Dalam UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan jelas tersurat bahwa kelembagaan penyuluhan diklasifikasikan
ke dalam berbagai tingkatan. Di tingkat Pusat ada yang disebut dengan Badan Penyuluhan. Di Provinsi dikenal ada nya Badan Koordinasi Penyuluhan.
Di Kabupaten/Kota ada yang dinamakan dengan Badan Pelaksana Penyuluhan. Di tingkat Kecamatan disebut Balai Penyuluhan dan di tingkat pedesaan dikenal Pos Penyuluhan. Dalam UU tersebut disebutkan pula bahwa yang nama nya "penyuluh" dikategorikan ke dalam 3 unsur yakni penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Mengacu kepada hal-hal diatas, maka tidak dikenal lagi sebutan penyuluhan pertanian atau penyuluhan perikanan atau penyuluhan kehutanan. Yang ada adalah makna "sistem penyuluhan" sebagai gumpalan dari istilah sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Dan berbasis pada hal yang demikian, tentu nya tidak ada lagi sebutan penyuluh pertanian atau penyuluh perikanan atau pun penyuluh kehutanan. Artinya, bila kita bicara sistem penyuluhan, maka didalam nya sudah termasuk pertanian, perikanan dan kehutanan.
ke dalam berbagai tingkatan. Di tingkat Pusat ada yang disebut dengan Badan Penyuluhan. Di Provinsi dikenal ada nya Badan Koordinasi Penyuluhan.
Di Kabupaten/Kota ada yang dinamakan dengan Badan Pelaksana Penyuluhan. Di tingkat Kecamatan disebut Balai Penyuluhan dan di tingkat pedesaan dikenal Pos Penyuluhan. Dalam UU tersebut disebutkan pula bahwa yang nama nya "penyuluh" dikategorikan ke dalam 3 unsur yakni penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Mengacu kepada hal-hal diatas, maka tidak dikenal lagi sebutan penyuluhan pertanian atau penyuluhan perikanan atau penyuluhan kehutanan. Yang ada adalah makna "sistem penyuluhan" sebagai gumpalan dari istilah sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Dan berbasis pada hal yang demikian, tentu nya tidak ada lagi sebutan penyuluh pertanian atau penyuluh perikanan atau pun penyuluh kehutanan. Artinya, bila kita bicara sistem penyuluhan, maka didalam nya sudah termasuk pertanian, perikanan dan kehutanan.
Sejak menggelindingnya reformasi yang salah satu semangat nya merubah pola sentralistik dan desentralistik, maka posisioning penyuluhan dan penyuluh nya tampak terombang-ambing. Keajegan penyuluh menjadi tidak kokoh lagi. Kewenangan sektor Pemerintah Pusat yang diberikan ke Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai resiko dari "otonomi daerah", untuk mengelola tenaga penyuluh, tentu saja menimbulkan riak dan gelombang yang heterogen. Penyuluh banyak yang beralih fungsi ke struktural. Penyuluh rupa nya lebih senang menjadi pejabat struktural (walau napas nya kurang sesuai dengan jati diri seorang penyuluh), ketimbang tetap selaku fungsional. Lebih parah nya lagi, ternyata ada beberapa Kepala Daerah yang ngotot dengan status baru nya sebagai"raja-raja kecil" di daerah nya masing-masing. Mereka ada yang "tidak taat" pada seorang Gubernur, karena di benak mereka sudah terpersepsikan bahwa Bupati/Walikota bukanlah bawahan nya Gubernur. Tapi sesuai dengan UU Otonomi Daerah antara Gubernur dan Bupati/Walikota, memiliki posisi "kesetaraan".
Rancang bangun sistem penyuluhan adalah sebuah "rumusan sistemik" tentang penyuluhan yang dikemas secara utuh, terukur, terpola, holistik dan komprehensif sebagai upaya untuk lebih menajamkan dan membumikan kebijakan, strategi dan program penyuluhan agar tidak hanya muncul sebagai wacana, namun akan benar-benar terasakan manfaat nya oleh kaun tani di pedesaan. Sebagai suatu sistem, yang nama nya "rancang bangun", memang harus ditopang oleh beragam sub sistem yang mendukung nya. Secara realistik, rancang bangun sistem penyuluhan, mesti nya mampu kita arahkan ke dalam dua suasana yang saling mendukung. Pertama adalah sampai sejauh mana kita mampu menjadikan sistem penyuluhan sebagai "prime mover" atau "penggerak utama" pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan; dan yang ke dua adalah bagaimana kesungguhan kita untuk menjadikan para penyuluh di pedesaan menjadi "integrator" pembangunan yang mampu mendampingi, mengawal, mengawasi dan mengamankan program-program pembangunan yang bersuliweran di daerah.
Penyuluh sebagai "prime mover" pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan, sebenar nya bukanlah hal yang cukup sulit untuk diwujudkan. Senafas dengan jati diri yang dimiliki nya, seorang penyuluh sudah seharus nya mampu memainkan "standing posision" nya, selaku "agent of change" di tempat diri nya berada. Penyuluh adalah juru penerang yang diharapkan mampu menawarkan sebuah perbaikan kualitas hidup. Dari suasana miskin harus berganti dengan ketidak-miskinan. Dari kondisi "laggard" tentu harus bergeser ke "motivator". Dari keadaan gurem/liliput berubah menjadi ketidak-gureman. Dan tentu saja penyuluh juga berkewajiban untuk mengganti subsistensi petani ke arah petani yang mampu berbisnis secara ajeg dan profesional. Penyuluh juga dituntut untuk selalu mampu berperan sebagai "guru", yang dimintakan untuk dapat menularkan setiap pengetahuan, inovasi, informasi dan teknologi yang ada. Bahkan penyuluh sebagai sosok yang serba bisa dan dianggap mampu menjadi "problem solver" pun sudah waktu nya mendapat perhatian khusus, sekira nya penyuluh ingin memainkan peran sentral nya selaku "prime mover".
Sebagai "integrator" pembangunan di pedesaan, seorang penyuluh dimintakan untuk tampil selaku pemadu program-program pembangunan yang dipompakan ke pedesaan. Dari catatan yang dilakukan, sekurang-kurang nya ada 15 program Pemerintah yang masuk ke pedesaan. Kesan bahwa program tersebut "berkeliaran" tanpa ada nya pemadu yang utuh dan terintegrasikan dengan baik, memang sudah sering kita dengar. Dalam beberapa tahun belakangan ini, khusus nya setelah bergulir nya bantuan-bantuan Pemerintah masuk desa, baik itu yang sifat nya "bantuan langsung tunai" (BLT), mau pun "bantuan langsung masyarakat (BLM), jelas terlihat adanya suatu kebutuhan untuk sesegera mungkin dibentuk sebuah "manajemen bantuan" yang mampu mensinergikan dan mengintegrasikan nya, agar seluruh bantuan yang digulirkan nya itu, benar-benar tepat sasaran dan tepat substansi. Kita tidak ingin jika bantuan itu hanya sekedar numpang lewat atau ibarat menggarami lautan semata. Justru yang kita dambakan adalah bagaimana cara nya agar bantuan yang diberikan itu tetap berbasis pada pola pembelajaran untuk melahirkan warga bangsa yang mandiri dan berkarakter.
Rancang bangun sistem penyuluhan, kelihatan nya harus mampu memberi jawaban sekaligus solusi atas masalah-masalah yang kini tengah dihadapi. Rancang bangun sistem penyuluhan, bukan hanya sebuah paradigma namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana secara nyata mampu teraplikasikan di lapangan. Rancang bangun sistem penyuluhan, benar-benar perlu disiapkan seapik mungkin. Disinilah kita dapat mengukur nya, apakah program-program yang diluncurkan Pemerintah ini berbasis pada proses pembelajaran, pemberdayaan dan pemartabatan masyarakat atau kah hanya sekedar program eporia, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari cita-cita reformasi ?
Bagi kita pertanyaan ini betul-betul sangat serius untuk dijawab. Kita ingin agar revitalisasi penyuluhan yang dilakukan, benar-benar mampu memberi makna dan bukan hanya sekedar sloganistik. Salah satu jalan keluar nya adalah mari kita rumuskan sebuah "rancang bangun" sistem penyuluhan dengan mempertimbangkan berbagai hal sebagaimana yang telah dikemukakan diatas tadi. Ke arah sanalah sepatut nya kita menuju.
Permasalahan terbaru kembali muncul Kok ada lagi yang namanya Penyuluh Perikanan, Penyuluh Pertanian, dan Penyulluh Kehutan????????? lalu dimana kedudukan UU sistem Penyuluhan yang tempatnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan peraturan maupun keputusan........???
Permasalahan terbaru kembali muncul Kok ada lagi yang namanya Penyuluh Perikanan, Penyuluh Pertanian, dan Penyulluh Kehutan????????? lalu dimana kedudukan UU sistem Penyuluhan yang tempatnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan peraturan maupun keputusan........???
Salam.........
Sumber informasi