Isu krisis ketahanan pangan yang semakin santer di tahun 2011 ini harus segera mendapat, bila tidak maka terpuruklah bangsa kita ini. Di beberapa Negara sudah mulai membatasi ekspor bahan pangan sebagai cadangan di masing-masing negara. Kondisi ini harus diantisipasi dengan mengurangi ketergantungan kita terhadap bahan pangan import. Total impor bahan pangan sekitar US$ 5 M/tahun atau setara dengan 5% dari APBN (Kompas, Agustus 2009),
dimana impor daging sapi sekitar 80.000/tahun atau sekitar 30% dari kebutuhan domestic, senilai US$ 480 juta (2009). Oleh karenanya kampanye makan ikan terus digalakkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan harapan dapat mengurangi posisi konsumsi daging impor oleh bangsa Indonesia dan merubahnya menjadi mengkonsumsi ikan.


Apabila dicermati lebih jauh maka konsumsi ikan memberikan banyak manfaat dibandingkan dengan daging sapi, terutama Indonesia sebagai net fish exporter dengan impor ikan pada tahun 2009 hanya sebesar 143.640 ton atau hanya 2,5% dari kebutuhan ikan domestic dan sebagai bahan baku pengolahan untuk diekspor. Salah satu keuntungan yang menonjol adalah harga ikan yang lebih murah dengan kisaran harga yang sangat tinggi yang dapat memenuhi selera semua segmen konsumen. Bahkan data AP5I (Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia) menunjukkan bahwa harga protein ikan per gram sangat murah dibanding protein sapi, yaitu berkisar antara Rp.110,- hingga Rp. 200,-, dibanding Rp.325,- protein sapi. Selanjutnya, ikan juga merupakan komoditas yang dapat diterima oleh seluruh bangsa, agama serta suku dengan label halal tanpa perlu ritual penyembelihan. Keunggulan ikan daripada sapi secara lengkap dapat dilihat pada table dibawah.

Anomali iklim

Banyak kalangan berpendapat bahwa kelangkaan bahan pangan dipicu oleh adanya anomali iklim atau juga dikenal perubahan iklim. Hal ini bisa dimengerti dengan meningkatnya curah hujan yang berakibat pada kegagalan panen pada produk-produk pertanian. Cuaca yang buruk disertai gelombang di lautan juga menghantam nelayan sehingga banyak dari mereka yang tidak melaut.

Bersyukur anomali iklim tidak terlalu berpengaruh di bidang perikanan budidaya, bahkan banyak dari nelayan yang sekarang beralih ke kegiatan budidaya. Hal ini dapat terlihat dari keberhasilan capaian produksi perikanan budidaya yang sesuai target, bahkan mengalami kenaikan 101.86 % target sebesar dari 5,38 juta ton menjadi 5,48 juta ton pada tahun 2010 yang lalu. Namun demikian kita tidak boleh terlena dengan keberhasilan ini karena sebagian bahan baku pakan ikan masih tergantung pada hasil pertanian, diantaranya adalah jagung, kedelai, dedak, dan juga terigu dimana keberhasilan produksi bahan-bahan diatas sangat dipengaruhi oleh iklim. Apabila bahan tersebut sulit didapatkan maka harga pakan ikan juga akan membumbung tinggi yang berdampak pada biaya produksi ikan. Salah satu strategi yang ditempuh adalah dengan gerakan sejuta hektar minapadi yang dianggap tepat untuk mengantisipasi anomali iklim.

Kontrak Produksi

Sebagai wujud komitmen untuk terus mendorong pembangunan sektor perikanan budidaya guna ketahanan pangan, maka dibuatlah kontrak produksi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Pemerintah Provinsi / Kabupaten / Kota. Nilai yang disepakati tentunya berdasarkan pada potesi serta kemampuan daerah dalam menggenjot usaha perikanan budidaya di wilayahnya. Kontrak produksi selengkapnya dapat dilihat pada table dibawah ini.

  1. Provinsi Perikanan Budidaya
  2. Sumatera 1,232,490
  3. Nanggroe Aceh Darussalam 96,937
  4. Sumatera Utara 129,037
  5. Sumatera Barat 168,370
  6. Riau 100,728
  7. Kepulauan Riau 59,339
  8. Jambi 56,731
  9. Sumatera Selatan 288,630
  10. Kepulauan Bangka Belitung 76,718
  11. Bengkulu 32,320
  12. Lampung 223,680
  13. J a w a 1,773,532
  14. Banten 96,500
  15. DKI Jakarta 19,668
  16. Jawa Barat 749,176
  17. Jawa Tengah 341,452
  18. DI Yogyakarta 82,699
  19. Jawa Timur 484,037
  20. Bali – Nusatenggara 1,311,891
  21. Bali 196,800
  22. Nusa Tenggara Barat 309,730
  23. Nusa Tenggara Timur 805,361
  24. Provinsi Perikanan Budidaya
  25. Kalimantan 324,920
  26. Kalimantan Barat 37,533
  27. Kalimantan Tengah 32,434
  28. Kalimantan Selatan 77,141
  29. Kalimantan Timur 177,812
  30. Sulawesi 1,853,354
  31. Sulawesi Utara 139,090
  32. Gorontalo 133,241
  33. Sulawesi Tengah 374,450
  34. Sulawesi Selatan 797,179
  35. Sulawesi Barat 169,784
  36. Sulawesi Tenggara 239,610
  37. Maluku – Papua 351,315
  38. Maluku 201,690
  39. Maluku Utara 82,661
  40. Papua 33,985
  41. Papua Barat 32,979
  42. Jumlah 6,847,502


Sumber : Ditjen Perikanan Budidaya

 
Top