“Diantara mereka ber – tajassud kepadaku di bumi, yang lainnya ber – tajassud di udara. Diantara mereka ber – tajassud di manapun aku berada, yang lainya ber – tajassud di langit. Mereka mengajarku dan akupun mengajarinya. Namun keberadaanku tidak sama. Aku tetap di dalam entitasku. Mereka tidak tetap dalam entitasnya. Mereka menjelmakan diri dalam berbagai bentuk. Seperti air yang masuk di dalam cangkir yang berwarna”. (Ibnu Arabi, Futuhat al-Makiyah, Juz 1 h 735).

Dalam artikel lalu digambarkan kemungkinan orang berguru kepada alam¬alam lain. Sebagaimana dilakukan orang-orang khusus yang berhasil menembus hijab atau menyingkap tabir yang juga diisyaratkan dalam Alquran dan hadis. Ternyata tidak sedikit orang berhasil mengakses dan berkomunikasi dengan penghuni alam spiritual itu. Ternyata tidak sedikit orang berhasil mengakses dan berkomunikasi dengan penghuni alam spiritual itu.

Contohnya, pengalaman batin Ibnu Arabi yang diungkapkan dalam bentuk syair seperti dikutip di atas. Masalahnya. di sini adalah mekanisme apa yang dilalui para Sufi yang berhasil menembus batas alam spiritual tersebut?. Sebelum membahas pertanyaan ini, terlebih dahulu kita perlu memahami apa yang dimaksud alam oleh para Sufi. Secara kebahasaan, alam ber¬asal dari akar kata ‘alima-ya’lamu, berarti mengetahui. Dari akar kata ini terbentuk kata `alam yang arti¬nya tanda, petunjuk, atau bendera; dan `alamah yang bermakna ala¬mat atau sesuatu yang melalui diri¬nya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).
Dalam perspektif tasawuf, alam adalah segala sesuatu selain Allah SWT (ma siwa Allah). Alam adalah tanda yang menunjuk kepada (adnya) Allah. Alam juga memberikan kesadaran dan pengetahuan. Alam meliputi seluruh universalitas (kul¬liyyat) alam dengan segenap ben¬tuknya secara ijmali / undifferenti¬ated.

Alam dalam form atau bentuk ini, pada ilmu filsafat dikenal de¬ngan istilah al-’aql al-awwal / the first intellect. Dari sini, Allah seba¬gai al-Rahman dimanifestasikan* (*Allah memanifestasikan ciptaanNya). Di sisi lain, alam mencakup pula hakikat seluruh partikularitas (juziyyat) secara tafshili l differen¬tiated yang terkandung di dalam al-’aql al-awwal / the first intellect.

Dari sini, nama Allah sebagai al-Rahim dimanifestasikan* (*olehNya). Pen¬dapat ini juga banyak diakomodasi di dalam kitab-kitab tafsir, teruta¬ma dalam menjelaskan perbedaan konteks antara al-Rahman dan al¬Rahim dalam ayat pertama dan ketiga dari Sarah al-Fatihah: Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (al¬Rahman al-Rahim).
Orang yang menggabungkan kedua karakter alam di atas biasa disebut manusia paripurna (insan kamil), karena secara ijmal / undif¬ferentiated menjadi bagian dalam martabat ruh, dan secara tafshil/¬differentiated bagian dalam marta¬bat qalb. Insan kamil menjadi se¬buah alam universal yang merepre¬sentasikan keseluruhan nama-nama Allah.


Ia sudah menjadi manifestasi (madzhar) nama-nama Allah. Pem¬bahasan lebih rinci konsep insan kamil ini akan dilakukan dalam satu artikel tersendiri. Dalam per¬spektif tasawuf, alam tidak ter¬batas hanya dalam dua bentuk, ya¬itu dengan meminjam istilah Muhammad Abduh, ‘alam sya¬hadah dan ‘alam ghaib, tapi alam bisa tak berbatas.

Sebab mencakup pula kehadir¬an Ilahiyah universal (al-hadharat al-kulliyyat / universal divine pres¬ences), yang di antaranya ada yang lebih dekat ke alam syahadah mut¬lak, dan lainnya lebih dekat ke alam gaib mutlak. Alam sering juga digu¬nakan dalam dua konteks, yaitu alam secara keseluruhan (semua kecuali Allah) dan alam dalam konteks tingkatan alam, seperti ‘alam al-mulk, `alam al-mitsal, ‘alam al-malakut, dan alam jabarut.

Masing-masing alam ini mem¬punyai penghuni. Manusia bisa mengakses dan sekaligus menjadi bagian dari alam-alam tersebut bersama dengan makhluk-makh¬luk spiritual lainnya seperti malai¬kat dan jin. Hal itu dapat dilaku¬kan tentu saja jika manusia itu mampu menyingkap tabir rahasia yang selama ini menghijab dirinya.
Manusia di alam fana ini berada di alam malakut dan dalam keada¬an tertentu ia bisa mengalami transformasi spiritual ke alam¬alam lain. Tentu, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atau diberikan kepadanya oleh Allah. Tingkatan-tingkatan alam lebih banyak digunakan dalam konteks kedua, yakni tingkatan alam spi¬ritual.
Di setiap tingkatan alam, al¬Haq (Allah) selalu mengindikasi¬kan kehadiran* (*kekuasaan) Nya, sehingga tidak ada suatu ruang, waktu, dan di¬mensi yang bebas dari cakupan* (*kekuasaan) al¬Haq. Meskipun dikenal berbagai tingkatan, pada hakikatnya tetap hanya satu kehadiran (al-hadha¬rat), yakni kehadiran Ilahiyyah (al¬hadharat al-Ilahiyyah).

Secara sederhana, tingkatan alam yang akan menjadi objek pembahasan di sini ialah alam mulk, alam mitsal, alam malakut, dan alam jabarut.

Untuk berguru kepada para penghuni alam-alam tersebut, pe¬ngenalan mendalam mengenai alam-alam itu perlu dilakukan. Selain mengenal berbagai alam, manusia sepatutnya nya mengenal dirinya sendiri dulu secara mendalam. Setelah mengenal alam-alam spiritual dan rahasia besar yang ada di dalam diri manusia, langkah berikutnya berupa mendekatkan diri kepada Allah.


Diperlukan mursyid* untuk membimbing kita dan seorang yang mulai memasuki pencarian spiritual menempuh jalan khusus, itulah yang disebut murid atau salik. (*Mursyid adalah guru spiritual yang mewakili Nabi Muhammad SAW, yang beliau itulah (Nabi SAW) yang mampu mengarahkan setiap manusia yang melakukan perjalanan spiritual sehingga tetap dalam jalan yang lurus yang diridloi Allah SWT).

Kemudian, para murid itu akan menjalani berbaga ritual (riyadhah) secara konsisteni sampai mereka menembus berbagai lapis alam dan menyingkap beragam hijab rahasia. Murid yang berhasil menembus batas dan menyingkap tabir disebut mukasyafah, yakni prestasi spiritual (*suatu maqom/tingkat awal) yang berhasil dicapai orang-orang yang terpilih oleh Allah.


Sumber : catatan shahlyan Republika, Dialog Jumat, 4 Maret 2011.
 
Top