersebut makin meningkat. Penggunaan lahan dan kerusakan lahan telah dilakukan oleh BPN, Departemen kehutanan dan Lingkungan Hidup.
3.3.4 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Kajian Sumberdaya Hutan
Kajian sumberdaya hutan dengan menggunakan SIG telah dilaksanakan dengan berbagai pendekatan baik multi spasial, spectral dan temporal. Serangkaian data dan informasi seri, multi level dan multi temporal telah dilakukan. Pemodelan dan prediksi kondisi hutan di masa depan telah mampu disajikan.
Fakta menunjukan bahwa hutan berkurang >1 juta Ha per tahun, melalui penebangan resmi maupun yang tidak resmi. Peta vegetasi Indonesia dari hasi SIG misalnya ditunjukan dengan peta Yves Laumonier (1986), NFI (1991), JAFTA (1990) menggunakan pendekatan ekofloristik, serta Agus Siswanto (2008) dengan metode berlapis (stratified).
3.3.5 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Kajian Sumberdaya Laut
Kajian sumberdaya laut oleh Barmawi (2002) dengan menggunakan citra CASI (Compact Airborne Spectral Imager) hyperspektral mampu memetakan terumbu karang di Kepulauan Seribu. Citra MODIS multispektral telah digunakan untuk studi eutrofikasi perairan Teluk Jakarta oleh Sam Wouthuysen, 2004, yang mampu menunjukan kondisi polusi perairan pada berbagai kondisi dan waktu.
3.8 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah
Evaluasi struktur tataruang dapat dilakukan dengan membandingkan pemetaan penggunaan lahan aktual dengan peta tataruang tersedia, yang bermanfaat bagi monitoring dan pengendalian penggunaan lahan. Fakta menunjukan bahwa alih fungsi lahan dari kawasan vegetatif menjadi kawasan terbangun, semakin sulit dikendalikan, terutama di Jawa. Satu contoh aplikasi data penginderaan jauh untuk perencanaan pengembangan wilayah adalah model penyediaan hutan kota, meliputi kegiatan-kegiatan : pemetaan, monitoring, dan perencanaannya, dengan memperhatikan sumber pencemar, jumlah penduduk dalam proyeksi tahun tertentu, eksisting hutan kota, dan kebutuhan hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen dan kenyamanan hisup bagi warganya.