Pengalaman Mereka Yang Pernah jadi ‘Pemimpin’
 YOGYAKARTA  – Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Rektor Paramadina sekaligus  alumnus UGM, Dr. Anies Baswedan, dan Dirut PT Kereta Api Indonesia  Ignatius Jonan, berbagi pengalaman mereka saat menjadi pemimpin di  hadapan ratusan mahasiswa UGM Rabu sore (17/9).
Dalam seminar yang bertajuk ‘Menggagas Kepemimpinan Indonesia Masa  Depan’ di auditorium MM UGM, Ignasius Jonan menceritakan pengalamannya  dalam membenahi manajemen BUMN Kereta Api. Menurut alumnus Akuntansi  Universitas Airlangga ini, tantangan terbesar dalam mengelola  transportasi kereta api saat ia menjabat empat tahun lalu adalah  mengubah budaya kerja yang sebelumnya product oriented menjadi customer  oriented. “Sekarang penumpang berdiri sudah tidak ada. Semua ini saya  lakukan untuk memenuhi aspirasi pelanggan. Dulu kalo pakai ‘seragam’  nggak bayar. Sekarang siapapun bayar,” katanya.
Dari kebijakan yang diambilnya tersebut, kata Ignasius, jumlah  penumpang dan komoditi barang yang dibawa oleh transportasi kereta api  meningkat dari tahun ke tahun. “Kini, satu hari kereta api melaksanakan  1.600 perjalanan. Delapan bulan, Maret hingga Agustus ini, KAI telah  mengangkut lebih 160 juta penumpang dan 18 juta ton barang,” katanya.
Dalam  memimpin, Ignasius selalu berprinsip seorang pemimpin harus  selesai dengan dirinya sendiri. Artinya, pemimpin sudah tidak lagi  memikirkan perkara kesejahteraan pribadinya dan keluarga, “Kalo tidak,  maka ada campur aduk kebutuhan dirinya sendiri dengan pekerjaan,”  ujarnya.
Prinsip tersebut ia terapkan kepada karyawan kereta api dengan  meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa meminta anggaran dari pemerintah  namun dari hasil usaha kegiatan bisnis KAI. “Saya menaikkan  kesejahteraan dengan cara mencari sendiri. Menempatkan keseimbangan  tugas pokok kami di KAI dengan kebutuhan pegawai dengan cara realistis.  Kalo orang penghasilannya kurang, menjaga agar tidak korupsi itu paling  sulit,” tuturnya.
Lain halnya dengan Jusuf Kalla yang memandang seorang pemimpin harus  mampu mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk menggapai tujuan  bersama. Dia menceritakan pengalamannya saat mengambil kebijakan  konversi minyak tanah ke bahan bakar gas. Banyak yang mengagap kebijakan  yang diambilnya sulit terealisasi bahkan sudah mendapat penolakan dari  sebagian masyarakat. Menurut JK, demikian ia akrab disapa, ia tetap  nekad mengambil kebijakan tersebut dengan pertimbangan mengurangi  subsidi minyak tanah yang selalu ‘membengkak’ setiap tahunnya. “Saya  minta dana Rp 15 triliun ke menteri keuangan untuk program ini. Dianggap  dana itu terlampau  besar. Saya kira wajar kalo menteri keuangan pelit.  Kalau nggak pelit tidak akan jadi menteri keuangan,” kata JK sambil  tertawa.
Pengalaman yang sama ia lakukan saat melakukan upaya damai antara RI  dan GAM di Aceh. Saat itu ia meminta anggaran sebesar Rp 2 triliun.  Alasan JK kepada menteri keuangan, “Dana Rp 2 triliun cukup dipakai  selama satu kali saja daripada mengalokasikan anggaran operasi militer  yang mencapai RP 1,5 triliun per tahun,” katanya.
Menurut JK, menjadi pemimpin harus mampu meyakinkan semua orang dan  tetap percaya diri. Lebih dari itu, seorang pemimpin harus mengambil  inisiatif lebih dulu ketimbang orang lain. “Menjadi follower itu tidak  akan sukses, tapi sukses bagi mereka yang  punya inisiatif. Ibarat  pemimpin yang mau blusukan itu identik dengan  Jokowi maka kalo ada  pemimpin yang mau ikutan blusukan dianggap pengekor Jokowi,” tandasnya.
Sementara Anies Baswedan, menceritakan pengalamannya dalam menggagas  Indonesia Mengajar yang terinspirasi dari program Pengerahan Tenaga  Mahasiswa (PTM) yang dipelopori oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri  diawal tahun 1950-an. Menurut Anies, program Indonesia Mengajar lebih  dititikberatkan pada gerakan bukan pada pengembangan program. “Karena  Indonesia ini didirikan dengan spirit movement bukan program,” katanya.
Ide untuk menggulirkan Gerakan Indonesia mengajar menurut Anies  dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia yang masih kekurangan guru  sebanyak 66 % terutama untuk daerah pelosok terpencil. Ditambah jarang  sekali anak muda terbaik bangsa yang mau berkiprah menjadi guru.  “Apalagi menjadi guru SD,” ungkapnya.
Meski hanya menjadi pengajar selama setahun, kata Anies, anak-anak  muda ini diajak untuk memberikan inspirasi dan memotivasi kemajuan bagi  orang lain. “Untuk melakukan sesuatu tidak harus menunggu jadi pemimpin  atau jadi pejabat. Anda yang baru lulus pun punya makna, punya bagian  mendorong kemajuan bangsa,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)