“Saya tidak anti impor, tetapi biarkan produk lokal berkembang dulu. Biar petani untungnya makin banyak.Lah kalau kurang, monggo,” kata Megawati Soekarno Putri saat tanam perdana kedelai di Kretek, Bantul, DI Yogyakarta.
Pernyataan Megawati itu setidaknya menandaskan betapa pentingnya ada kebijakan yang memihak kepada petani.
Bukannya pemikiran Megawati itu belum diterapkan oleh pemerintah saat ini. Sudah! Kita melihat pemerintah seringkali mengeluarkan regulasi untuk melindungi petani. Misalnya adanya pengaturan pelabuhan yang boleh dijadikan pintu masuk produk hortikultura. Juga adanya regulasi teknis larangan masuk produk hortikultura dengan alasan mengandung organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK).
Hanya saja kita melihat pemerintah saat ini seakan kurang mau banyak bicara apa yang dilakukannya itu adalah untuk membela dan melindungi petani. Pemerintah mengatakan bahwa regulasi itu dibuat karena alasan teknis pemasukan saja atau karena alasan teknis karantina. Seharusnya, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Perekonomian bahkan Wakil Presiden dan Presiden perlu berani bicara bahwa regulasi itu dibuat untuk melindungi dan mensejahterakan petani. Kalau tidak, maka wajar bila ucapan Megawati mengundang simpati para petani.
Selain itu, memang ada persoalan pangan yang tidak bisa diantisipasi pemerintah dengan cepat dan tepat. Di antaranya adalah fenomena impor kedelai, daging sapi, gula dan bawang merah. Dalam konteks komoditi-komoditi ini maka ucapan Megawati patut menjadi renungan dan masukan bagi pemerintah. Data produksi dan konsumsi atas kebutuhan produk-produk pangan itu, sebetulnya, pemerintah sudah ada. Dengan data yang ada itu, pemerintah bisa mengantisipasi dengan melakukan impor diam-diam sebelum terjadi kelangkaan. Jangan sampai media sudah memberitakan kelangkaannya, pemerintah baru bicara impornya.
Perlu ada kebijakan dan strategi politik dari pemerintah kapan harus mengungkap data pangan yang dimilikinya dan kapan dia harus sepakat untuk tidak mengungkap data produksi dan konsumsi pangannya termasuk impornya kepada media dan publik. Strategi mengungkapkan dan tidak mengungkapkan ini setidaknya perlu diambil pada rapat Kementerian Koordinator Perekonomian. Tujuannya, pertama adalah agar harga komoditi itu tidak bergejolak. Kedua agar pendapatan dan kesejahteraan petani tidak terganggu.
Jadi perlu ada manajemen pengelolaan data dan pengeluaran data pangan. Keputusan dan strategi politik sangat diperlukan di sini, karena begitu banyak lembaga dan instansi yang mengurusi pangan nasional. Lembaga dan instansi tersebut, termasuk Perum Bulog, perlu duduk semeja untuk memutuskan bahwa data stok pangannya boleh atau tidak diekspose ke media. Kalau boleh kapan dilakukan eksposenya.
Kebijakan politik data pangan itu tentu tidak dalam rangka mengekang hak publik untuk mendapatkan informasi. Masyarakat tetap diberikan akses data pangan, namun soal waktu saja. Perlu waktu yang tepat untuk mengeluarkan data pangan tersebut. Kalau data dikeluarkan dalam waktu yang salah, malah bisa berakibat fatal pada pengelolaan manajemen dan harga pangan nasional. Inilah yang terjadi saat ini. Kapan petani bisa untung lebih banyak bila pengelolaan data pangan kita masih seperti ini?
 
Top