HAMPIR dua minggu kita disuguhi berita mengenai melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok. Sebenarnya fenomena seperti ini adalah hal biasa terjadi menjelang hari raya Idul Fitri dan hari besar keagamaan lainnya. Dari sudut pandang ekonomi sering disebutkan, bila permintaan terhadap suatu barang meningkat tidak sebanding dengan laju jumlah barang yang ditawarkan, maka bisa dipastikan harga barang tersebut akan naik atau lazim dikatakan inflasi (demand full inflation). Selain itu, teori inflasi lain menyebutkan, penyebab inflasi dapat pula didorong oleh tingginya harga bahan baku impor (imported inflation). Kedua faktor tersebut sangat dominan dalam mendongkrak harga-harga komoditas saat ini.

Diantara kenaikan harga yang meroket, penulis mencermati kenaikan komoditi tahu-tempe yang sangat fenomenal dan membuat kita termenung. Meningkatnya harga tahu-tempe sebagai salah satu produk turunan utama dari kacang kedelai menjadi suatu sinyal betapa rapuhnya ketahanan pangan negeri kita.


Kenaikan harga tempe-tahu tidak se-sepele yang dibayangkan. Hiruk pikuk-nya telah mengentarkan banyak kalangan. Sebut saja anggota legislatif yang bersuara lantang meminta pemerintah membereskan masalah ini dan bahkan meningkatnya harga komoditi ini membuat para petinggi negeri ini berdiri pada posisi antara dilema dan galau. Satu sisi, hatinya ingin berpihak pada petani, di sisi lain ingin berpaling pada para pelaku bisnis (tahu-tempe).

“Masyarakat tempe”
Dahulu seringkali kita dengar konotasi “masyarakat yang ber-mental tempe” yang bermakna masyarakat yang bermental rendah. Sehingga orang yang makan tempe dianggap orang kampung (dusun). Maklum tempe dianggap barang inferior yang diartikan ketika pendapatan seorang konsumen meningkat maka konsumsi terhadap tempe maupun tahu akan berkurang. Tetapi fakta berkata lain, tempe dan tahu sejatinya bukanlah barang inferior melainkan telah menjelma menjadi barang normal dan bahkan barang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Tempe dan tahu bukanlah barang yang bernilai rendah lagi, ini terbukti dari para penikmat tempe semakin melonjak dari tahun ke tahun. Walaupun disadari, banyak alasan mengapa orang beralih mengkonsumsi tempe-tahu, diantaranya tempe dan tahu merupakan makanan yang rendah kalori sehingga sebagian orang mengangap kedua makanan ampuh menurunkan kolestrol dan tekanan darah tinggi. Akan tetapi tidak sedikit pula orang yang terpaksa mengkonsumsinya karena keterbatasan ekonomi. Apapun alasannya, perilaku konsumen ini membawa dampak yang dahsyat, konsumsi terhadap tahu-tempe melonjak tajam. Sehingga berujung pada tingginya permintaan terhadap bahan baku utamanya (kedelai). Inilah asal muasal masalahnya, harga kedelai melonjak drastis pertengahan tahun ini, menyebabkan para produsen tahu-tempe menjerit dan pasrah.

Mengapa menjerit? Karena ternyata Indonesia yang sejak dahulu kala memproklamirkan sebagai negara agraris sekarang harus mengantungkan hidupnya pada negara industri melalui impor bahan baku (kedelai). Simak saja data produksi dan konsumsi kedelai. Kedua data tersebut menunjukkan trend yang terbalik. Dimana konsumsi kedelai terus melambung sementara produksinya mengalami penurunan. Sebagai contoh, konsumsi kedelai Indonesia tahun 2007 sebesar 2.235 ribu ton sedangkan produksi hanya 592,53 ribu ton sehingga harus impor sebanyak 479,43 ribu ton. Dua tahun berikutnya konsumsi melonjak sebesar 2.407 ribu ton dengan produksi hanya sebesar 907,03 ribu ton, kekurangan sebanyak 840,04. Di tahun 2012 konsumsi diperkirakan akan mencapai 2.525, disisi lain produksi turun menjadi 779,74 ribu ton (defisit 1.245,96 ribu ton). Melirik data tersebut, fluktuasi harga kedelai akan sangat dipengaruhi oleh kondisi external karena harus impor. Ini terjadi saat ini, ketika terjadi gagal panen di negara Paman Sam akibat kekeringan menyebabkan kran impor terganggu, dampaknya harga kedelai membumbung tinggi.

Sebenarnya data di atas miris untuk dikaji, mengapa? Karena kita masih kurang percaya bagaimana mungkin ini bisa terjadi pada sebuah negeri yang dikatakan “gemah ripah loh jinawi”. Penulis ingat sebuah lagu lawas yang melegenda dari Koes Plus, penggalan syairnya seperti ini “bukan lautan tapi kolam susu....tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman”. Sungguh ironis, sang pencipta lagu ini sadar benar kalau Indonesia merupakan negara yang diberkahi kekayaan alam yang sangat beragam dengan tingkat kesuburan tiada tara. Sehingga tongkat dan kayu pun bisa jadi tanaman. Pertanyaan mendasar yang terbisit, mengapa urusan kedelai, ketela pohon, kentang, dan bahkan garam serta komoditas lain kita harus mengimpor?

Lanjutan pertanyaan berikutnya, mengapa para petani kita enggan untuk menanamnya?. Mungkin bila diteruskan akan menimbulkan seribu tanya. Jawaban yang muncul adalah rasionalitas berpikir petani dan “keterpaksaan” para penguasaha. Para pengusaha terpaksa mengimpor karena stock kedelai nasional tidak mencukupi, walaupun sebenarnya, hasil riset menunjukkan kualitas kedelai nasional relatif lebih baik. Di lain pihak, para petani merasa rugi bila mereka harus menanam kedelai dibandingkan komoditas lain karena harganya relatif rendah sehingga keuntungan yang diperoleh pun relatif kecil. Hal inilah yang mendasari mengapa petani mulai meninggalkan komoditi kedelai. Data hasil publikasi beberapa instansi menunjukkan telah terjadi penurunan luas lahan kedelai yang sangat signifikan. Sebutnya saja misalnya luas lahan kedelai tahun 1993 (1.468.316 ha) menurun hampir tiga kali lipat di tahun 2012 menjadi 566.693 ha. Data ini sebuah antiklimaks ditengah-tengah  pemerintah sedang gencar mendengungkan program ketahanan pangan dengan berbagai skim pembiayaan. Meminjam istilah lama “Indonesia Ibarat Tikus Mati di Lumbung Padi”, akankah ini benar-benar menjadi kenyataan? Pertanyaan yang menjadi beban bersama. Untuk itu perlukan solusi yang tepat guna mengembalikan kejayaan Indonesia diantaranya pemerintah harus  memberikan insentif kepada petani, berdayakan penyuluh pertanian agar petani -tahu- apa yang harus mereka lakukan, serta mendorong  terciptanya lahan baru untuk menanam kedelai, sehingga tempe-tahu yang bercita-rasa tradisional dan memiliki nilai internasional ini tetap mampu dibeli masyarakat. 

Editor : Bedjohttp://palembang.tribunnews.com/2012/08/07/masihkah-tongkat-kayu-dan-batu-jadi-tanaman
 
Top