1. HUKUM INTERNASIONAL

United Nation convention on the law of the sea (UNCLOS)1982
Konferensi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) tentang hokum laut atau lebih dikenal dengan UNCLOS 1982 ditanda tangani di Montego bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982, peristiwa itu merupakan puncak dari kegiatan United Nation Sea-Bed Committee dan konferensi PBB. Beberapa pertemuan yang telah digelar dalam menuntaskan permaslahan bangsa-bangsa diwilayah laut mereka, diantaranya (Anwar, 1989, Starke, 2001).


a. Konferensi kondisifikasi di Den hag 1936.
Konferensi kondisifikasi itu satu-satunya konferensi hokum laut yang diselenggarakan Liga Bangsa-bangsa (LBB) konferensi itu berlangsung dari tanggal 13 Maret sampai 12 April 1930 yang dihadiri oleh 47 negara. Meski tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut territorial dan hak menangkap ikan dari Negara pantai (Costal State) pada zona tambahan, ada beberapa randangan pasal yang di setujui sementara.

b. Konferensi Pertama Hukum Laut di Jenewa, 1958
Konferensi pertama tentang hokum laut di selenggarakan di jenewa pada tanggal 24 Februari sampai 27 April 1958, konferensi yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara itu menghasilkan 4 (Empat) konferensi yaitu :

i. Konferensi mengenai laut territorial dan zona tambahan (Convention on the territorial sea and continuous zone).

ii. Konferensi mengenai perikanan dan konferensi sumberdaya hayati dilaut lepas (Convention on Fishing and conservation of the living resources of the high sea).

Selain itu konferensi juga menghasilkan beberapa revolusi diantaranya :
i. Test Nuklir dilaut lepas
ii. Polusi laut lepas oleh bahan-bahan radioaktif
iii. Konservasi perikanan internasional
iv. Kerjasama dalam upaya-upaya konservasi
v. Pembunuhan oleh manusia terhadap makhluk hidup laut
vi. Situasi khusus tentang penangkapan ikan pantai
vii. Ketentuan tentang perairan sejarah dan
viii. Penyelenggaraan konferensi tentang hokum laut kedua.


c. Konferensi kedua hokum laut di jenewa, 1960
Meskipun sejumlah permasalahan penting dapat terselesaikan pada konferensi PBB pertama, konferensi PBB pertama itu masih menyisakan dua masalah, yaitu lebarlaut territorial dan batas wilayah penangkapan ikan. Oleh kaena itu majelis umum (general assembly) mengeluarkan revolusi pada tanggal 10 desember 1958 yang meminta sekretaris jenderal PBB untuk menyelenggarakan konferensi PBB kedua mengenai hokum laut untuk membicarakan lebih lanjut dua masalah yang belum terselesaikan tadi.

Konferensi pbb yang kedua diselenggarakan di Jenewa berlangsaung dari tanggal 17 maret 1960. hadirnya 80 negara pada konferensi pbb kedua itu ternyata tidak menghasilkan kesepakatan seperti yang diharapkan. Meski demikian konferensi menyetujui suatu resolusi yang menegaskan perlunya bantuan tekhnik bagi penangkapan ikan.

d. Konferensi ketiga hokum laut di Montenego bay, Jamaica1982.
Seperti telah diungkapkan tadi, konvensi hokum laut 1982 adalah puncak karya PBB dalam penyelenggaraan konferensi hokum laut. Betapa tidak? Konferensi hokum laut 1982 itu ditandatangani oleh 119 negara. Banyaknya jumlah peserta dan besarnya kepentingan masing-masing Negara yang mengikuti konferensi didasari beberapa hal, diantaranya modernisasi disegala bidang kehidupan, tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat,
bertambah pesatnya perdagangan dunia, semakin canggihnya komunikasi internasional, dan pertambahan penduduk dunia yang berdampak pada tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap serta kekayaan dari lautan (Anwar, 1989).
Sementara itu, selain mencerminkan hasil usaha masyarakat internasional untuk mengondisifikasikan ketentuan internasional yang telah ada, sebagai suatu perangkat hokum yang baru, konferensi hokum laut 1982 itu pun menggambarkan suatu perkembangan yang progresif dalam hokum internasional (Agoes, 1991). Konvensi hokum laut 1982 yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1982 tersebut terdiri dari 17 bab, 320 pasal, 9 lampiran serta beberapa resolusi pendukung yang didalamnya tertuang peraturan tentang delapan rezim hokum laut yang masing-masing mempunyai status hokum berbeda-beda antara lain:

i. Perairan pedalaman, yaitu laut yang terletak disisi barat dari garis pangkal laut territorial yang terletak pada sisi darat pada sisi penutup teluk diperairan kepulauan pada perairan dipedalaman diakui adanya hak lintas damai.

ii. Perairan kepulauan, yaitu perairan yang terletak disisi darat dari garis pangkal lurus kepulauan dari suatu Negara kepulauan.

iii. Lautteritorial, yaitu laut terletak pada sisi luar garis pangkal dengan lebar maksimum 12 mil.

iv. Zona tambahan, yaitu bagian laut lepas yang berbatasan dengan laut territorial dan Negara yang bersangkutan memiliki yuridiksi terbatas untuk beacukai, fiscal, imigrasi, dan saniter yang jaraknya tidak boleh melbihi 24 mil dari garis pangkal.

v. Zona ekonomi ekslusif (ZEE), yaitu bagian laut yang terletak diluar dan berdekatan dengan laut territorial yang jaraknya tidak boleh melebihi 200 mill laut dari garis pangkal laut territorial.

vi. Laut lepas, yaitu bagian laut yang bukan wilayah suatu Negara maupun zona ekonomi eksklusif.

vii. Landas kontinen, yaitu dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan daerah dasar laut dibawah laut territorial sampai batas maksimum 350 mil dari garis pangkal.

viii. Kawasan/ dasar laut samudra dalam internasional, yaitu dasar laut dan tanah dibawahnya terletak diluar yuridiksi nasional.

Pembaharuan yang gemilang dari masyarakat bangsa-bangsa serta merupakan suatu kerangka peraturan yang sangat komperhensif dan meliputi hamper semua kegiatan dilaut hingga dianggap sebagai a constituti on for the ocean (Agoes 2004).

2. HUKUM INTERNASIONAL
Pesatnya perkembangan hokum dan ketentuan internasional dalam pengolahan perikanan di ikuti pula oleh pemerintah Indonesia, dikeluarkannya UU no 31 tahun 2004 pada tangagl 14 september 2004 yang menggantikan UU no 9 tahun 1985, misalnya merupakan salah satu jawaban pemerintah Indonesia dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan peraturan nasional dan internasional.

Meski masih menyisakan permasalahan dan mendapatkan kritikan, UU no 31 tahun 2004 lebih lengkap jika dibandingkan dengan UU no 9 tahun 1985 sehingga dapat dikatakan sebagai terobosan baru. Adapun terobosan baru dalam UU no 31 tahun 2004 diantaranya adalah :
Pertama, Mulai memperhatikan ketentuan internasional dengan dimasukkannya pengolahan perikanan dilaur wilayah pengolahan perikanan Indonesia (laut lepas) yang sebelumnya hanya memuat pengolahan di WPP Indonesia.

Pasal 5 ayat 1 UU no 31 tahun 2004 menyebutkan wilayah pengolahan perikanan Indonesia untuk menangkap ikan/ pembudidayaan ikan meliputi :
a. Perairan Indonesia
b. Zona ekonomi eksklusif Indonesia dan
c. Sungai, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah RI, pasal 2 menyebutkan pengolahan perikanan diluar wilayah pengolahan republic Indonesia, sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), diselenggarakan berdasrkan peraturan perundang-undangan persyaratan dan atau standar internasional yang diterima secara umum.

Dengan demikian, dimuatnya pengaturan mengenai pengolahan diluar laut wilayah pengolahan perikanan Indonesia atau laut lepas mencermintkan Indonesia sudah mengadopsi ketentuan internasional mengenai kewajiban setiap Negara untuk menjaga sumberdaya ikan yang sifatnya bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh selain itu dampai positif dimuatnya ketentuan pengolahan perikanan dilaut lepas dapat meningkatkan citra Indonesia yang selama ini di cap sebagai penunggang bebas.
Selain itu, pengakuan terhadap laut lepas dalam uu No 31 tahun 2004 dilengkapi dengan dimuatnya ketentuan tentang kerjasama internasinal antara Indonesia dan Negara tetangga atau Negara lain, pasal 10 ayat (1) menyebutkan untuk kepentingan kerjawama internasional, pemerintah :

a. Dapat menentukan publikasi secara berkala hal-hal berkenaan dengan langkah konservasi dan pengolahan sumberdaya ikan
b. Bekerjasama dengan Negara tetangga atau Negara lain dalam rangka konservasi dan pengolahan sumberdaya ikan dilauyt lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, serta wilayah kantong.
c. Memberitahu dan menyampaikan bukti-bukti terkait pada Negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengolaan sumberdaya ikan.
Kedua, adanya pengakuan adanya keberadaan hak layak laut (HUL) atau kearifan local yang abadi wilayah pesisir. Pasal 6 ayat (2) menyebutkan, “Pengolahan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus hokum adapt dan atau kearifan local serta memperhatikan peran serta masyarakat”

Ketiga, dimasukannya taman laut nasional sebagai wewenang DKP yang sebelumnya berada dibawah kewenangan departemen kehutanan pada pasal 7 ayat (5) namun pelimpahan wewenang itu masih dilematis karena ketentuan mengenai tamanlaut maih dalam peraturan perundang-undangan kehutanan.

Keempat, perikanan menjadi sebuah system terpadu, tidak lagi parsial seperti sebelumnya, pasal 25 menyebutkan “Usaha perikanan dilaksanakan dalam system bisnis perikanan yang meliputi pra produksi, produksi pengolahan dan pemasaran.

Kelima, pembenahan data statistic perikanan. Hal itu karena lemahnya data statistic didaerah pusat terlebih lagi ditingkat local atau daerah.

Keenam, pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidayan ikan kecil, sebagai mana pihak yang senantiasa menjadi korban pembangunan, dimuatnya ketentuan mengenai pengaturan terhadap nelayan kecil. Merupakan suatu wuju8d keberpihakan pemerintah.

Ketujuh, dibentuknya pengadilan perikanan, Namun karena perkembangan hokum dan ketentuan internasional dibidang perikanan sangat dinamis, perlu kajian tentang kemampuan pengaturan perundang-undangan Indonesia dalam mengadopsi dan menyesuaikan diri, selain itu dikaitkan dengan hokum dan ketentuan internasional, peraturan perundang-undangan nasional pun harus mengkaji keterkaitan diantara undang-undang yang mengatur perikanan karena selam ini ada beberapa peraturan perundang-undangan yang penting justru saling tumpang tindih sehingga terjadi konflik kewenangan.

Sementara itu jauh sebelum UU no 31 tahun 2004 ditetapkan, pemerintah Indonesia banyak mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan beserta turunnya yang mengatur sumberdaya perikanan tangkap. Peraturan perundang-undangan tersebut meliputi:
a. UU No 1 tahun 1973 tentang Landas kontinen
b. UU No 5 tahun 1983 tengant ZEE
c. UU no17 tahun 1985 tentang ratifikasi konvensi hokum laut.
d. UU no 9 tahun 1985 tentang perikanan
e. UU no 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia

Seiring berlakunya UUno 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian digantikan UU no 32 tahun 2004 terjadi perubahan tentang kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yaitu daerah memiliki kewenangan dalam mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian sesuai peraturan perundang-undangan.

Sumber JANGAN PANDANG SEBELAH MATA
 
Top