Agama Islam diakui sebagai agama yang istimewa. Ia dideklarasikan sebagai agama paripurna yang mereduksi dua agama langit sebelumnya. Ia unggul dan tidak ada yang menggunguli. Ia tidak dibatasi oleh waktu, tempat, atau jenis masyarakat. Agama langit yagn diturunkan dari Allah Swt. ini berciri khas lurus, besar, agung, sempurna, abadi, dan universal. Allah Swt. berfirman yang artinya:
Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Q.S. Al Maidah: 3
Agama yang agung dan sempurna ini tentu hanya mampu dibawa oleh seorang utusan yang agung dan sempurna pula. Mustahil ia dibawa oleh manusia yang lemah, cacat, dan kerdil. Di sinilah secara reflek kita mengakui bahwa Rasulullah Muhammad Saw. sebagai pembawa agama tersebut adalah manusia istimewa, tiada banding, sempurna segala-galanya. Tanpa cela. Seakan-akan beliau produk khusus bukan seperti kebanyakan manusia. Ibarat bebatuan, beliau adalah intan. Maka pantas beliau menyandang predikat Insan Kamil (sosok manusia yang sempurna). Dalam syair dikatakan:
Engkau diciptakan bebas dari segala cela. Seakan-akan engkau diciptakan seperti apa yang engkau kehendaki.
Beliau tampak agung bodi dan budinya. Budi beliau adalah Alquran. Sifat-sifat terpuji dalam Alquran itulah budi beliau, seperti jawaban ‘Aisyah terhadap para penanya tentang budi Rasulullah yang juga suaminya. Tentang keagungan bodi, cukuplah bahwa sahabat-sahabat besar justru tidak mampu mengungkapkan sifat beliau, karena sangat hebat keindahan beliau. Mereka tidak kuasa bertatap pandang langsung dengan beliau. Sementara sahabat-sahabat yang mampu mengungkapkan sifat beliau secara cukup detail adalah para sahabat yang semenjak kecil telah bergaul dan berteman dengan beliau, seperti sahabat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Halal, dan lainnya.
Keterkaguman terhadap Rasulullah tidak hanya diakui oleh orang-orang Islam sendiri yang notabene percaya dan mengikutinya. Namun orang-orang Barat pun mengakuinya seperti mereka ungkapkan dalam buku-buku mereka, padahal mereka adalah lawan dan sering ada distorsi dalam tulisan-tulisannya.
Michael H. Hart dalam bukunya berjudul: “The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. Mahbub Djunaidi dengan judul: “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah,” mengatakan, “Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar seratus tokoh yang berpengaruh di dunia, mungkin mengejutkan sementara pembaca, dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah satu-satunya manusia dalams sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi. Berasal-usul dari keluarga sederhana, dia menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, agama Islam. Dan pada saat bersamaan tampil sebagai pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini 13 abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.”
Sebagai orang Islam, cukuplah keagungan beliau manakala melihat ikrar nabi-nabi sebelumnya bahwa jika mereka hidup dan berjumpa dengan Rasulullah Saw. mereka tidak akan berdiri sendiri, namun akan bergabung dan bernaung di bawah komando beliau, seperti diabadikan dalam Alquran surat Ali Imran ayat 81. Pantaslah Nabi Isa as. Bila turun dunia kelak tidak akan mendakwahkan misi Nasrani, tapi mendakwahkan misi Rasulullah Saw.
Keberadaan beliau telah mengingat kita semua pada poisis yang diperhitungkan di antara umat nabi-nabi yang lain. Kita memperoleh banyak kemuliaan dan keistimewaan yang tidak dapat diperoleh oleh umat-umat yang lain. Berkah adanya Rasulullah Saw. Lalu sebagai umatnya, tanggung jawab apakah yang mesti kita persembahkan?
Kita diperintahkan untuk mengangkat beliau dan menjadikannya sebagai suri teladan. Karena itulah makna dari beriman kepada rasul-rasul Allah. Mengamalkan Alquran dan Al Hadits termasuk bagian pokok dari tanggung jawab mengikuti beliau, karena dua perkara itulah warisan beliau. Menjalankan apa yang diperintahkannya serta menjauhi apa yang dilarangnya juga bagian dari mengikuti beliau. Sunnah-sunnah beliau yang mati lalu kita hidup-hidupkan termasuk bagian dari mengikuti beliau. Mendahulukan sunnah-sunnah itu di atas nalar dan realitas yang ada saat ini. Tidak mempertentangkan beliau dengan Allah Swt. atau mempertentangkan hadits Beliau dengan Alquran. Allah Swt. berfirman yang artinya:
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Q.S. Ali Imran: 31
Jika beliau penyabar, kita berusaha sabar. Beliau penyantun, kita berupaya santun. Beliau lepas dari penyakit-penyakit hati, kita berusaha mengobati. Beliau adil, kita bersikap adil. Pendek kata, kita mengikuti beliau, bahkan dalam sunnah-sunnah yang terbilang kecil dan remeh, seperti membersihkan tubuh dan rumah, merapikan janggut, merawat gigi, menyayangi anak, istri, binatang, dan sebagainya.
Hal ini bisa tercapai manakala kita menumbuhkan dalam jiwa kita kecintaan terhadap beliau. Kita berbungah-bungah dengan keberadaan beliau. Kita menghormati, memuliakan, dan beradab dengan beliau, laksana Imam Malik bin Anas yang setiap kali memasuki kota Madinah selalu turun dari kendaraan dan melepas sandal karena menyadari ada jejak-jejak Rasulullah Saw. di situ. Tidak malah membenci, menyesal, atau bahkan mencela beliau yang merupakan perilaku orang-orang munafiq. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa orang yang tidak memuliakan dan buruk adabnya kepada Rasulullah di khawatirkan dia mati kufur yang menjadikan amal-amal baiknya terhapuskan. Pepatah Arab mengatakan
Jika cintamu sungguh-sungguh, kamu pasit mentaatinya. Sesungguhnya orang yang cinta pasti taat kepada orang yang dicintainya.Ekspresi gembira, suka, beriman kepada beliau, memperbanyak sholawat dan puji-pujian atas beliau, membaca siroh, menghormati anak keturunannya, dan menziarahi masjid Nabawi termasuk manifestasi dari mencintai beliau.
Abu Lahab termasuk orang yang mendapatkan kebahagian karena ekspresi gembira atas keberadaan beliau. Dia mendengar kelahiran putera Aminah itu dari Tsuwaibah, budaknya. Dia amat gembira mendengarnya, sampai budaknya itu rela dia merdekakan lalu disuruhnya untuk menyusui bayi yang mulia tersebut. Lantaran ini dia yang walau telah di-nashkan dalam Alquran sebagai orang yang celaka dan amat celaka, mendapatkan keringanan. Setiap Senin dia diberikan minum dan diperingan azabnya.
Kisah ini merupakan mimpi Abbas bin Abdul Muthalib setelah kematian Abu Lahab. Betapa pun sebuah mimpi, namun akurasi dan kevalidan transmisinya diakui oleh banyak perawi hadits dan ulama-ulama pakar sejarah. Di antara mereka adalah Imam Al Bukhari, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Al Baihaqi, Ibnu Hisyam, Suhaili, Al Baghwi, Ibnu Daiba’, Qadli Iyadh, dan Imam Abdurrazzaq. Imam Bukhari meletakkan kisah ini pada Shahihnya bab Nikah subbab “Haram Menikahi Ibu-ibu yang Menyusui kamu.” (Shahih Bukhari Hasyiyah Sindy III: 24).
Bila ingin berada dalam puncak kecintaan maka kita bisa mentauladani sahabat Umar bin Khattab ra. Suatu hari, sebagaimana diceritakan oleh Imam Bukhari, sahabat Umar berkata di depan Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah! Demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu, kecuali diriku. Aku bisa lebih mencintai engkau daripada anakku, hartaku, dan orang lain. Tapi cintaku terhadap diriku masih lebih dominan daripada cinta terhadap engkau.” Rasulullah bersabda, “Tidak bisa, wahai Umar hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu juga.” Pada hari berikutnya, dia datang menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Ya Rasulullah! Demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu, termasuk diriku.” Mendengar ketulusan cinta yang murni ini, beliau bersabda, “Sekarangla wahai Umar telah sempurna imanmu.”
Dengan ini sahabat Umar berarti telah benar-benar mencapai maqom (posisi yang tinggi) dalam mahabbaturrasul Saw. (mencintai Rasulullah Saw.) Ayah Ummul Mukminin, sayyidah Hafsoh ini telah mampu denganbaik mengaplikasikan firman Allah Swt.yang artinya:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” Q.S. Al Ahzaab: 6.
Dan juga Amirul Mukminin kedua ini telah mampu dengan baik mengaplikasikan sabda Rasullah Saw.
Demi Dzat yang diriku dalam kekuasaanNya. Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya, anaknya, hartanya, dan manusia semua.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Sahabat Abdullah bin Umar adalah gambaran jelas yang lain sosok manusia yang habis-habisan dalam mencintai beliau. Tidak hanya sunnah-sunnah Rasullah Saw. yang diamalkan. Dia cinta junjungannya bahkan sampai ke tingkat menapaktilasi jejak-jejak beliau sekecil-kecilnya. Dia menuangkan air di tempat Rasulullah Saw. menuangkan air. Dia menjalani sholat di tempat yang dijalani sholat oleh Beliau. Dia buang air di tempat Rasulullah Saw. buang air. Dan sebagainya. Dalam hal ini beliau tampak luar biasa dalam mengamalkan ayat yang artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.” Q.S. Al Hasy: 7.
Setiap bulan Rabiul Awwal, umat Islam ramai menyelenggarakan peringatan (dzikro) Maulid Rasulullah Saw. Alangkah indahnya perayaan itu bila dinyatakan dan disemangati oleh pemikiran untuk menapaktilasi jejak-jejak Beliau sebagai Insan Kamil dengan merenungi sejarah perjalanan hidup beliau, mentauladani kepribadian Beliau, menghidup-hidupkan sunnah-sunnahnya, mengagungkan beliau dengan memperbanyak sholawat dan puji-pujian kepadanya, demi menumbuhkan kecintaan terhadap beliau, walapun momentum untuk itu sebetulnya juga terbuka di bulan-bulan lainnya. Dan tidak justru menodai perayaan itu dengan hal-hal tak berfaedah atau yang kontraproduktif (bertentangan) dengan semangat perayaan, apalagi membarenginya dengan perilaku-perilaku maksiat.
Keterangan gamba: tersebar gambar yang sama di Internet.
sumber:
http://warungbaca.wordpress.com/2009/03/12/jejak-jejak-insan-kamil/