Sub-sektor perikanan budidaya nampaknya akan menjadi barometer pergerakan ekonomi nasional jika dikelola secara optimal. Seiring dengan target pencapaian peningkatan produksi perikanan budidaya yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sampai dengan tahun 2014 sebesar 353 %, merupakan nilai yang dianggap oleh banyak kalangan terlalu ambisius.

Namun melihat potensi yang ada Indonesia bukan tidak mungkin akan mampu mencapai target tersebut bahkan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia. Salah satu komoditas budidaya laut yang paling memungkinkan untuk digarap secara maksimal adalah rumput laut Eucheuma cottoni, tahun ini Indonesia mampu menggeser posisi Philipina sebagai produsen terbesar rumput laut dunia.


Peningkatan Produksi Belum Diimbangi oleh Jaminan Kualitas Produksi
Peningkatan produksi rumput laut masih cukup optimis untuk bisa dicapai mengingat tingginya daya dukung teknis dan potensi kawasan pengembangan yang masih terbuka luas untuk dimanfaatkan. Hanya saja , sampai saat ini siklus aquabisnis rumput laut masih menyisakan masalah yang cukup kompleks antara lain jaminan kualitas produksi DES (dried eucheuma seaweed) di tingkat pembudidaya yang secara umum masih belum memenuhi standar eksport, stabilitas harga yang masih fluktuatif dimana 2 (dua) faktor ini yang menjadi momok bagi keberlangsungan Industri rumput laut.


Sebagai gambaran, menurut pengakuan beberapa trader/eksportir rumput laut di Surabaya secara umum mereka mengeluhkan kondisi tersebut dan berdampak terhadap cash flow yang ada. Terjadinya loading stock DES di gudang eksportir dengan kualitas rendah memaksa mereka mengeluarkan biaya operasional untuk melakukan sortir ulang.


Tidak dipungkiri bahwa 80% raw material rumput laut dalam bentuk DES kita eksport salah satunya ke China, dimana saat ini China menerapkan standar cukup ketat terhadap produk import DES bukan hanya kadar air tapi juga umur panen dan SFDM (salt free dry matter).


Posisi industri China yang mulai selektif inilah yang menjadi masalah tersendiri bagi para eksportir mengingat rendahnya kualiitas DES dari pembudidaya, tidak jarang terjadi loading stock yang berimbas pada penghentian pembelian sementara dari para pembudidaya. Sudah barang tentu kondisi ini berdampak pula pada kegiatan usaha para pembudidaya, inilah yang mengakibatkan fluktuasi harga dan rendahnya posisi tawar DES di tingkat pembudidaya.


Menurut analisa saya ada beberapa hal yang menyebabkan permasalahan di atas :

1. Belum terbangun kesadaran di tingkat pembudidaya maupun pengepul lokal terhadap jaminan mutu produk rumput laut yang dihasilkan. Pengelolaan pasca panen yang masih kurang memperhatikan jaminan mutu masih seringkali dilakukan oleh pembudidaya di beberapa lokasi. Fenomena yang terjadi adalah bagaimana produk bisa terserap pasar dengan harga tinggi tanpa mempertimbangkan mutu produk.

2. Rantai dan siklus pasar belum terbangun dengan baik. Di sentra-sentra produksi rumput laut masih seringkali terdapat para spekulan yang merusak stabilitas harga, pola kemitraan yang sudah terbangun antara pembudidaya dengan pelaku usaha menjadi tidak berjalan dengan kehadiran para spekulan. Fenomena yang terjadi para spekulan mengejar target kuota tanpa mengindahkan kualitas produk, padahal harga yang diberlakukan sama atau melebihi harga yang berlaku di pasar lokal. Inilah yang mempengaruhi "mind set" pelaku utama, yang menganggap bahwa kulaitas adalah tidak terlalu penting, toh harga pembelian yang diberlakukan sama dengan rumput laut yang kualitasnya baik. Kondisi ini secara tidak mereka sadari akan mengancam keberlanjutan usaha mereka, karena peran spekulan pada dasarnya muncul secara inseidental, disisi lain pembudidaya sudah kehilangan kepercayaan dari pembeli semula.

3. Belum terbangun pola kemitraan yang kuat secara hukum yang diimbangi dengan kuatnya kelembagaan kelompok secara berkelanjutan. Yang terjadi secara umum kemitraan masih bersifat alamiah dan tidak mengikat sehingga ke dua belah pihak sama-sama tidak mempunyai tanggung jawab dan kontrol yang kuat terhadap jaminan kualitas produk maupun stabilitas harga di pasar.


4. Degradasi kualitas bibit, pada beberapa daerah seperti diakui oleh pembudidaya di Lombok Barat bahwa kondisi bibit sudah cukup memprihatinkan sehingga perlu upaya untuk mengintroduksi jenis bibit baru yang secara kualitas terjamin.


5. Kurangnya peran advokasi dari pelaku pembina di daerah terhadap jalannya siklus bisnis rumput laut.
Faktor di atas yang teridentifkasi menjadi penyebab terjadinya fluktuasi harga dan rendahnya kualitas DES di Indonesia sehingga siklus bisnis rumput laut tidak berjalan semestinya. Beberapa dari kita masih belum seimbang dalam melihat akar permasalahan bisnis rumput laut.


Ketidakseimbangan tersebut terlihat dengan adanya persepsi bahwa bagaimana mengupayakan produksi dan harga tinggi di tingkat hulu (pembudidaya ) tanpa mempertimbangkan kondisi yang terjadi di hilir (Industri), padahal pihak industri membutuhkan jaminan mutu produk untuk menjaga stabilitas usahanya. Kondisi ini yang mengakibatkan rantai bisnis rumput laut terhambat.


Klaster Aquabisnis Rumput Laut Sebagai Kunci Sukses
Target pencapaian produksi rumput laut yang menjadi target Kementrian KP sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 akan mungkin bisa dicapai, melalui kerjasama dan komitmen semua stakeholder mulai dari pemerintah pusat/daerah sampai pelaku utama secara berkesinambungan. Sejalan dengan itu kebijakan strategis yang dijadikan senjata ampuh pemerintah pusat adalah melalui pencanangan program minapolitan melalui pendekatan klaster.


Pendekekatan ini dinilai ampuh dalam mewujudkan pencapaian target di atas. Dalam pengembangan sumberdaya perikanan klaster minapolitan merupakan bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan pada suatu lokasi tertentu, dengan memberdayakan subsistem-subsistem agrobisnis perikanan dari hulu sampai hilir serta jasa penunjang yang saling mendukung.


Konsep inilah yang akan menjamin efesiensi dan efektifitas kegiatan usaha serta akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan.


Pengembangan klaster rumput laut pada hakekatnya lebih mengedepankan kemitraan yang dibangun melalui komunikasi dan implementasi nyata diatara stakeholder secara sinergis dan saling menguntungkan dengan demikian pengembangan ekonomi local melalui aquabisnis klaster rumput laut harus menjadi bagian integral dari upaya pemerintah daerah melalui pemberdayaan masyarakat pesisir, peningkatan daya saing kolektif, penciptaan peluang-peluang baru serta pertumbuhan ekonomi berkesinambungan melalui peningkatan produk sector perikanan dalam hal ini komoditas rumput laut.

Pengembangan klaster aquabisnis rumput laut dtekankan meliputi pengembangan beberapa ploting kawasan meliputi zona pembibitan untuk menjamin ketersediaan bibit yang berkualitas, zona budidaya, Zona penanganan pasca panen untuk menjamin kualitas produk DES yang dihasilkan, serta Zona pengolahan/industri.

Sudah menjadi hal biasa bahwa posisi tawar produksi rumput laut pada sentra pengembangan yang sulit dijangkau akan mengalami penurunan dibanding kawasan lain. Kondisi ini biasa terjadi di Wilayah Indinesia bagian Timur seperti Maluku, Papua dan Maluku Utara.


Siklus pasar yang begitu melelahkan menyebabkan harga di lokasi menjadi turun drastis, karena memaksa pembeli mengeluarkan biaya tambahan yang cukup tinggi untuk transportasi. Fenomena ini yang kadang-kadang dikhawatirkan menurunkan animo masyarakat pembudidaya terutama bagi mereka yang mempunyai pola pikir yang bersifat instan (un-visible).


Padahal kawasan-kawasan tersebut mempunyai potensi pengembangan yang sangat besar. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka klaster aquabisnis rumput laut merupakan upaya untuk membangun kawasan budidaya terintegrasi dimana pada kawasan tersebut memugkinkan terjadinya suplly chain dari hulu ke hilir yang efektif dan efisien sehingga akan terjadi peningkatan posisi tawar produk di tingkat pembudidaya.

Dalam mewujudkan klater aquabisnis rumput laut, maka beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, adalah sebagai berikut :
Perlu optimalisasi peran pemerintah daerah
Harus diakui bahwa secara umum konsep klaster aquabisnis rumput laut sebagai kunci sukses belum menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan masih dalam tataran wacana. Padahal potensi pengembangan rumput laut sangat besar dan sangat memungkinkan untuk ditingkatkan.


Pemerintah daerah perlu segera menyusun regulasi yang strategis termasuk didalamnya penyusunan masterplan, penataan tata ruang wilayah (RTRW) dan penyusunan RPIJM (Rencana Pembangunan Infrastruktur Jangka Menengah) serta dukungan terhadap kemudahan investasi. Hal ini penting mengingat sumberdaya rumput laut merupakan usaha yang menyentuh aspek pemberdayaan masyarakat dan telah menjadi bagian bagi hajat hidup masyarakat serta pendorong pergerakan ekonomi local.

Peningkatan produksi rumput laut akan mampu tercapai jika pemanfaatan potensi lahan dapat ditingkatkan melalui ekstensifikasi untuk menciptakan kawasan-kawasan pengembangan baru. Pemerintah daerah harusnya melihat kondisi ini sebagai sebuah peluang yang perlu digarap secara maksimal melalui penerapkan kebijakan strategis mulai dari pembinaan secara langsung sampai dengan dukungan penganggaran guna mempermudah akses produksi dan pasar secara luas.


Penataan dari sisi kelembagaan kelompok maupun penunjang serta infrastruktur seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun swasta, hal ini penting karena merupakan factor penentu terhadap jalannya siklus bisnis rumput laut maupun perikanan budidaya secara umum.


Potensi SDA rumput laut seharusnya menjadi unggulan daerah dan bisa ditawarkan dengan menggandeng semua pihak. Disamping itu peran Perusahan Daerah (BUMD) sudah saatnya melirik terhadap peluang-peluang bisnis pada sub sector perikanan budidaya khususnya rumput laut sehingga daya tawar (bargaining position) hasil produk akan mampu ditingkatkan.


Pemerintah Daerah perlu segera melakukan implementasi akselerasi pembangunan perikanan budidaya secara nyata demi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pembangunan ekonomi daerah dan nasional.


Perlu pembinaan terhadap peran pengepul/tengkulak
Kaitannya dalam usaha rumput laut Keberadaan tengkulak/pengepul seringkali dinilai kalangan merugikan pelaku utama dan tak sejalan dengan konsep klaster. Namun sesungguhnya tengkulak merupakan asset kluster yang keberadaannya patut untuk didukung.


Hal ini karena dalam klaster dikenal zonasi, posisi tengkulak merupakan representasi Zona 2 setelah pembudidaya di Zona 1, sehingga posisi tengkulak tidak masalah karena titik ini akan menjadi mata rantai berjalannya bisnis rumput laut. Hanya saja pemerintah perlu mengadvokasi agar kemitraannya berjalan baik. Peran tengkulak seperti di beberapa daerah pengembangan bukan hanya mensupport permodalan tapi juga berperan dalam menjaga kestabilan harga, kualitas produksi, pergudangan sehingga jalannya siklus terjaga karena sama-sama diuntungkan.


Posisi strategis tengkulak dalam rantai distribusi pasar perlu diberdayakan melalui peran pembinaan secara berkelanjutan khususnya dalam rangka menjamin akses pasar dan kualitas hasil produksi, yang saat ini masih menjadi permasalahan utama pada aquabisnis rumput laut di Indonesia. Sehingga peran tengkulak tidak hanya mencari quota produksi sebanyak-banyakknya namun harus bertanggungjawab terhadap jaminan mutu produk DES (dried eucheuma seaweed) yang dihasilkan.


Perlu penguatan kelembagaan dan membangun pola kemitraan yang kuat
Permasalahan siklus pasar bisnis rumput laut pada sentra-sentra produksi disebabkan karena lemahnya peran pembinaan pemerintah daerah dalam membangun kelembagaan kelompok yang kuat dan peran advokasi untuk membangun pola kemitraan yang kuat, legal dan berkelanjutan.


Kuatnya kelembagaan kelompok serta terbangunnya pola kemitraan yang kuat akan menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab serta kultur bisnis yang positif antara pelaku utama (pembudidaya) dan pelaku usaha (industri) akan perlunya keseimbangan dalam menata siklus bisnis demi keberlanjutan usaha. Pembudidaya memerlukan jaminan pasar, penyerapan produksi dan stabilitas harga, disisi lain pihak trader/eksportir/industri membutuhkan jaminan kualitas produk dan kontiyuitas.


Peran kontrol pada semua tahapan produksi mutlak harus dilakukan baik oleh pemerintah daerah melalui peran penyuluhan, pengepul maupun pihak mitra usaha dengan menurunkan langsung field advisor yang berperan dalam quality control proses budidaya, pengelolaan pasca panen maupun pergudangan di lokasi budidaya. Jika kondisi tersebut telah terbangun dengan baik, maka upaya pemerintah pusat untuk membangun industri pengolah nasional di sentra-sentra produksi tidak akan mengalami permasalahan yang berarti.


Perlunya Membangun sinergitas
Perlu diakui bahwa terhambatnya siklus bisnis rumput laut karena mata rantai produksi maupun pasar yang tidak berjalan semestinya bahkan terputus pada tahapan tertentu (tidak ada keberlanjutan). Salah satu penyebabnya karena belum terbangun persamaan persepsi, komitmen, tanggungjawab dan kerjasama sinergis diantara stakeholder yang terlibat dalam usaha pe-rumputlaut-an di Indonesia mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku utama, pelaku usaha, lembaga/instansi teknis serta lembaga keuangan.

Fenomena yang terjadi seringkali masih muncul “ego-sektoral” sehingga implementasi kebijakan dari pemerintah pusat tidak didukung secara penuh, inilah yang mengakibatkan siklus usaha selalu berhenti dalam suatu tahapan tertentu.


Jika kata “Sinergitas” diimplementasikan secara nyata oleh seluruh stake holder, maka sangat optimis Indonesia akan menjadi sentral produksi rumput laut terbesar bukan hanya dari sisi kapasitas produksi melainkan didukung oleh jaminan mutu hasi produk yang berdaya saing tinggi.


Melalui tulisan ini kami berharap, mari bersama-sama mendukung kebijakan pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dalam mewujudkan visi untuk menjadikan Indonesia menjadi produsen perikanan terbersar dunia demi kesejateraan masyarakat dan kebangkitan ekonomi nasional.


Sumber : berbagai sumber
 
Top