By Tri Lokon - Apakah anda bisa “berdialog” dengan binatang? Apakah binatang bisa mengerti maksud dari perintah anda? Pertanyaan reflektif ini memang tidak harus dijawab. Cukup dimengerti dan dipahami bahwa, hal itu terkait dengan konsep otonomi dan korelasi antar substansi yang berdikari dan berhubungan timbal balik dengan saling memberikan arti dan nilai, dan tentu saja saling mengadakan.
Laba-laba (dok.pri)
Jika anda mendekatkan diri untuk berkomunikasi dengan binatang atau berusaha berdialogi dengan binatang, secara Antropologis Metafisik, anda bersama-sama binatang itu berada dalam situasi dan kondisi yang berotonomi di dalam korelasi dan berkorelasi di dalam otonomi. Korelasi di sini bisa diperjelas dengan kata lain yaitu hubungan timbal balik atau bisa sejajar, namun kodrat dan esensinya masing-masing berdikari dan tak tergoyahkan.Berdasarkan keterangan singkat itu, komunikasi manusia dengan binatang bisa terjadi meski levelnya tidak sekuat antara manusia dengan manusia. Komunikasi verbal barangkali jarang ditemukan. Namun, komunikasi saling mengadakan dan saling berpengaruh satu sama lain dan saling memberi arti dan nilai, jelas pasti akan terjadi.
Weekly Photo Challenge ke 19, kali ini menyodorkan tema unik yaitu Animal and Pets Photography atau fotografi tentang binatang apa saja dan atau binatang yang dipelihara di rumah. Tantangan kali ini sangat menarik karena saya tidak suka memelihara binatang. Dulu pernah punya anjing dan burung di dalam sangkar. Namun karena ketidak-ajegkan dalam perawatan dan pemeliharaan, yang disebabkan oleh kesibukan maka akhirnya meninggalkan saya dalam kematian.
Kali ini saya merasa ditantang untuk “hunting” binatang yang bukan dipelihara atau binatang “wildlife” begitu kesukaan saya menyebut jenis bintanag yang saya potret itu. Tentu saja, bukan binatang yang ganas nan buas yang saya potret. Tetapi, binatang yang kalau di lihat dari kasat mata tidak cantik dan kadang bikin kulit gatal atau teman putri saya bilang “menjijikkan” alias geli melihatnya. Pada hal binatang itu sama sekali nggak disentuh, apalagi dipegang erat-erat. Cuma melihat saja sudah geli pisan.
Reaksi itu sudah menjelaskan bahwa manusia dan binatang berotonomi dalam korelasi dan korelasi dalam otonomi hingga sampai pada perasaan, perkataan dan sikap manusia yang dipengaruhi dalam kebersamaannya untuk saling memberikan arti dan nilai.
Bagi saya, binatang-binatang yang saya potret seperti dalam foto yang saya lampirkan dalam tulisan ini, bukan tanpa arti dan makna. Banyak makna dan arti saya dapat setelah me-review foto-foto yang saya dapatkan dari binatang-binatang itu. Pemahaman antropologis metafisik yang saya uraikan di awal tulisan, sangat membantu saya dan memperteguh diri saya sebagai mahkluk sosial yang bersama dan sekaligus berbeda.
Dari mata turun di hati. Meski awalnya melihat binatang itu (lalat, ulat, kumbang, semut, belalang dsb) itu tak sedap dipandang mata alias tak indah serta menjijikkan, namun ketika saya foto secara macro dan kemudian melihat hasilnya, saya berucap dalam batin, “Kecil itu indah”. Keindahan si kecil terletak pada saat saya bisa mendekatkan diri padanya dan dalam komunikasi bersama dengan si kecil saya mendapat sikap damai dan tak pelak lagi mengucap syukur kepada Sang Pencipta atas ciptaanNya bagi manusia.
Secara substansial, ke”aku”an saya dengan binatang secara kodrat dan hakiki berbeda jauh bahkan tak se level. Justru, perbedaan itu menciptakan kekaguman yang bersahabat karena dengan binatang itu saya mendapatkan foto-foto indah karena perbedaannya dengan saya. Sementara itu, memang saya tidak mengetahui apa penilaian binatang terhadap kekagumannya terhadapnya. Yang jelas, setelah saya foto, saya kemudian mengembalikan binatang itu ke “alam” habitatnya dan tidak sama sekali membunuh atau melukai. Perbuatan saya ini, barangkali membuat “yang tidak bisa bicara” itu menjadi senang dan bahagia bahwa sebagai mahkluk kecil “eksistensi”nya masih dihargai oleh manusia.
Binatang-binatang yang saya foto ini juga meneguhkan keyakinan iman saya pada Sang Pencipta. Pendek kata, tak ada ciptaan Tuhan yang tidak sempurna. Coba lihat foto binatang itu pada lekukan detilnya yang memukau dan menghembuskan sekali lagi nada kemolekkan binatang itu. Mempertahankan kemolekkan kadang susah dan sebaliknya nafsu manusia suka merusak keindahan dengan cara membuat suasana tidak damai. Sikap seperti ini mengingat saya pada prinsip “homo homini lupus” atau manusia menjadi serigala bagi yang lain. Bermusuhan kok nggak pernah berhenti ya.
Itulah binatang dalam otonomi dan korelasinya dengan manusia. Saling memberi arti dan nilai meski berbeda dan bersatu. Saling berhubungan timbal balik meski tidak saling membunuh. Saling meneguhkan iman meski berbeda cara. Yang jelas, fotografi binatang itu membuat saya semakin sadar diri bahwa manusia itu mahkluk sosial dan mahkluk berbudi serta mahluk beradab yang tak pernah putus dalam koneksitasnya pada Sang Pencipta, Sang Pemberi hidup dan kehidupan.
Jika dewasa ini manusia “lebih suka” menciderai otonomi-dan-korelasinya dengan binatang dengan menjungkirbalikkan nilai dan maknanya, secara antropologi metafisik, manusia justru seperti binatang dan melukai kemanusiaan dirinya yang tak saling memberi arti dan nilai pada keindahan, kedamaian, kebaikan dan kesejahteraan serta nilai-nilai kehidupan (living values) lainnya.
Secara fisik, besar kecilnya binatang memang dapat dilihat oleh mata. Apakah jinak atau buas binatang itu juga kadang tergantung sudut pandang kita. Antropologi Metafisik mengurai bagaimana manusia dan binatang bisa hidup damai meski berbeda. Bisa saling mengagumi meski dengan cara berbeda. Bisa bertumbuh bersama jika satu sama lain menghargai keunikan dan kekhasannya dalam kebersamaan,
Mengapa terjadi “tragedi sampang berdarah”? Mengapa harus ada tragedi penembakan manusia di Papua? Mengapa terjadi dekadensi moralitas seperti korupsi, pemerkosaan, penganiayaan dan lain sebagainya?
Tulisan tentang WPC XIX, Animal and Pets Photography
http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/30/damai-itu-indah-wpc-19/