Sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh berbangsa dengan pengakuan dunia terhadap klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sebab dengan adanya pengakuan tersebut wilayah yurisdiksi Indonesia semakin luas, dan diharapkan bermanfaat Bagi kesejahteraan rakyat. Namun ironisnya, tampaknya belum berhasil memanfaatkan peluang yang ada. Bahkan mengalami kesulitan mengamankan wilayah perairannya.
Kenyataan tak terbantah, pencurian ikan di perairan Indonesia oleh nelayan asing kian merajalela. Dengan bantuan peralatan modern mereka bebas menguras kekayaan laut Indonesia, baik diperairan teritorial, terlebih di Kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sedangkan nelayan Indonesia yang terbesar adalah nelayan tradisional hanya bisa gigit jari.
Lantas, dimana letak kesalahannya ?. Tulisan ini mencoba mengupas kelemahan Indonesia mengawasi dan memanfaatkan sumber daya alam di ZEEI.

Pengertian ZEEI
Sebagai terminologi yuridis, pengakuan internasional atas ZEEI didasarkan pada Hukum Laut Internasional yang ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut III di Montego Bay, Yamaika, 10 Desember 1982. Dalam konvensi itu disebutkan beberapa ketentuan tentang “Regim Laut” berlain-lainan. Untuk Indonesia ditetapkan beberapa klasifikasi wilayah perairan, yaitu: Perairan Teritorial, Perairan Nusantara, Zona Tambahan, Landas Kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif dan Laut Bebas Internasional.
Konvensi ini juga menegaskan pengertian ZEE yakni lajur laut yang bergandengan dengan laut wilayah satu negara yang berstatus dan memiliki makna tertentu. Disepakati pula, lajur tersebut seluas maksimal 200 mil laut diukur dari garis pantai pada daratan terluar wilayah suatu negara (Pasal 57). Bagi Indonesia, penetapan ZEEI mempunyai makna penting dan strategis. Sebab pada pasal-pasal lain, ditegaskan soal pelimpahan hak kepada satu negara pantai untuk menetapkan ZEE bagi lajur laut yang bergandengan dengan perairan teritorialnya. Meski hal ini tidak mengurangi makna Kawasan ZEE sebagai regim hukum khusus (specific legal regime) yang memiliki aturan tersendiri.
Pada bagian lain diatur pula hak-hak dan kewajiban setiap negara yang ikut memanfaatkan ZEE. Sebagai tindak lanjut keikut-sertaannya dalam Konvensi Hukum Laut III, Indonesia telah meratifikasi ketentuan tersebut dalam perundang-undangan nasional, yakni dengan terbitnya Peraturan Pemerintah pada 25 Maret 1980, yang kemudian ditingkatkan menjadi UU No.5 Tahun. 1983 tentang ZEE Indonesia (ZEEI).
Dalam konteks itu patut diperhatikan adalah ketentuan Pasal 2 UU No.5 Tahun. 1983 yang menyatakan: “….ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya, dan air diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia..”.
Implikasi ketentuan ini dan memperhatikan mozaik geografi Indonesia, maka terbentuklah Kawasan ZEEI sebagai satu rentangan jalur yang melingkari seluruh Nusantara dengan panjang sekitar 2,7 juta kilometer.
Kedaulatan dan Yurisdiksi
Berdasarkan ketentuan dalam konvensi internasional dan perundang-undangan nasional, Indonesia jelas memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah ZEEI. Yaitu hak eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam hayati mau pun non-hayati yang ada di wilayah ini. Dengan kata lain Indonesia berhak mengelola dan memanfaatkan semua yang ada di ZEEI untuk kepentingan nasionalnya.
Selain itu, Indonesia mempunyai yurisdiksi berkaitan dengan pembuatan instalasi, bangunan, serta kegiatan penelitian ilmiah, dan pelestarian lingkungan. Namun sebaliknya Indonesia pun wajib memenuhi ketentuan internasional antara lain tentang keharusan menjaga kebebasan internasional menggunakan kawasan ini untuk kepentingan pelayaran dan penerbangan, pemasangan kabel dan pipa dibawah laut, dan kegiatan lainnya.
Dalam ketentuan UU No.5/1983, orang asing memang dibenarkan ikut memanfaatkan sumber daya hayati di ZEEI atas ijin pemerintah Indonesia, khususnya untuk jenis tangkapan tertentu. Selain itu ada kewajiban yang patut ditaati, seperti, penanggulangan pencemaran lingkungan, dan pelestarian sumber daya alam.
Kendala Indonesia
Menurut UU No.5/1983 sumber daya alam laut dibagi atas dua kelompok, yakni sumber daya alam hayati dan non-hayati. Ikan adalah sumber daya alam hayati yang paling dominan di ZEEI. Disamping banyak pula ragam kekayaan alam hayati lain yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi dalam negeri mau pun untuk ekspor.
Sayangnya tingkat pemanfaatan Indonesia masih sangat terbatas. Bahkan bila melihat angka ekspor tergolong rendah dibanding dengan negara ASEAN lainnya memiliki sedikit wilayah perairan laut.
Dimana letak kesalahannya ?.
Sessungguhnya terdapat dua aspek yang jadi kendala bagi Indonesia, yakni:
a. Aspek Kultural dan ini yang merupakan kendala utama, yakni tercermin pada rendahnya perhatian masyarakat terhadap dunia maritim (kelautan). Adalah kenyataan sebagian besar masyarakat Indonesia hingga kini masih kuat terbelenggu budaya agraris yang berorientasi daratan. Sedangkan reorientasi ke kawasan maritim sangat lamban.
Disinilah letak ironi Indonesia sebagai bangsa yang mendiami negara kepulauan. Memang pengelolaan ZEEI jelas tak akan efektif jika hanya mengandalkan armada nelayan tradisional dan teknologi seadanya. Karena itu Indonesia perlu membangun armada laut nasional yang kuat dan modern agar mampu menjangkau semua sudut wilayah ZEEI secara efektif. Artinya perlu kesiapan modal dan teknologi tinggi.
Keterbatasan armada laut, serta berbagai sarana penunjang operasional lainnya merupakan kendala serius bagi Indonesia baik dalam konteks pemanfaatan, maupun dalam kerangka pengawasan sumber daya alam laut di kawasan ZEEI.
Menyadari keterbatasan modal dan teknologi, pemerintah dengan memperhatikan UU No.5/1983, akhirnya memberikan kesempatan bagi swasta nasional mau pun asing untuk ikut menggarap kekayaan dikawasan tersebut. Namun masalahnya, akibat lemahnya pengawasan, sering terjadi penyimpangan dan pengingkaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada. Fakta lapangan menunjukkan, betapa banyak armada nelayan asing beroperasi di ZEEI tanpa seijin pemerintah RI. Bahkan sebagian diantaranya berani memasuki wilayah perairan teritorial dan mengganggu nelayan tradisional kita seperti terjadi di Aceh, Pekalongan, Sulawesi Utara, Maluku dan sebagainya.
Meski sebagian kasus pelanggaran berhasil ditindak –melalui operasi penegakkan hukum diperairan laut–, namun tampaknya belum menunjukkan hasil maksimal. Sebab selain keterbatasan kapal, tingginya biaya operasional, juga minimnya sumber daya manusia penegak hukum yang secara khusus menangani kawasan perairan laut.
b. Lemahnya penegakan hukum Tak dapat disangkal salah satu tantangan serius bagi Indonesia saat ini adalah masalah penegakan hukum di laut. Baik dalam hal kemampuan tenaga aparat hukumnya, mau pun aspek sarana operasionalnya. Ketentuan perundang-undangan menegaskan bahwa “Aparat Penyidik” atas pelanggaran hukum di kawasan ZEEI adalah “Perwira TNI-AL yang ditunjuk Panglima TNI”.
Ini berarti untuk kepentingan penegakkan hukum di laut, Indonesia memerlukan ribuan personil perwira Angkatan Laut yang berkemampuan melakukan tugas penyidikan. Dan hal ini tampak masih sulit dipenuhi. Padahal disisi lain untuk efektivitas penegakan hukum para perwira penyidik tersebut seyogyanya disebar diberbagai pulau. Terutama di kawasan yang potensial bagi kasus pelanggaran, misalnya, Kawasan Timur Indonesia. Menyiapkan ribuan perwira penyidik, selain membutuhkan pendidikan dan pelatihan khusus, juga membutuhkan waktu relatif lama. Selain itu perlu diatur penempatannya dengan dukungan fasilitas kerja yang memadai. Dan hal ini juga tidak mudah
Dengan kata lain, jika Indonesia memang benar-benar menjadikan laut sebagai sumber penghidupan nasional dan sektor unggulan bagi pendapatan negara, maka perlu kebijakan politik strategi mengatasi berbagai kendala tersebut.
Patut dipahami kemampuan mengawasi dan memanfaatkan ZEEI memiliki makna penting, baik bagi Indonesia sendiri maupun bagi dunia internasional. Pasalnya, ZEEI sebagai “specific legal regime” senantiasa berkaitan erat dengan ketentuan internasional dalam bidang kelautan. Artinya ketentuan internasional tentang ZEEI tidak hanya mengatur hak kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara pada kawasan tersebut, tetapi juga tentang kewajiban yang berhubungan dengan pelestarian alam, kebersihan lingkungan dan penelitian ilmiah.
Mengawasi dan mengendalikan kawasan ZEEI yang mencakup beragam aspek dan dimensi tadi jelas satu tantangan yang serius bagi Indonesia, sebab secara riil kemampuan Indonesia masih sangat terbatas, termasuk jumlah tenaga ahli kelautan yang sangat langka. Akibatnya, banyak pelanggaran hukum dilaut –terutama di ZEEI– tidak tertangani dengan baik.
Harapan di masa mendatang
Masa depan adalah era kehidupan bahari. Ini antara lain ditandai dengan menguatnya dinamika di kawasan Pasific. Karena itu sudah saatnya Indonesia memperhatikan pembangunan disektor kelautan secara sungguh sungguh. Pada tahap pertama, sasaran pembangunan ditujukan kepada aspek pemecahan pelbagai kendala keterbatasan yang ada.
Sementara untuk jangka panjang, pembangunan harus mampu mengembalikan orientasi basis kehidupan masyarakat Indonesia sesuai dengan fitrahnya sebagai bangsa bahari yang tumbuh dan berkembang seirama dengan ritme globalisasi. Orientasi kelautan ini penting sebab di masa mendatang, sektor kelautan semakin vital dan penting bagi kehidupan ummat manusia.
Dimasa mendatang bagi bangsa Indonesia laut akan berfungsi sebagai, sebagai faktor integrasi wilayah nasional; sebagai tempat sumber daya alam dominan; sebagai faktor transportasi massal dan murah; sebagai elemen Strategis dalam Pertahanan dan Keamanan Negara. Mengingat berbagai aspek vital dan strategis itu, maka sudah saatnya kita membangun bangsa dan negara ini dalam sosok citra sebagai bangsa bahari. (LS2LP)


Oleh:
PAULUS LONDO



 
Top