Sejarah  telah membuktikan bahwa masyarakat petani adalah lembaga yang mantap  dan tangguh sebagai produsen utama segala komoditas pertanian di negeri  ini.   Ketika pemerintahan terpuruk, jatuh dan bangun;  industri dan perdagangan terancam bangkrut dan hancur; tetapi masyarakat  tani tetap exist dan terus berproduksi.  
Masyarakat tani akan terus berproduksi dengan atau tanpa intervensi fihak luar. Ini membuktikan bahwa masyarakat petani sebenarnya memiliki kemandirian, juga tentang apa yang harus dan akan mereka lakukan. Faktor dominan yang mempengaruhi pengambilan keputusan mereka adalah kehidupan keluarganya, sedangkan faktor lain yang tidak secara langsung mempengaruhi kehidupan keluarganya tidak akan mempengaruhi keputusan yang diambil, misalnya kebutuhan pangan nasional, masalah devisa nasional, pasaran global dan lain-lain.
Masyarakat tani akan terus berproduksi dengan atau tanpa intervensi fihak luar. Ini membuktikan bahwa masyarakat petani sebenarnya memiliki kemandirian, juga tentang apa yang harus dan akan mereka lakukan. Faktor dominan yang mempengaruhi pengambilan keputusan mereka adalah kehidupan keluarganya, sedangkan faktor lain yang tidak secara langsung mempengaruhi kehidupan keluarganya tidak akan mempengaruhi keputusan yang diambil, misalnya kebutuhan pangan nasional, masalah devisa nasional, pasaran global dan lain-lain.
Oleh  karena itu, di masa lalu petani banyak menghadapi tekanan dari luar  yang mengancam kelangsungan hidup keluarganya, sehingga mempengaruhi  keputusan yang diambil.   Intervensi dari luar yang  dibarengi dengan pemberian bantuan (jasa dan fasilitas) memang  diperlukan, tetapi bila salah langkah bisa menjadi beban berat bagi yang  membantu, dalam bentuk sikap ketergantungan pada yang membantu, petani  kehilangan sebagian dari kemandiriannya, dan kehilangan rasa  tanggungjawab sosial (tidak mau membayar kredit, dll).  Oleh karena itu perlu dibangun strategi yang tepat agar intervensi itu tidak justru menjadi beban bagi yang membantu.
Masalah  revitalisasi lembaga penyuluhan perlu memperhatikan masalah pokok yang  dihadapi masyarakat pertanian di dalam pengembangan produksi pertanian.  Masalah pokok yang dihadapi dalam peningkatan produksi pertanian pada saat ini setidaknya menyangkut tujuh hal utama, yakni :
 (1) Agro input dan fluktuasi harga produk pertanian, (2)  Agro-ekologi,  (3) Ketersediaan sarana dan prasarana pertanian, (4) SDM dan  kelembagaan petani, (5) Penyuluhan pertanian dan kelembagaannya, (6)  Status petani yang tidak hanya sebagai produsen, tetapi juga sebagai  pelaku agrobisnis, (7) Situasi agrobisnis setempat.   Ketujuhnya menumbuhkan kebutuhan sebagai berikut :
(1)  Kebutuhan pengendalian masalah agro input dan fluktuasi harga produk usahatani, menyangkut : keterbatasan petani menjangkau sarana produksi karena harga yang tinggi dan fluktuatif;  stagnasi  inovasi teknologi (misal dosis pupuk yang tepat dan pengendalian hama  yang efektif); kelangkaan benih berkualitas; dan kelangkaan tenagakerja  pertanian; serta fluktuasi harga yang merugikan petani. Penyuluhan perlu  memberdayakan petani agar dapat mengatasi masalah-masalah tersebut.
 *  Guru Besar dalam Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Institut Pertanian Bogor.
(2) Kebutuhan teknologi untuk mengatasi masalah agro-ekologi,  yang menyangkut : keragaman kesuburan dan agroklimat setempat;  kejenuhan lahan terhadap suatu komoditi tertentu (seperti padi yang  dikelola secara terus menerus tanpa melalui proses pengeringan lahan  dengan tanaman yang tidak memerlukan perendaman tanah seperti palawija);  pengaturan irigasi berkaitan dengan kepentingan sektor lain, dan  kelangkaan teknologi pemulihan kesuburan yang efektif. Perubahan siklus  iklim, pemilihan komoditas untuk diusahakan yang tidak mengganggu  sustainabilitas pertanian di setiap daerah, dll.
(3) Ketersediaan sarana dan prasarana pertanian.  Bagaimana  memberdayakan petani agar dapat mengurangi ketegantungannya pada fihak  lain dalam menyediakan sarana dan prasarana pertanian. 
(4) Kebutuhan mengatasi masalah sumberdaya manusia (SDM) dan kelembaga-annya.   Petani pada saat ini berada pada pihak yang terjepit dan lemah.  Petani  (misalnya di Jawa) telah cukup responsif terhadap inovasi yang  menurutnya berpeluang lebih menjanjikan peningkatkan produktivitas dan  pendapatannya, namun inovasi untuk itu dirasakannya langka.   Ketergantungan  pada dukungan inovasi pada peran aparat dan lembaga penyuluhan sebagai  sumber inovasi cukup besar atau tingkat kemandirian belajar petani  (keaktifannya mencari inovasi sendiri) menjadi lemah.  Sumber inovasi kurang tersedia secara lokal.   Kelembagaan petani  saat  ini masih kurang menempatkan petani sebagai pengambil keputusan dalam  usahataninya, karena dominasi pengaruh intervensi pihak luar petani  terhadap kelompok tani. Petani dihadapkan pada berbagai kelompok binaan  yang dibentuk dari atas dan untuk kepentingan atas, sehingga posisi  petani lemah dalam pengambilan keputusan kelompok.  Akibatnya  kelompok seperti itu menempatkan petani sebagai obyek, serta  menyebabkan kelompok seperti itu tidak mengakar atau melembaga pada  petani. Petani juga lemah dalam posisi tawar-menawar pada kelembagaan  pasar hasil usahatani yang ada, karena kegiatan penyuluhan masih  terkonsentrasi pada aspek produksi..
(5) Kebutuhan mengatasi masalah penyuluhan pertanian.   Penyuluhan  pertanian mengalami degradasi baik dalam peran maupun fungsinya,  dimulai sejak diterapkannya penyuluhan dengan pendekatan monovalen  (sejak tahun 1986) dan puncaknya ketika pembinaan kelembagaan penyuluhan  diserahkan ke Daerah, namun tidak diikuti dengan penyerahan anggarannya  (sejak tahun 1991).   Penyuluh menjadi terkotak-kotak  secara sektoral, pendekatan penyuluhan seperti itu bahkan sampai saat  ini dinilai masih belum sesuai dengan kebutuhan petani.  Keserasian  antar penyuluh dalam satu kesatuan lembaga penyuluhan terganggu,  sehingga kelompok penyuluh dalam BPP menjadi kurang dinamis dan  koordiniasi penyuluhan secara substansial menjadi sangat melemah.  Pembinaan terhadap penyuluh pun (melalui Latihan dan Kunjungan) telah berbeda dengan konsepnya, sehingga lemahnya  pembinaan  itu juga telah melemahkan kesinambungan dalam pengembangan inovasi bagi  petani . Kemampuan penyuluh melemah selain disebabkan oleh faktor  pengkotakan dalam kelembagaan penyuluhan, juga disebabkan oleh kurangnya  fasilitas penyuluh untuk menjangkau petani.  Pada saat ini  petani merasa kurang berperan dalam pengambilan keputusan rencana  definitif kebutuhan kelompok (RDKK dan RDK), sehingga penerapan  program-program pertanian  tidak atau kurang menggambarkan  aspirasi petani dan lebih diwarnai oleh kepentingan-kepentingan pihak  tertentu di luar petani. Pada awal masa otonomi daerah kelembagaan  penyuluhan pertanian mengalami perubahan struktur yang beraneka ragam  diberbagai daerah, namun mutu kinerjanya belum kelihatan.
(6) Kebutuhan Petani sebagai Produsen dan  Pelaku Agrobisnis.
Petani khususnya di daerah komoditi padi dan palawija  sudah  semakin kritis dalam merasakan dan menilai bahwa dirinya menjadi obyek  dari proyek-proyek pembangunan pertanian, yang menurut mereka lebih  mementingkan pencapaian target produksi nasional atau daerah, dan target  administratif penggunaan anggaran.   Petani merasa ingin  lebih berperan dalam pembangunan pertanian dan menghimbau agar  pemberdayaan penyuluhan lebih serius sehingga kondusif bagi pengembangan  kemandirian petani (pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani).  Kenyataan  menunjukkan bahwa petani umumnya bukanlah sekedar produsen komoditas  pertanian, tetapi sekaligus juga sebagai pelaku agrobisnis. Statusnya  sebagai pelaku agrobisnis ini dimasa mendatang harus lebih diberdayakan.  Kalau ini dilakukan dengan tepat dan baik, maka ini benar-benar akan  menjadikan petani kita meningkat kemandiriannya dan sekaligus dapat  menjamin ketahanan pangan nasional.
(7) Kebutuhan akan informasi guna mengatasi masalah agrobisnis setempat.  Potensi  masing-masing daerah untuk mengembangkan agrobisnis sangatlah  berbeda-beda. Oleh karena itu untuk mengembangkan penyuluhan yang  menunjang berkembangnya agrobisnis, perlu mengkaji dengan teliti lebih  dahulu potensi masing-masing daerah. Sehingga keragaman materi  penyuluhan harus dimungkinkan. 
Menuju Penyuluhan Pertanian Masa Depan
Visi dan misi penyuluhan pertanian perlu direformulasi dengan lebih jelas, yang menempatkan Petani dan Usahatani sebagai sentral; pendekatan yang lebih humanistik yaitu melihat petani sebagai manusia yang berpotensi, yang dihargai untuk dikembangkan kemampuannya menuju kemandiriannya.  Dinilai perlu reorientasi visi dan misi dalam kelembagaan penyuluhan untuk kembali ke kitah penyuluhan itu sendiri, yaitu pengembangan pemberdayaan petani, sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan-kepentingan pihak lain dalam mengembangkan usataninya.  Penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, yang antara lain memerlukan reorientasi :
(1)   Dari pendekatan instansi ke pengembangan kualitas kinerja individu penyuluh; 
(2)  Dari pendekatan top down ke bottom up; 
(3)  Dari hierarkhi kerja vertikal ke horizontal; 
(4)  Dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis; 
(5)  Dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan.   
          Peningkatan wawasan/ keahlian penyuluh perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga kondusif bagi pengembangan potensi diri secara self development, yaitu menumbuhkan sikap kemandirian penyuluh dalam mengembangkan dirinya sebagai penyuluh yang semakin profesional.  
Hal itu menuntut keberpihakan pembangunan pertanian kepada petani perlu menjadi komitmen semua pihak, terutama dalam penyelenggaraan penyuluhan.   Penyuluhan pertanian tidak hanya sebatas transfer of technology tetapi sudah saatnya beralih pada farmer participation dan porsi terbesar setiap kebijaksanaan pertanian adalah membangun kemampuan petani (peningkatan kemampuan leadership, kualitas hidup dan pemberdayaan petani).
Otonomi Daerah  membawa dampak desentralisasi  dalam banyak hal, termasuk dalam penyuluhan pertanian. Adanya  potensi-potensi di daerah yang bisa menjalankan fungsi penyuluhan  pertanian harus diperhitungkan dan dimanfaatkan, seperti perguruan  tinggi, LSM, organisasi bisnis, industri, media massa dan lain-lain.  Mereka perlu diberi peran dan tanggung jawab dalam membangun pertanian  di daerahnya masing-masing termasuk dalam penyelenggaraan penyuluhan  pertanian.
Dengan  memperhitungkan Otonomi Daerah dalam mengembangkan sistem penyuluhan  pertanian, “Badan Ketahanan Pangan” dan jajarannya nantinya hanya  merupakan Forum Koordinasi dan bukan badan pelaksana, sedangkan  pelaksananya adalah Dinas-Dinas dan Instansi-Instansi di Tingkat Daerah  yang terkait. Yang ada sekarang memberi kesan mengadakan duplikasi  fungsi yang tidak perlu, yang justru melemahkan potensi kerja yang ada.  Pola pikir pembangunan pertanian sejak sekarang harus sudah disesuaikan  dengan adanya otonomi daerah ini.  Dalam hal ini kepentingan daerah harus lebih dikedepankan, agar pendanaan dari Pemda dapat diharapkan.  Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya struktur organisasi dan sistem penyuluhan pertanian yang pola dasarnya sama secara nasional, tetapi dibuka peluang untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan daerah.  Hal  ini sangat penting terutama kalau masalah anggaran dan ketenagaan  penyuluhan pertanian merupakan bagian dari otonomi daerah. Dengan  demikian struktur dan pola penyuluhan pertanian tidak perlu seragam,  melainkan lebih disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kemampuan  daerah.   
Sejalan  dengan otonomi daerah, secara kelembagaan perlu pengelompokan yang  jelas antara BIPP dan BPP di satu fihak dan dinas-dinas subsektor  pertanian di lain fihak.  Job diskripsi dan kewenangan masing-masing juga harus jelas, tetapi hubungan koordinatif antara keduanya perlu dirumuskan secara jelas pula.  Untuk  mengurangi tarik-tarikan kepentingan antar berbagai subsektor, dimasa  depan perlu dipertimbangkan hanya satu dinas pertanian dengan  sub-sub-dinas tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan di  dalamnya. Masalah-masalah administratif dilebur menjadi satu  (kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dsb).  Masing-masing  Sub-Dinas lebih bertanggung jawab pada masalah pengaturan teknis  pembangunan pertanian, termasuk perencanaan peningkatan produksi,  proteksi, sarana produksi dan lain-lain, serta pengawasan teknis  (keselamatan masyarakat), tetapi tidak mempunyai fungsi penyuluhan dan  jalur instruksi kepada petani.
Garis koordinasi antara Dinas Pertanian dan BIPP-BPP harus jelas, dan tumpang tindih tugas harus dihindarkan.  Dinas  Pertanian bisa mempunyai program peningkatan produksi yang perlu  didukung oleh BIPP dan BPP dengan program penyuluhannya, tetapi  disamping itu BIPP dan BPP bisa mempunyai program penyuluhan yang lain,  yang tidak terkait dengan program produksi (Pemerintah) tadi, melainkan  melayani kebutuhan masyarakat tani yang sering kali secara lokal dan  individual cukup potensial dan penting.   Hal ini juga  untuk maksud agar motivasi produksi para petani secara konsisten dapat  ditingkatkan melalui program pemberdayaan petani. Upaya pemberdayaan  petani memang bukan monopoli penyuluhan, fungsi dan instansi lainpun  bisa bahkan harus bekerjasama memberdayakan petani. BIPP dan BPP  bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penyuluhan, penyediaan  informasi, penyebaran teknologi baru dan unggul yang kompetitif,  sedangkan Dinas Pertanian (dengan sub-sub sektor pertanian di dalamnya)  bertanggung jawab dalam membuat  kebijaksanaan harga yang adil, penyediaan prasarana dan sarana produksi, pemasaran dan lain-lain).
Fungsi penyuluhan pertanian yang diemban Deptan di masa depan juga akan berubah karena otonomi daerah itu.  Mulai  sekarang harus sudah dipolakan, sehingga menjadi jelas apa saja yang  harus disiapkan dan dikembangkan di dan oleh masing-masing daerah.  Sebaliknya  juga akan jelas apa yang harus dilakukan dan dipertahankan oleh Pusat  (Deptan). Fungsi Pusat Penyuluhan Pertanian di Departemen Pertanian di  masa depan perlu dirumuskan kembali, mengingat bahwa di era otonomi  daerah dan penyuluhan pertanian di daerah menjadi tanggung jawab daerah,  hubungan Pusat Penyuluhan Pertanian dan BIPP dan BPP tidak lagi seperti  sekarang. Kekuatan penyuluhan pertanian harus berada di daerah,  sedangkan di pusat hanya bersifat mendukung. 
Trifungsi Departemen Pertanian.
Fungsionalisasi dan profesionalisasi penyuluhan pertanian perlu ditempuh, antara lain dengan cara memisahkan secara jelas trifungsi Departemen Pertanian : 
(1)  fungsi pelayanan : penyediaan sarana dan prasarana, jasa profesional (non-penyuluhan) dan lain-lain; 
(2)  fungsi pengaturan dan pengawasan : perencanaan produksi nasional, keselamatan masyarakat, pemalsuan, ekspor –impor dan lain-lain;  
(3)    fungsi penyuluhan: pendidikan nonformal, informasi, motivasi, perberdayaan
SDM Pertanian, dan lain-lain.
Dengan memisahkan ketiga fungsi itu secara tegas, kemudian dirumuskan secara jelas batasan tugas masing-masing, lalu direncanakan pendidikan profesi yang profesional akan lebih menjamin senantiasa terbinanya tenaga penyuluh untuk menjaga keprofesionalannya.   Perlu  ditentukan lembaga pendidikan yang diberi wewenang oleh pemerintah dan  masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan profesional itu.  Dalam hal ini perlu dirumuskan secara jelas kriteria keprofesionalannya dan dibuat jenjang status penyuluh berdasarkan kinerjanya.  Tenaga  penyuluh yang profesional harus melalui pendidikan khusus dari lembaga  pendidikan yang berwenang; tidak bisa setiap orang dapat dinyatakan  dirinya sebagai penyuluh tanpa legitimasi atau sertifikasi dari lembaga  yang kredibel.
Keterkaitan yang erat dengan lembaga penelitian.
Penyuluh  pertanian yang progresif dan efektif harus didukung dan bekerjasama  secara erat dengan Lembaga Penelitian Pertanian (termasuk penelitian  sosial-ekonomi-penyuluhan pertanian) yang sekaligus melakukan monitoring  dan evaluasi penyuluhan pertanian secara terus menerus.  Penyuluhan  pertanian tidak hanya menyangkut proses produksi, tetapi yang  diperlukan oleh pertanian modern adalah penyuluhan yang mencakup  semua aspek agribisnis (produksi, pasca panen, pengolahan, pemasaran, harga dan lain-lain).   Keberadaan  Lembaga Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang telah nyata  eksistensinya pada saat ini perlu dipelajari kaitan fungsionalnya dengan  sistem penyuluhan pertanian yang akan ditata. Perlu disadari bahwa  pembangunan pertanian yang berkelanjutan sangat memerlukan dukungan  hasil-hasil penelitian teknologi dan sosial-ekonomi pertanian yang kuat.  Tanpa itu pembangunan pertanian akan mengalami stagnasi.
Pengembangan pertanian daerah mengarah pada basis pengembangan sistem agribisnis dan berwawasan keserasian lingkungan.  Untuk  menghindari terjadinya stagnasi inovasi di tingkat petani, perlu  dikembangkan keterkaitan erat dan dinamis antar lembaga pendukung sistem  agrisbisnis, terutama di tingkat BIPP dan BPP.   Kelembagaan yang dimaksud adalah lembaga penyuluhan (pendidikan dan pengembangan, LSM),  lembaga pengembangan IPTEK (Lembaga penelitian dan perguruan tinggi), lembaga pelayanan,  lembaga  pengaturan/ pengawasan (dinas subsektoral dan instansi terkait),  lembaga bisnis (swasta dan koperasi), lembaga keuangan (perbankan) dan  lembaga usahatani.   Keterkaitan antar lembaga tersebut bertumpu dan komitmen terhadap kepentingan petani dan pengembangan usahatani.   Asumsinya,  berkembangnya usahatani secara optimal dan berkesinambungan, akan lebih  dapat menjamin berkembangnya sistem agribisnis dan terwujudnya  ketahanan pangan di tingkat rumahtangga serta hal ini akan lebih  menjamin terwujudnya ketahanan pangan nasional.
Kesimpulan
Perlu  dibangun strategi yang tepat agar intervensi dalam pembangunan  pertanian tidak justru menjadi beban bagi yang membantu, maka intervensi  perlu bersifat menumbuhkan kemandirian petani.  Oleh  karena itu penyelenggaraan penyuluhan perlu kembali ke khitah filosofi  penyuluhan yaitu “menolong orang-orang agar dapat menolong dirinya  sendiri (termasuk keluarga dan masyarakatnya)  melalui suatu upaya pendidikan” yang demokratis dan berwawasan pengembangan kemandirian petani (humanistik).  Tujuan penyuluhan perlu dirumuskan dari sudut pandang petani agar dapat lebih menumbuhkan motivasi petani.
Meskipun  antara Penyuluhan Pertanian dan Program Peningkatan Produksi Pangan ada  kaitan yang erat, namun seyogyanya keduanya tidak semestinya  dicampur-aduk.  Ada atau tidaknya Program/ Proyek  Peningkatan Produksi, penyuluhan pertanian harus tetap berjalan terus  secara melembaga, sistematis dan berkelanjutan di tengah-tengah  masyarakat.   
Pembenahan sistem penyuluhan pertanian perlu secepatnya dituntaskan.  Penerapan SKB 1996 perlu dievaluasi per propinsi/ kabupaten : apa mereka sudah siap ? Dikaitkan dengan otonomi daerah.  Apakah perlu seragam ?  Kedudukan  BIPP di tingkat kabupaten perlu lebih lebih bersifat administratif dan  fasilitatif, dan BPP yang berkedudukan di tingkat kecamatan lebih  bersifat teknis dan programatis.
************** 
Lampiran
Implikasi Kebijaksanaan Penyuluhan Pertanian di Indonesia
Periode sebelum tahun 1986
Penyuluh  Pertanian Lapang terkoordinir oleh seorang kepala BPP dengan pendekatan  Latihan dan Kunjungan (Laku) sebagai penggerak inovasi.   PPL  yang jumlahnya relatif memadai dan berada pada rata-rata usia yang  masih memungkinkan energik, telah menjadi pendorong terwujudnya  swasembada beras.   Pola penyuluh menangani multi komoditi  (polivalen) nampaknya pada masa itu dinilai masih sesuai dengan kondisi  dan kebutuhan masyarakat pada saat itu, yang memang belum terbiasa  dengan spesifikasi dalam profesi.
Dibanding  dengan periode tahun sesudah 1986, periode ini dapat dinilai merupakan  periode yang paling efektif bagi kegiatan penyuluhan dengan pola  pendekatan pembangunan pertanian yang sentralistis (top down), yang dalam realisasinya lebih mengutamakan kepentingan pencapaian tujuan Pusat, yaitu tercapainya swasembada pangan nasional.    Periode ini ditandai dengan publikasi tercapainya swasembada beras pada tahun 1984.   Namun swasembada beras nasional tersebut tidak bertahan lama.   Hal  ini dapat menjadi salah satu indikator nyata sebagai kelemahan  pendekatan yang sentralistis, yang tidak mengutamakan pendekatan petani  dengan pengelolaan usahataninya sebagai sentral dalam pembangunan  pertanian.   Petani hanya ditempatkan sebagai sarana untuk mencapai swasempada pangan nasional.   Terbukti  ketika swasembada tersebut telah tercapai, ketahanan pangan rumahtangga  petani dan masyarakat pedesaan masih dibayangi ancaman rawan pangan,  karena tidak terkendalinya baik harga sarana input dan harga produk  pertanian, serta melemahnya keswadayaan petani.
Pengorganisasian  penyuluhan pertanian pada masa ini, dibanding dengan masa sesudahnya  dapat dinilai telah menempatkan penyuluhan menjadi kondusif sebagai  faktor pelancar pembangunan pertanian.   Telah terjadi  perubahan yang nyata pada perilaku petani, dari tidak menerapkan  teknologi maju pertanian seperti pupuk dan obat-obatan menjadi terbiasa  menerapkan, bahkan sampai pada tingkat bila tidak menerapkan teknologi  tersebut ada rasa bersalah dalam dirinya. Namun, pendekatan penyuluhan  pada masa itu masih kurang kondusif bagi terwujudnya kemandirian petani,  karena inovasi yang diterapkan oleh petani cenderung dianjurkan oleh  penyuluh, sehingga menghasilkan petani yang  tergantung pada aparat dalam pengelolaan usahataninya.    Dalam  kondisi seperti ini, kinerja penyuluh dan komponen-komponen penyuluhan  lainnya (terutama kesinambungan inovasi) menjadi sangat menentukan  kinerja pertanian.
Periode Tahun 1986-1991
Pada masa ini, pengorganisasian penyuluhan dirubah, peran penyuluh tidak  polivalen lagi.   Penyuluh  yang semula berada di Dinas Pertanian Pangan, dibagi lagi tugasnya dan  sesuai dengan bidang tugas monovalen penyuluh selanjutnya menjadi bagian  dari dinas-dinas subsektoral, yakni Dinas Pertanian, Dinas Peternakan,  Dinas Perikanan dan Dinas Perkebunan.
Selanjutnya  jumlah penyuluh yang menangani bidang pertanian makin berkurang, tetapi  dihadapkan pada luas wilayah yang makin luas.  Penyuluh  yang semula mempunyai wilayah kerja penyuluhan pertanian (WKPP) sekitar  satu sampai dua desa, bertambah menjadi tiga sampai empat desa per PPL.   Sedangkan  penyuluh yang bekerja pada dinas subsektoral, mempunyai wilayah kerja  yang sangat luas, yang semula satu-dua desa, pada masa ini menjadi satu  kecamatan.
Pada saat itulah terjadi hal-hal yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan penyuluhan yang efektif.   Beberapa kelemahan yang muncul kemudian :
1.     Kelompok  binaan penyuluh menjadi semakin terbatas, yang semula sekitar 16 wilkel  karena jangkauan geografis dan sosiologisnya makin luas menjadi menurun  sekitar tinggal 5 - 8 kelompok saja yang dapat "dibina" secara relatif  intensif oleh PPL.
2.    Kesinambungan  inovasi melalui Laku juga menjadi kurang intensif, karena keragaman  komoditi tersebut sebenarnya membutuhkan intensitas dan keragam materi  penyuluhan (inovasi) yang makin tinggi pula.
3.    Petani  belum siap menghadapi spesifikasi dalam keprofesian penyuluh seperti  itu, yang dipahami petani selama ini adalah PPL itu melayani penyuluhan  secara polivalen.
4.    Kegiatan penyuluh lebih banyak terbebani kegiatan-kegiatan proyek yang bersifat fisik dan target penyelesaian suatu proyek.   Yang  kenyataannya hal ini sulit untuk disejalankan dengan konsep-konsep  penyuluhan yang benar-benar menerapkan falsafah dasar penyuluhan.
Periode Tahun 1991-1996
 Era  ini ditandai dengan penyerahan urusan penyuluhan pertanian melalui SKB  Mendagri dan Mentan Nomor 539/Kpts/LP.120/7/1991 dan nomor 65 Tahun 1991  tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian di Daerah.
Banyak  pengamat dan penyuluh pertanian berpendapat, dimasa ini terjadi  stagnasi atau kemunduran penyelenggaraan penyuluhan pertannian, bahkan  sebagian mengatakan sebagai kehancuran penyuluhan pertanian (ekstensia,  volume 3 1996).   Masa ini ditandai dengan dinamika penyuluhan pertanian menurun drastis, lesu darah dan kurang gairah.   Para  penyuluh mengeluh, kehilangan kemapanan yang sebelumnya dimiliki dengan  penuh kebanggaan atas prestasi dan keberhasilan mencapai swasembada  beras.  Mereka merasa tercampak karena terpecah-pecah dan terkotak-kotak secara subsektoral.  Berubahnya  fungsi BPP, berubahnya sistem kerja para penyuluh dirasakan oleh  penyuluh telah merenggut eksistensi diri, status dan pijakan sosial para  penyuluh di masyarakat.
Adanya  perbedaan kemampuan dan pemilikan sumberdaya pada masing-masing dinas  yang bersifat otonom, telah menyebabkan terjadinya bias yang melemahkan  kesatuan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah.  Administrasi  kepegawaian dikelola secara terpisah oleh masing-masing subsektor, yang  menyebabkan perbedaan perlakuan sesama penyuluh dalam karirnya.  Penerapan desentralisasi ini masih belum diikuti dengan adanya klarifikasi rincian jenis pembinaan teknis yang jelas.  Pada hal dalam pelaksanaan desentralisasi ini tugas Deptan sebenarnya adalah memantau dan membina secara teknis kepada Daerah.  Berbagai  penelitian (Karsa, 1994; Hasta, 1994 dalam Ekstensia, 1996) menunjukkan  bahwa telah terjadi perbedaan antara konsep LAKU dengan penerapannya di  lapang karena faktor ketersediaan dana; terjadi penurunan kinerja  penyuluh pertanian baik secara kualitas maupun kuantitas; terjadi  kerancuan operasional kerja penyuluhan pertanian sehingga ketidak  serasian hubungan penyuluh antar sub-sektor, yang menyebabkan degradasi  penyuluhan pertanian menjadi seolah lumpuh, tidak efektif dan tidak  fleksibel.
Periode Setelah Tahun 1996
Diterbitkannya  SKB Mendagri dan Mentan nomor 54 tahun 1996 dan nomor 301/Kpts/LP.120  /4/1996 tentang Pedoman Penyelenggaraan penyuluhan Pertanian dirasakan  oleh para penyuluh sebagai angin segar, yang memberikan harapan bagi  penyuluh untuk kembagi berjaya, leluasa berkiprah dalam penyuluhan yang  teritegrasi antar subsektor.  Keberadaan BIPP menumbuhkan harapan penyuluh untuk menempatkan penyuluh pada jati dirinya kembali.  Namun,  sampai kini penerapan SKB tersebut masih banyak menghadapi kendala,  terutama masih tersisanya kepentingan-kepentingan subsektoral sejalan  dengan belum jelasnya pedoman hubungan kerja antar lembaga pendukung  pembangunan pertanian di tingkat daerah.
Seperti  dikatakan Husein (ekstensia, 1996) pada saat ini, meskipun telah  memasuki era desentralisasi, namun “budaya menunggu petunjuk dari atas”  masih kuat melekat pada aparatur pemerintah.  Masih banyak  aparat yang belum memahami makna desentralisasi sebagai suatu kondisi  yang memerlukan sikap pro-aktif, yaitu kurang memahami bahwa asas  desentralisasi pada dasarnya memberikan kewenangan untuk mengambil  tindakan, berfikir dan berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan  hakekat hukum yang diterima oleh masyarakat.
Kendala lainnya adalah terjadinya tarik-tarikan kedudukan penyuluh antara dinas subsektoral pertanian dengan BIPP.  Dinas  subsektoral yang telah merasakan manfaat keberadaan penyuluh dalam  mendukung secara langsung dan penuh atas proyek-proyek, serta telah  dijadikan andalan di lapang ternyata merasakan sangat kehilangan dan  masih ingin mempertahankan keberadaan penyuluh dalam lingkungan dinas  tersebut.   Pengenalan masalah dan evaluasi kegiatan  dinas-dinas di lapangan menjadi sangat melemah karena kelangkaan tenaga  yang mampu menggantikan peran tenaga penyuluh di dinas tersebut.  Keberadaan  BIPP sebagai tali pengikat dan wadah para penyuluh masih terkendala  oleh status kepegawaian yang mendua, terutama dalam penggajian dan  status kepegawaiannya yang masih berada di instansi dinas subsekror  tersebut.
Keberadaan  seksi penyuluhan di masing-masing dinas subsektoral paling merasakan  dampaknya, apakah keberadaan seksi ini masih perlu dipertahankan ataukah  dihapuskan saja ?, menjadi pertanyaan yang belum terjawab di lapang.   Kalau  pada periode sebelumnya terjadi ketidak serasian antar penyuluh itu  penyuluh karena terkotak-kotak secara subsektoral, kini yang terjadi  belum terciptanya keserasian antara kegiatan dinas dengan kegiatan  penyuluhan dibawah koordinasi BIPP.
Sebenarnya hal diatas terjadi karena belum jelasnya mekanisme kerja antara penyuluh dengan dinas.  Hal  ini menyangkut masalah kelembagaan penyuluhan di daerah, yang  memerlukan kejelasan norma hubungan kerja dan ketegasan tentang rentang  kendali koordinasi yang sinergis antara BIPP, Sekdal Bimas Tingkat II  dan Dinas-dinas Subsektoral di Daerah Tingkat II.
Margono Slamet*     
