Dan tiadalah kami mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan untuk (menjadi) Rahmat bagi Semesta Alam“. (QS. 21 ‑ Al Anbiya ‑ ayat 107). Sudah terbukti dengan benar, bahwa keutusan Nabi Muhammad SAW telah menjadi rahmat bagi seluruh alam. Jika Nabi Muhammad tidak diutus sebagai Rasul, maka Al‑Qur’an tentu tidak akan pernah ada. Dengan sendirinya, kita tidak akan tahu, bagaimana keadaan manusia selanjutnya.
Kebuasan binatang adalah biasa, tetapi kebuasan manusia niscaya akan menyisakan persoalan-persoalan, di antaranya yang menyangkut perkosaan manusia terhadap makhluk lainnya, hewan dan tumbuh-tumbuhan di tengah hutan belantara. Alam sekeliling, akan dirusak dan diobrak‑abrik oleh kebejatan moral manusia. 

Di Hilton Makkah el Mukarramah
Di Hilton Makkah el Mukarramah
Amat sangat pantas kita diperintah untuk bersyukur kepada Allah, yang telah mengutus Muhammad SAW dengan konsep ajaran yang tegas, yakni Al‑Qur’an dan As-Sunnah, sehingga dengan kedua warisan ini mampu mengangkat derajat manusia menjadi bermartabat, menjadi penjaga dan pelindung alam, sehingga menempatkan manusia pada derajat yang paling mulia di antara makhluk-makhluk yang ada.
Setiap Rasul memang membawa rahmat bagi ummat manusia. Dalam sejarah yang disampaikan para Rasul utusan Allah, sejak dari sebelum Muhammad SAW diutus, ternyata para utusan tuhan itu berdakwah hanya terbatas kepada lingkungan kaumnya semasa, dan dalam ruang waktu yang terbatas pula, hingga datang rasul pengganti.
Berbeda dengan Nabi Muhammad SAW yang kehadirannya membawa rahmat bagi seluruh ummat manusia, tidak hanya di zaman dia diutus, semasa hidupnya semata, tetapi telah 15 abad berlalu hingga sekarang, dan akan berlaku selalu sepanjang masa, berabad‑abad mendatang, hingga datangnya kiamat, ajarannya dapat dimengerti, dimanfaatkan, bahkan ruang lingkupnya tidak hanya terba­tas di tengah lingkungan tanah kelahirannya, akan tetapi melingkupi seluruh sudut bumi, dan lagi universal.
Kalau kita mau meneliti sejarah kemanusiaan, mulai manusia pertama, dan kita bandingkan dengan keadaan manu­sia kita sekarang, banyak hal yang kita temui untuk dapat dikaji dan diteliti, di antaranya, tentu kita sependapat, bahwa jumlah manusia masa lalu, lebih sedikit dari manusia masa kini.
Jumlah manusia selalu bertambah, terkait dengan makin baiknya taraf kehidupan manusia, sehingga penduduk bumi semakin padat, dan bahkan setiap detik jumlah manusia makin bertambah, dan telah menjadi salah satu pasal dari problema yang mendunia.
Ilmu kedokteran yang berkembang, ikut berperan mengantisipasi angka kematian, dan telah berusaha memperpan­jang usia manusia, melalui program peningkatan kesehatan, dan pemeliharaannya.
Jumlah penduduk dunia pada tahun 1999, satu dasawarsa lalu, jelas berbeda dengan jumlah pendu­duk dunia hari ini (2008). Tendensinya selalu meningkat, dan menjadi indikasi terdapatnya peningkatan kesejahteraan hidup manusia, dari tahun ke tahun itu. Bila kita sadar, mencoba mengambil garis balik pendu­duk dunia dari masa ke masa, kita pasti akan melihat jumlah penduduk manusia di dunia, angkanya terus menurun.
Semakin jauh kita mundur ke belakang, semakin sedikit jumlah yang kita hitung. Akhirnya, kita sampai kepada hitungan awal, hanya dua orang saja (Adam dan Hawa). Dari sinilah, secara nyata, pertambahan penduduk itu. Cikal bakalnya, hanya sepasang, Adam dan Hawa Kemudian bertambah dan bertambah sangat alami, melalui pernikahan/perkawinan, mengikut hukum alam.
Agama Islam khususnya Al‑Qur’an, menje­laskan lebih rinci, di awali dari manusia seorang diri (Adam), kemudian daripadanya dijadikan seorang pasangan (Hawa). Dari keduanya berkembanglah manusia, hingga kini, esok dan seterusnya. (lihat QS.4 An‑nisa’ ‑ ayat 1). Karena itu bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah menciptakan manusia dan kehidupannya.
Manusia telah ditetapkan sejak awalnya untuk menjadi penduduk bumi. Manusia diberi tugas untuk membina segala sesuatu yag ada di seke­lilingnya, sehingga menunjang lahirnya peradaban sesuai harkat kemanusiaan. Manusia memerlukan alat untuk menyam­paikan maksud-maksurnya.
Harus ada upaya penyampaian dan alat untuk saling berhubungan, satu sama lain. Tanpa adanya hubungan ini, pembinaan peradaban dan kemanusiaan, tidak akan pernah terjadi. Jika hubungan atau komunikasi tidak ada, barangkali hakekat manusia dalam hidupnya, akan sangat lain bentuk dan perwujudannya, dari yang dapat kita rasakan hari ini. Ternyata, makin baik komunikasi antar manusia, akan makin terjalin hubungan sesama individu manusia ini.
Taushiyah di Hilton MakkahBahasa adalah alat penghubung paling pokok. Bahasa adalah alat untuk menyampaikan perasaan dan pengertian, juga anjuran. Para ilmuwan menyebutkan, bahwasanya bahasa adalah “anak kisah”. Kemudian, yang manakah ibu kandung bahasa itu? Ibu kandung bahasa adalah percakapan, atau kata‑kata yang diucapkan.

Taushiyah di Hilton Makkah
Alam menceritakan kepada kita, suatu kisah tentang anak yang dilahirkan “tuli”. Karena tidak tidak mendengar induk bahasa sejak mulai lahir, maka dia akan bisu. Dia tidak akan menggunakan bahasa ucapan, tetapi hanya bahasa isyarat. Dia tidak akan mampu mengutarakan maksud dan keinginannya dengan ucapan kata‑kata. Menurut saya, bahasa pembicaraan tidak ada kaitannya dengan persoalan darah, keturunan, daerah asal, bahkan juga tidak oleh ras maupun bangsa.
Sebuah misal saja, jika kebetulan saya mengambil seorang anak berdarah bangsawan, keturunan Arab dengan ibu Cina, yang tadinya melangsungkan perkawinan di Amerika, dan keturunannya yang dilahirkan di Swiss, sejak mulai lahir saya bahwa ke Minangkabau, di l­ingkungan keluarga saya yang Minang, dan saya besarkan dia di daerah yang selalu memakai bahasa Minang, maka ketika ia mulai pandai berucap, niscaya dia akan memakai bahasa Minang, bahasa yang sering didengar, itulah yang dipakai sebagai bahasanya.
Demikianlah pula halnya dengan kebiasaan-kebiasaannya. Jadi tidak dapatlah dimungkiri, bahwa lingkungan rumah tangga, ayaah dan budan, adalah pendidik pertama dan utama bagi satu generasi, di dalam berbahasda, berbudaya bahkan beragama dan beribadah. Inilah yang telah sering terabaikan. Bahasa dipakai sesuai dengan ruang lingkup pengguna bahasa itu.
Dengan demikian, mustahillah jika ada menuntut, kiranya Al Qur’an diturunkan dalam bahasa yang lain dari bahasa Arab kepada seorang utusan bernama Muhammad SAW, yang nyatanya hidup dalam lingkungan yang berbahasa dengan bahasa Arab itu.
Di sini terlihat satu ke’arifan dari Allah, yang dengan itu agama diajarkan sesuai dengan harkat kemanusiaan, dan kemudian agama itu dikembangkan terus menerus dengan sambung bersambung melalui dakwah dan tabligh, dengan memakai bahasa yang dimengerti oleh umat yang didakwahi (mad’uu).
Dengan demikian dakwah dapat mencapai sasarannya dan menjangkau umat yang didakwahi dengan mudah, sehingga untuk kita di Minangkabau, berpadulah dakwah dengan budaya dan istiadat, sehingga adagium adaik basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah tumbuh menjadi kaedah hidup dan kearifan lokal di daerah Minangkabau, sehingga umat tumbuh kembang dengan agama Islam sebagai anutan dan keyakinan.
Ajaran agama dan adat telah memotivasi kehidupan masyarakat sejak awal, dengan dakwah yang inklusif tidak jumud.
Kejadian manusia sungguh luar biasa. Kita yakin, manusia pertama itu, benar‑benar ada. Dan dia pasti tidak kera, tidak pula monyet. Tentulah manusia pertama itu adalah manusia juga, seperti kita. Itu pasti.
Sebelum seseorang menjejak di bumi, tentu ada manusia juga yang mendahuluinya, dan hubungan terpendek, adalah ibu dan bapak masing‑masing, bersambung terus ke atas, hingga sampai pada manusia asal, manusia pertama. Hukum ini, diterima oleh jalur pikiran manusia.
Di samping itu, sebelum kita ada, kita tidak tahu ada di mana, bahkan tidak tahu bagaimana keadaan kita. Alangkah minim­nya ilmu kita tentang diri kita, sebelumnya. Namun, ada keyakinan bahwa keberadaan kita pasti melalui satu proses “kelahiran“. Tidak seorang pun, yang kehadirannya ke bumi ini tanpa melalui “rahim ibu“, walaupun di dalam kemjuan ilmu pengetahuan dengan penciptaan “bayi tabung” sekalipun hingga hari ini.
Sungguh luar biasa, penciptaan manusia, menampilkan satu proses, dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, yang mengundang kita untuk merenung, dan selanjutnya akan melahirkan banyak pertanyaan tindih bertindih, dan akhirnya, hanya bermuara kepada Maha Suci Allah, Maha Pencipta.
Begitu juga, tentang “anak kisah” yang menemani manusia sepanjang usia, bahasa yang bermuara karena adanya kata‑kata, dan terpikirkankah bagaimana lahirnya kata‑kata itu di masa mulanya, dan apakah bahasa itu hadir begitu saja, dengan tiba-tiba, dan siapa pula yang mengajarkan pertama kalinya? Setiap kali kita menggunakan bahasa sering kali pula kita alpa mensyukurinya.
Berbahasa, adalah nikmat Allah yang tidak ada taranya. Kita lupa berterima kasih, karena kita enggan memerhatikan ciptaan Allah.
Keingi­nan mengucap terima kasih, enggan keluar dari lubuk hati kita, karena tidak mau tahu, atau tidak mau mengerti kepada siapa semestinya berterima kasih. Akal akan menjadi beku, karena tidak hendak menyelidiki nikmat Allah. Bahasa lahir, seiring dengan keberadaan manusia, kehidupan berkembang dengan bertambahnya bangsa dan panjangnya masa yang dilalui. “Dan Dia (Allah) ajarkan kepaa Adam nama‑nama (benda) seluruhnya” (QS. 2 Al‑Baqarah, ayat 31).
Peristiwa ini, sudah lama terjadi. Sejak bumi pertama kali didiami manu­sia pertama (Adam). Allah mengajarkan pengertian‑pengertian tentang benda‑benda, memberikan kepada manusia akal, yang mampu menyerap ilmu, kemudian mengungkapkan dalam berbicara. Manusia dibedakan dengan makhluk lain, di anta­ranya dengan kemampuan berbicara, dan mensyukuri ni’mat Allah.
Wahyu Allah, yakni Al‑Qur’an mengabarkan bahwa, Allah mengajarkan pertama kali pula kepada manusia, ilmu berkata‑kata, melalui pengenalan benda‑benda. Karena itu, menurut hemat saya, bagaimanapun bentuk ilmu pengetahuan pada saat sekarang dan masa datang, maka Al‑Qur’an tetap seba­gai sumber segala ilmu dan pengetahuan. Al‑Qur’an akan tetap menjadi penuntun manusia, agar tidak terjerumus kepada dalamnya jurang kehinaan.
Ketika syukur nikmat telah tiada, sebenarnya kita telah mengabaikan ilmu, yang merupakan pemberian Allah, dan senyatanya di ketika itu samalah halnya dengan orang‑orang yang tak berilmu. Karena, orang yang tidak berilmu pada hakekatnya adalah orang yang tidak berakal, dan salah satu tanda dari yang tidak berakal adalah tidak pandai berterima terima kasih.
Di sini letak ruang agama, yang menjadi tugas dan beban para du’at yang mengajak kepada substansi agama, tauhid, patuh, disiplin dan ibadah, yang dibebankan kepada hamba-hamba yang berakal.
Agama hanya bagi orang‑orang yang berakal, yakni orang-orang yang meningkatkan taraf kemanusiaan dengan keimanan, taqwa, akhlak yang mulia, dan mengerjakan yang diperintah, serta meninggalkan yang dilarang (amr bil makruf, nahyun ’anil munkar).
Lebih jelas, bahwa manusia yang tidak mau mengenal Allah Yang Maha Menjadikan manusia itu, tentulah akan sangat sulit dituntut untuk bersyukur kepada tuhannya, bahkan lebih sulit lagi untuk diajak berterima kasih kepada semua manusia. Dari sini lahirlah pengabaian syariat agama, dan timbullah kehidupan serba boleh dan anarkis.
Syukur dan terima kasih dibuktikan dengan ketaatan,kepatuhan, penghambaan dan pengabdian, karena merasakan diri kecil di hadapan Yang Maha Pemberi, Maha Rahman dan Maha Rahim.
Pengham­baan, adalah bentuk dari kecintaan (mahabbah) yang luhur, karena siapa yang mencintai sesuatu, berarti dia bersedia menghambakan diri kepada yang dicintainya. Ajaran agama, sangat berbeda dengan ilmu‑ilmu penge­tahuan ciptaan manusia. Ilmu pengetahuan, mengarah kepada persoalan yang khas duniawi, bersifat mengembangkan teori, mengadakan eksperi­men, tidak mampu merobah watak manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan hanya mampu memindahkan “pengetahuan”, kepada siapa yang mempelajarinya.
Namun ajaran Agama, mengarah kepada pengubahan watak manu­sia, yang berpengaruh kepada tingkah laku dalam kehidupan.
Ajaran agama mengikat gerak dan jalan manusia, sesuai dengan perintah agama (perin­tah‑perintah dan wahyu Allah SWT), untuk setiap persoalan hidup manusia. Ajaran agama, menunjukkan seluruh problematik kehidupan manusia, berikut cara penyelesaian­nya.
Ajaran agama yang bersumber dari Allah, dalam agama Islam dengan berpedoman Al Qur’an, dapat menyembuhkan penyakit yang melanda masyarakat manusia. Penyakit masyarakat itu hakikinya lahir karena kejahatan atau kerusakan moral manusia sendiri. Maka semua penyakit dan wabah yang merusak nilai‑nilai kemanusiaan, akan dapat disembuhkan secara total oleh ajaran agama, jika masyarakat manusia itu benar‑benar taat mengikuti ajaran agama Allah itu.
Di sinilah peran utama para du’at dan meballigh, memasyarakatkan ajaran agama dengan contoh amal dan perilaku yang konsisten (istiqamah) tentunya.
Agama Islam dapat menangkal ancaman kerusakan dan kebejatan yang melanda masyarakat manusia, jika umat mau mengamalkan ajaran Islam itu. “Dan kami turunkan dari Al‑Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang‑orang yang beriman“. (QS.17 Al Isra’, ayat 82).
Syifaa‑un atau penawar, adalah obat dari segala penyelewengan dan kejahatan di tengah kehidupan manusia. Rahmatan, atau “rahmat”, adalah penangkal, pencegah penyakit, yang merusak nilai‑nilai kemanusiaan itu.
Para Ulama, para ilmuan, para du’at dan semua elemen masyarakat Islam yang ada di bumi ini memikul tugas suci, memelihara nilai‑nilai kemanusiaan dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh Maha Pencipta, “Dan tidaklah diciptakan manusia, juga jin, melainkan hanya untuk pengabdian kepada KU (Allah)”, (Al‑Qur’an, Surah Adz-Dzariyat).
Pengabdian kepada Allah (beribadah), adalah memung­sikan akal, dan menempatkan manusia pada konsentrasi yang benar. Dengan demikian, amatlah jelas bahwa agama tidak hanya berurusan dengan masalah akhirat semata, namun juga lebih mengatur hakekat hidup manusia di dunia ini. Sebab, yang akan sampai di akhirat adalah manusia yang pernah lewat di dunia ini jua adanya.
Sekarang, mungkin kita akan bertanya ke diri kita masing-masing, sudahkah kita hidup sesuai dengan harkat manusia diciptakan itu? Dan dapatkah kita merasakan, betapa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memanggil dengan penuh kasih sayang‑Nya masihkan kita mengelak jauh dari Ajaran agamaNya?
Sahutilah segera dengan amal kebaikan, dan tunaikan segera kewajiban yang terpikul di pundak, dan peringatkan manusia keliling agar tetap ada pada harkat martabat kemanusiaan, dan jangan berhenti tangan mendayung, sebab sederas-deras aliran sungai jika masih tetap berdayung niscaya perahu tidak akan dibawa hilir.
Sebaliknya, setenang-tenang aliran jika sudah enggan berdayung niscaya arus akan membawa hanyut. Ini tugas kita umat pendakwah.
Moga Allah selalu memberi kekuatan. Amin.

 http://buyamasoedabidin.wordpress.com/2008/09/16/dakwah-agama-islam-menjadikan-hidup-bermartabat/#comment-103



 
Top