Saat ini kita sedang berada di bulan Rajab. Di bulan Rajab yang penuh keberkahan ini ada suatu peristiwa, yaitu Isra’ Mi’raj Rasulullah. Peristiwa ini bukan hanya suatu bukti kekuasaan Allah yang tiada batas, melainkan jika mencermati retorika penjelasan Al-Quran, maka yang bisa kita tangkap adalah suatu pesan dan kesan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan simbol perpindahan misi kenabian. Perpindahan misi kenabian yang dimaksud yaitu dari yang sebelumnya diamanahkan kepada bani Israil kemudian berpindah kepada bangsa Arab (umat Islam).
Hampir 2300 tahun misi kenabian dipercayakan kepada bani Israil (Israil adalah nama lain dari Nabi Ya’qub). Tapi apakah kemudian yang terjadi? Mereka tega membunuh para nabi, memutarbalikkan, menyelewengkan, serta mengganti ayat-ayat al-Kitab. Karena itulah, peristiwa Isra’ Mi’raj ditandai dengan penaklukan Baytul Maqdis oleh Rasulullah dalam waktu sekejap di malam hari, di mana Nabi Musa (salah seorang pemimpin bani Israil) tidak bisa menaklukkannya kecuali setelah 40 tahun berputar-putar bersama bani Israil di sekeliling Baytul Maqdis.
Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa itu merupakan peristiwa pemindahan misi kenabian dari kalangan bani Israil kepada bangsa Arab yang berasal dari keturunan Ismail bin Ibrahim. Kita mengetahui, Ismail dan Ishaq adalah dua bersaudara. Dari Ishaq lahirlah Ya’qub yang melahirkan keturunan bani Israil, sedangkan Ismail melahirkan keturunan sampai kepada Nabi Muhammad. Maka peristiwa ini merupakan amanah bagi umat Islam agar umat Nabi Muhammad bisa mengejawantahkan dan mewujudkan misi kedamaian di tengah-tengah umat manusia ini. Allah berfirman:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. al-Anbiyâ` [21]: 107)
Kriteria Kepemimpinan
Masing-masing kita adalah pemimpin. Ada yang menjadi pemimpin keluarga, pemimpin di dalam masyarakat, atau setidaknya menjadi pemimpin bagi diri kita. Seluruh organ tubuh kita akan dimintakan pertanggungjawaban. Demikianlah seorang pemimpin memang pasti akan dimintakan pertangjawaban terhadap apa yang dia pimpin.
Di dalam al-Quran banyak profil kepemimpinan yang ditampilkan. Dalam surah an-Naml ada kisah yang sangat populer yang kita kenal dengan Ratu Balqis, walaupun nama Balqis itu sendiri tak pernah disebut secara tegas di dalam al-Quran. Di dalam al-Quran hanya dijelaskan bahwa perempuan itu adalah seorang ratu yang berkuasa di negeri Saba. Ada juga seorang pemuda yang dipilih oleh Allah untuk menjadi pemimpin bani Israil ketika Bani Israil menginginkan seorang pemimpin yang tangguh yang bisa mengayomi mereka, Allah pun memilihkan seorang yang bernama Thalut. Dalam kisah Nabi Yusuf kita juga bisa meneladani profil kepemimpinan seorang yang dipercayai untuk menjadi pengelola perbendaharaan negara, mengelola logistik negara di saat negeri itu mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dari tiga kisah yang ditampilkan oleh al-Quran ini, kita bisa mengambil beberapa pelajaran.
Pertama, bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat yang bijak, serta juga harus memiliki keilmuan dan kecerdasan yang memadai. Kita lihat kisah Ratu Balqis (ratu Kerajaan Saba) ketika mendapatkan surat dari Nabi Sulaiman. Ratu Balqis dan kaumnya adalah penyembah matahari. Dari surat Nabi Sulaiman itu diketahui bahwa Nabi Sulaiman menyeru Ratu Balqis agar tunduk kepada Nabi Sulaiman dan mengikrarkan dirinya tunduk kepada Allah. Saat itu, apakah yang dilakukan oleh Ratu Balqis? Dalam surah an-Naml dikisahkan mengenai hal ini:
[29] Berkata ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. [30] Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi) nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [31] Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri.” [32] Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku).” (Q.S. an-Naml [27]: 29-32)
Dia panggil seluruh pembantunya, lalu dikatakannya bahwa ia telah mendapat surat dari Nabi Sulaiman. Setelah menyampaikan isi surat Nabi Sulaiman itu, kemudian dia ajak para pembantunya untuk bermusyawarah. Hal ini dilakukan karena dia adalah seorang pemimpin yang tak pernah memutuskan apapun, kecuali dia bermusyawarah dahulu dengan para pembantunya. Dia ajak para pembantunya untuk berdialog. Dia bukan tipe pemimpin yang otoriter.
Sekarang ini bukan zamannya lagi seorang pemimpin bersikap otoriter. Melalui cara dialog inilah sekarang bagaimana kepemimpinan itu bisa berjalan dengan baik. Seperti yang termaktub di surah An-Naml ayat 33 sampai 44, diceritakan bahwa para pembantunya menyarankan, karena kerajaan mereka (kerajaan Saba) memiliki kekuatan, maka mereka bisa saja melawan kerajaan Nabi Sulaiman. Dengan bijaknya Ratu Balqis memberikan pertimbangan, bahwa para raja itu kalau sudah masuk ke suatu negeri, maka yang akan terjadi hanya dua: mereka bisa membuat kerusakan di negeri itu ataupun mereka akan menguasai negeri itu dengan semena-mena. Ratu Balqis tentunya tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia ternyata lebih memilih jalan damai. Ratu Balqis pun kemudian menyatakan untuk mengirimi hadiah saja kepada Nabi Sulaiman, setelah itu menunggu reaksi darinya.
Tapi ternyata Nabi Sulaiman bukan hanya seorang pemimpin, bukan hanya seorang raja, melainkan dia juga seorang nabi yang telah diberikan wahyu dan hikmah oleh Allah. Maka bagi dirinya hadiah sebesar apapun takkan menggoyahkannya untuk menjalankan misi kenabiannya.
Dalam perjalanan kisah ini ada suatu peristiwa yang menarik, yaitu ketika Nabi Sulaiman menginginkan agar singgasana Ratu Balqis dipindahkan ke hadapannya. Ifrit dari kalangan jin mengatakan bahwa dia bisa mendatangkan singgasana tersebut sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari kursinya.
Tapi ada yang lebih canggih lagi, dan ternyata itu dilakukan oleh seseorang yang dalam bahasa al-Quran dikatakan sebagai orang yang diberi ilmu pengetahuan tentang al-Kitab. Orang ini menyatakan bahwa dia lebih bisa melakukan hal tersebut lebih cepat dari yang dilakukan oleh Ifrit (jin), karena dirinya bisa mendatangkan singgasana itu sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Maka ketika Nabi Sulaiman mengedipkan matanya, singgasana tersebut sudah berada di hadapannya.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan yang luas, dia bisa menaklukkan dunia. Masa depan akan dimiliki oleh mereka yang berilmu. Lompatan kemajuan yang sekarang ini kita capai, 65 persennya perkembangan ilmu pengetahuan tersebut terjadi di abad 20. Karena terjadi lompatan yang begitu luar biasa dalam ilmu pengetahuan, maka ilmu pengetahuan, kecerdasan, dan keilmuan yang mendalam menjadi salah satu syarat yang mutlak bagi seorang yang akan menjadi pemimpin. Karena itulah yang menjadi salah satu alasan yang dikemukakan oleh Allah ketika Bani Israil mempertanyakan mengapa Thalut yang dipilih untuk menjadi pemimpin mereka. Thalut itu rakyat biasa, bukan keturunan orang yang terhormat, dan juga bukan seorang yang kaya raya. Di dalam al-Quran dinyatakan:
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 247)
Thalut bukan hanya cerdas secara keilmuan, tetapi dia juga diberikan kelebihan oleh Allah berupa ketahanan dan kekuatan fisik yang luar biasa. Karena memang yang bisa mengendalikan bani Israil saat itu adalah orang yang gagah perkasa. Kita cermati juga bahwa Nabi Musa (seorang nabi dari kalangan bani Israil) merupakan seorang nabi yang gagah perkasa. Tapi Nabi Muhammad juga seorang yang gagah perkasa melebihi Nabi Musa. Nabi Musa yang sangat gagah perkasa dikenal dalam sejarah, begitu beliau minta ditunjukkan zat Allah, dia meminta untuk dapat melihat Allah secara langsung. Tetapi begitu zat Allah tampak di sebuah bukit, bukit itu pun terguncang, lalu hancur luluh. Apakah kemudian yang terjadi dengan Nabi Musa? Di dalam al-Quran dinyatakan:
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Q.S. al-A’râf [7]: 143)
Ternyata Nabi Musa pingsan, karena dia tidak mampu menatap wajah Allah. Namun apakah yang dialami oleh Rasulullah ketika beliau dipersilakan untuk menyaksikan dan melihat langsung Allah di Sidratul Muntaha saat Mi’raj? Ternyata Rasulullah bisa melihat Allah secara langsung padahal malaikat Jibril pun tidak bisa melakukan hal tersebut. Dalam salah satu cerita mengenai peristiwa Mi’raj, ketika Rasulullah telah sampai ke langit yang ketujuh, kemudian akan menuju ke Sidratul Muntaha, malaikat Jibril yang dari awal selalu menemani beliau kemudian mengatakan kepada Rasulullah, bahwa kalau dia (Jibril) yang maju, maka dia akan terbakar. Tetapi kalau Rasulullah yang maju, maka Rasulullah akan bisa menembus itu.
Seorang pemimpin bukan hanya dituntut untuk memiliki keilmuan yang luas, tapi juga dituntut untuk memiliki ketahanan fisik yang tangguh. Itu juga terjadi ketika Nabi Yusuf meminta kepada penguasa Mesir saat itu setelah ia ditetapkan sebagai orang kepercayaan, seperti yang diceritakan di dalam al-Quran:
[54] Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” [55] Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Q.S. Yûsuf [12]: 54-55)
Dalam ayat di atas, Yusuf meminta jabatan sebagai bendaharawan negara Mesir karena dia pandai menjaga dan berpengetahuan. Kalau begitu, bagaimanakah hukumnya seseorang yang meminta jabatan, sementara ada hadis yang menyatakan bahwa janganlah meminta jabatan: Rasulullah Saw. berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis yang lain juga menyatakan: Diriwayatkan oleh Abu Musa r.a., ia berkata: Aku menemui Nabi Saw. bersama dua orang lelaki anak pamanku. Seorang dari keduanya berkata: Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah kekuasaanmu yang telah diberikan Allah azza wa jalla! Yang satu lagi juga berkata seperti itu. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Demi Allah, kami tidak akan mengangkat seorang pun yang meminta sebagai pemimpin atas tugas ini dan tidak juga seorang yang berambisi memperolehnya. (Shahih Muslim)
Apakah hal ini menunjukkan bahwa sikap Yusuf bertolak belakang dengan dua hadis di atas? Sebenarnya tidak kalau kita pahami secara mendalam. Hadis yang menyatakan jangan meminta jabatan, itu diucapkan oleh Rasulullah ketika ada seorang sahabat yang meminta jabatan tetapi orang tersebut bukanlah orang yang memiliki kapabilitas (kesanggupan, kemampuan, dan kecakapan). Sedangkan di dalam ayat mengenai Nabi Yusuf disebutkan, bahwa Nabi Yusuf adalah seorang yang memiliki kapabilitas, yaitu orang yang pandai menjaga amanah serta berpengetahuan.
Dikemukakan juga bahwa yang menyebabkan Nabi Yusuf dijebloskan ke penjara adalah karena dia tidak mengikuti keinginan istri sang penguasa untuk berselingkuh. Satu hal yang menyebabkan dia dikeluarkan dari penjara adalah karena dia berhasil memberikan takwil mimpi yang dialami oleh sang Raja. Raja itu bermimpi melihat tujuh ekor sapi yang gemuk dikalahkan dan dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus. Kemudian raja itu melihat ada tujuh tangkai gandum yang segar dan tujuh tangkai gandum yang kering. Raja memanggil para pembantunya dan menanyakan kepada mereka mengenai mimpinya itu. Ternyata jawaban mereka bahwa itu hanyalah mimpi belaka yang tak ada artinya.
Sedangkan menurut Nabi Yusuf yang memiliki kelebihan dan kecerdasan dalam menakwil mimpi, baginya mimpi itu adalah suatu ramalan mengenai yang akan terjadi di negeri itu. Nabi Yusuf menakwil mimpi itu bahwa nantinya akan datang tujuh tahun saat rakyat negeri itu menanam gandum dan memanennya. Maka kalau nanti memanen gandum tersebut, berhematlah, biarkan gandum itu di tangkainya, makan seperlunya, lalu sisanya disimpan. Cara menyimpannya pun seperti dijelaskan di dalam ayat tersebut yaitu biarkan gandum itu masih melekat di tangkainya. Karena gandum atau buah-buahan apapun kalau disimpan utuh dengan tangkainya, maka tangkai itu masih menyimpan sari-sari makanan yang bisa membuatnya tahan lama.
Seperti yang dikatakan oleh Nabi Yusuf, bahwa makanlah gandum itu seperlunya, berhemat, lalu sebagiannya disimpan. Sebab nanti akan datang tujuh tahun masa paceklik. Saat itulah gandum yang disimpan tersebut akan bermanfaat. Lalu setelah itu akan datang masa-masa tenang.
Ini merupakan suatu prediksi (ramalan) yang dilatari oleh kecerdasan dan kepandaian membaca tanda-tanda zaman. Seorang pemimpin harus memiliki kepekaan. Seorang pemimpin harus bisa membaca tanda-tanda zaman. Seorang pemimpin harus bisa membuat perencanaan yang matang.
Sebagai pemimpin bagi diri kita masing-masing, dalam surah al-Hasyr ayat 18 kita juga diperintahkan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kehidupan kita di dunia ini hanya berkisar selama 60 hingga 70 tahun, bahkan mungkin ada yang hanya beberapa tahun. Karena itulah, jangan sampai kehidupan yang sebentar itu membuat kita sengsara selama-lamanya di akhirat kelak. Sebagai pemimpin bagi diri kita masing-masing, marilah kita buat perencanaan agar kehidupan kita di masa yang akan datang, bukan hanya ketika kita di dunia, melainkan juga kehidupan kita nantinya yang abadi dan kekal di akhirat juga berlanjut dengan kebahagiaan.
Dalam kisah Nabi Yusuf kita juga bisa melihat mengapa dia meminta jabatan tersebut. Dia katakan bahwa dirinya adalah seorang yang bisa memelihara dan menjaga amanah. Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki integritas, bisa menjaga amanah, serta bisa mewujudkan kepercayan yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Kata “amanah” adalah sesuatu yang dipercayakan, atau sesuatu yang diberikan kepada orang lain untuk dijaga. Kita memberikan amanah itu tentunya karena ada rasa percaya. Kita takkan mungkin memberikan anak perempuan kita kepada orang lain untuk diperistri kalau kita kita tidak percaya kepada orang itu. Perkawinan adalah amanah, karena itulah tidak mungkin orangtua akan menyerahkan anak perempuannya kepada orang lain kalau tanpa didasari oleh amanah (kepercayaan).
Seorang pemimpin harus bisa menjaga amanah. Karena itulah, kepemimpinan adalah suatu tanggung jawab. Kepemimpinan adalah suatu kontrak sosial yang harus diwujudkan sesuai dengan keinginan orang yang memberikan kepercayaan itu.
Inilah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari keteladanan yang dikisahkan oleh al-Quran melalui kisah-kisah para pemimpin yang memiliki integritas, keilmuan, amanah, dan sikap bijak dalam kepemimpinannya.
Berkaitan dengan kepemimpinan, umat Islam mengemban amanah dan tanggung jawab yang besar di dunia ini untuk mewujudkan misi kedamaian yang juga menjadi misi semua agama. Hal ini tak lain karena umat Islam sudah dipilih oleh Allah untuk menjadi khayra ummah (umat terbaik). Allah berfirman:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali ‘Imrân [3]: 110)
Ummatan Wasathan
Pemindahan misi kenabian kepada kalangan bangsa Arab yang diwakili oleh Nabi Muhammad adalah suatu kepercayaan kepada Nabi Muhammad dan kepada para pengikutnya. Maka menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menampilkan diri dan menampilkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Karena itulah, selain disebut sebagai khayra ummah, di dalam al-Quran juga disebutkan bahwa umat Islam merupakan ummatan wasathan. Allah berfirman:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. al-Baqarah [2]: 143)
Jika dicermati, ayat di atas diturunkan berkaitan dengan peristiwa pemindahan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram. Hal ini ada relevansinya, bahwa umat Islam dikatakan sebagai ummatan wasathan karena ternyata umat-umat terdahulu (bani Israil: Yahudi dan Kristen) sudah tak bisa lagi dipercayakan untuk mengemban misi kenabian. Dipindahkannya kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram ini merupakan suatu peralihan tanggung jawab kepada umat Islam. Maka umat Islam harus bisa menampilkan diri sebagai ummatan wasathan.
Ummatan wasathan itu adalah umat yang terbaik, umat yang adil, umat yang menjaga keseimbangan, umat yang tidak berlebihan dalam beragama, umat yang berada di tengah.
Umat Islam dikatakan sebagai ummatan wasathan agar umat Islam bisa menjadi saksi atas umat-umat terdahulu. Atau paling tidak menjadi umat yang bisa disaksikan karena kebaikannya. Maka sebagai ummatan wasathan, umat Islam harus bisa menjadi saksi kebenaran yang diturunkan oleh Allah yang telah diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Sebagai ummatan wasathan, umat Islam juga harus bisa disaksikan oleh umat-umat yang lain sebagai kelompok yang terbaik. Karena itulah, mari kita wujudkan konsep ummatan wasathan ini dengan menampilkan prilaku yang bisa diksaksikan oleh umat-umat lain sebagai perilaku yang baik.
Itulah salah satu makna “li takûnu syuhadâ“, bahwa umat serta ajaran Nabi Muhammad nantinya akan menjadi saksi bagi umat-umat yang lain. Mewujudkan ummatan wasathan yaitu dengan cara menampilkan perilaku, sikap, tindakan yang baik, yang bisa mendatangkan kesan baik terhadap ajaran agama Islam. Kita akui bahwa sekarang ini justru konsep dan ajaran Islam yang sebenarnya tertutupi oleh ulah dan sikap umat Islam sendiri. Misalnya, al-Quran dan ajaran Islam mengajarkan kita untuk menjaga kebersihan dan menjaga lingkungan, namun kebanyakan dari umat Islam tak terlalu mengindahkan hal tersebut.
Dalam salah satu ungkapan yang sering dinisbahkan kepada Imam Muhammad Abduh dinyatakan: Al-Islamu mahjûbun bil muslimîn (Islam ini tertutupi keindahan dan kebaikannya oleh sikap dan ulah umat Islam sendiri).
Karena itulah, mari kita raih kejayaan dan kebangkitan umat Islam dengan menampilkan ajaran Islam yang sebenarnya., yaitu ajaran Islam yang dituntunkan oleh al-Quran dan diteladankan oleh Rasulullah.
Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi kita semuanya dan menjadi hikmah (pelajaran) yang bisa kita teladani dalam kehidupan sehari-hari. Amin. []
Pernah Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Dr. H. Mukhlis Hanafi, M.A., pada tanggal 12 Juli 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta.
Transkriptor: Hanafi Mohan.
Tulisan ini dimuat di: http://thenafi.wordpress.com////
http://thenafi.wordpress.com/2010/07/09/isra%E2%80%99-mi%E2%80%99raj-sebagai-simbol-perpindahan-misi-kenabian///
di ulang pada http://modifikasithebloger.blogspot.com/