Ternyata melakukan sebuah kebaikan, sekecil dan seremeh apapun pasti diperlukan sebuah nyali yang besar. Itu setidaknya yang saya rasakan ketika mencicipi lagi bus Trans Jogja beberapa waktu yang lalu. Kebaikan kecil itu bernama: MEMBERIKAN TEMPAT DUDUK KEPADA WANITA.

Ada sebuah perasaan dilematis yang absurd setiap kali saya mendapati seorang wanita berdiri bergelantungan karena tidak mendapat tempat duduk. Wanita yang saya maksud di tulisan ini seterusnya adalah wanita muda yang pastinya dia masih kuat jika hanya untuk berdiri di bus (women isn’t that weak, boys!). Wanita tua (baca: ibu-ibu atau nenek-nenek) atau wanita hamil saya eksklusi karena jika ada lelaki yang tidak memberikan tempat duduknya kepada kedua jenis wanita itu, bisa disimpulkan mereka adalah pengecut sejati (jika tidak boleh dibilang banci).

Ingin hati memberikan tempat duduk saya kepada wanita yang berdiri itu, tetapi rasa sungkan dan takut membuat badan saya tetap menempel erat di kursi. Saya menjadi sungkan karena menawarkan kursi ke wanita belum menjadi sesuatu yang umum dilakukan.

Itu terbukti dari beberapa kali saya naik Trans Jogja sejak masa awalnya difungsikan sampai sekarang saya sangat jarang melihat ada lelaki yang menawarkan tempat duduknya untuk wanita. Termasuk saat itu, saya melihat banyak lelaki yang tetap saja duduk manis melihat ada beberapa wanita yang sedang bergelantungan di bus. Tidak ada satu pun yang menawarkan kursinya, termasuk saya.

Bahwa saya sungguh ingin memberikan tempat duduk saya, itu adalah suatu hal yang tidak usah diragukan lagi. Karena ini bukan soal peduli atau tidak peduli. Bukan soal tega atau tidak tega. Bukan soal egois atau tidak egois. Ini soal keberanian. Untuk melakukan hal yang tidak umum di masyarakat jelas butuh keberanian. Masalahnya adalah saya takut menawarkan tempat duduk saya kepada wanita itu.

Yang pertama, saya takut tawaran saya ditolak. Salah satu kebiasaan orang Jawa adalah suka basa-basi. Bentuknya macam-macam. Salah satunya adalah menolak kebaikan atau pemberian orang lain dengan alasan kesopanan, padahal dalam hati ia menginginkan atau membutuhkannya. Termasuk soal kursi di bus. Saya takut tawaran kursi saya ditolak karena alasan aneh itu. Tengsin berat dong kalau saya sudah berdiri dengan kesatrianya menawarkan kuda putih tunggangan saya untuk diduduki tuan putri tapi ternyata ditolak.

Yang kedua adalah saya takut dipandang penumpang lain sebagai orang yang sok baik, sok pahlawan, munafik atau bahkan kegenitan. Budaya su’udzon dan meremehkan kebaikan orang ini memang harus dikikis. Stigma negatif ini entah kenapa semakin sering di temui. Entah di obrolan ibu-ibu, di gosip-gosip anak muda, sampai di media massa. Setiap ada kebaikan yang dilakukan orang yang sering datang malah cibiran. Ah itu kan dia mau cari muka aja, ah itu kan biar dia dianggap dermawan, ah itu kan karena dia mau nyalon jadi gubernur makanya sekarang baik-baik sama rakyat. Ah itu kan….

Saya rasa ketakutan itu juga dialami oleh kebanyakan orang jika berada dalam posisi yang sama. Saya yakin para lelaki yang masih duduk manis di samping-samping saya itu bukannya egois, tidak peduli, dan tidak berperasaan. Laki-laki mana yang tega melihat seorang wanita bergelantungan berdiri di bus? Tidak ada! Atau kalaupun ada, itu pasti sejenis banci atau laki-laki yang tak punya hati.

Kalau saja seorang wanita yang berdiri itu meminta tempat duduk sang lelaki, saya jamin Insya Allah akan diberikan dengan senang hati. Yang menahan mereka tetap setia di tempat duduknya hanyalah rasa sungkan dan takut.

Maka betapa hebatnya orang yang akhirnya bisa mengalahkan ketakutan itu, mengambil semua risiko untuk menjemput sebuah kebaikan: menawarkan tempat duduk. Ikhlas menawarkannya untuk memberi kemudahan dan kenyamanan kepada sang wanita. Bukan untuk cari muka atau hal semacamnya. semata-mata ia ingin meringankan beban orang lain.

Dan Alhamdulillah tiba-tiba di tengah kecamuk pikiran absurd yang celaka itu, ada malaikat baik hati yang membisikkan dengan lembut ke telinga kanan saya setelah ia menghajar habis semua setan jahat di sekeliling saya, “Ayo, boy! jangan cemen jadi orang. Kamu harus berani berbuat baik. You are hero, boy! Hero!”

Akhirnya, dengan mengais keping-keping keberanian yang sempat berantakan, saya menawarkan kursi kepada wanita yang berdiri di depan saya. Melawan semua ketakutan-ketakutan itu. Dan luar biasa! Berdiri lama bergelantungan dihuyung-huyungkan gerakan bus setelah mempersilakan seorang wanita duduk di tempat duduk kita sungguh lebih hebat dan lebih membahagiakan daripada berbaring di sofa kelas atas dari Eropa sekalipun. Nggak percaya? Coba aja sendiri.

Kebanggaan itu membuat kita merasa berarti, merasa berharga. Dan memang seperti itulah perasaan setiap orang setelah memenangkan pertempuran melawan kepengecutannya untuk melakukan kebaikan. Cukup dengan melawan ketakutan itu saya sungguh menjadi orang yang paling berbahagia. Tak perlu terimakasih, tak perlu tepuk tangan.

Maka selamat menjadi lelaki sejati bagi mereka yang telah berhasil melawan ketakutannya itu.
 
sumber:
 http://adityasaja.blogspot.com/2012/02/tantangan-kebaikan.html
 
Top