BERITA: HANGATNYA berita rumpon mengawali panasnya kampanye politik di Kota Kupang. Para nelayan seolah mau bersaing menggalang masa untuk menyampaikan keinginan mereka diantara janji manis para calon walikota Kupang. Pihak pertama dikomandoi ketua HNSI Kota Kupang dengan menggelar protes akan keberadaan rumpon yang mengakibatkan gerak nelayan lokal terbatas dan tangkapan makin menurun.
Pihak kedua yaitu para nelayan yang meningkat pendapatannya dengan kehadiran rumpon termasuk
para pendatang yang memiliki modal dan fasilitas yang lebih baik. Dinas Kekautan dan Perikanan Provinsi NTT pun berusaha menengahi dengan menawarkan opsi pengelolaan bersama atau penertiban rumpon. Kesulitannya adalah kedua belah pihak memiliki argumentasi tersendiri yang intinya adalah memohon pemerintah memperhatikan manajemen perikanan di daerah.
Pihak kedua yaitu para nelayan yang meningkat pendapatannya dengan kehadiran rumpon termasuk
para pendatang yang memiliki modal dan fasilitas yang lebih baik. Dinas Kekautan dan Perikanan Provinsi NTT pun berusaha menengahi dengan menawarkan opsi pengelolaan bersama atau penertiban rumpon. Kesulitannya adalah kedua belah pihak memiliki argumentasi tersendiri yang intinya adalah memohon pemerintah memperhatikan manajemen perikanan di daerah.
Sektor perikanan sebenarnya memegang peran penting dalam kesejahteraan masyarakat. Penyediaan lapangan pekerjaan terutama berpendidikan rendah, sebagai sumber devisa yang potensial dan memasok hidangan bernilai gizi tinggi. Sebagai makanan misalnya, ikan mengandung protein tinggi yang mudah diserap dibanding protein hewani lainnya. Ikan juga mengandung, Omega 3 (EPA dan DHA) untuk perkembangan otak, berbagai vitamin serta bermacam mineral penting yang dibutuhkan tubuh. Selain mudah didapat dan diolah dengan berbagai rasa yang lezat, ikan juga memiliki banyak variasi ukuran, jenis dan harga yang membuatnya bisa dinikmati semua orang tanpa batasan kaya dan miskin.
Manfaat besar yang diperoleh dari ikan sebagai makanan tidak berbanding lurus dengan mereka yang mengusahakan sehingga tiba pada piring kita. Nelayan lebih diidentikan dengan masyarakat miskin, berpenghasilan kecil dan kesejahteraan rendah. Mahalnya harga ikan sebenarnya menunjukan betapa kerasnya hidup di laut. Janganlah kita berpikir menangkap ikan semudah acara Mancing di salah satu televisi swasta. Tidak segampang menebarkan jala di sebelah perahu dan menariknya penuh dengan ikan. Bagi para nelayan, melewati malam dengan angin laut yang dingin, siang terik tanpa pohon peneduh adalah hal biasa. Tapi semuanya tiada artinya tanpa peralatan menangkap ikan.
Bila senjata adalah istri kedua tentara, begitupun perahu dan alat tangkapnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seorang nelayan. Itu adalah aset termahal yang mereka punya. Perahu dan alat tangkap sederhana harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Itupun tidak menjamin bahwa turun melaut pasti mendapatkan hasil tangkapan. Dengan biaya operasional seperti solar, es curah, ransum dan lainnya serta resiko kecelakaan laut, hasil jualan dari ‘berburu’ ikan belum tentu menutup semua pengorbanan yang ada. Belum termasuk pengaruh luar seperti musim barat, bulan terang dan proses perijinan membuat mereka tidak bisa melaut. Kesulitan juga tiba saat melihat nelayan dan kapal bertambah banyak sedangkan laut tidak bertambah lebar. Saingan membuat semuanya makin sulit.
‘Laut telah menyediakan ikan, kita tinggal mengambilnya’ adalah ungkapan yang membuat sektor perikanan menarik banyak orang. Himbauan Gerakan Masuk Laut (Gemala) terus disuarakan pemerintah. Berbagai jenis alat tangkap dikembangkan, metode penangkapan diperbarui serta kapasitas kapal penangkap diperbesar untuk menangkap sebanyak-banyaknya. Metode lama mendeteksi ikan dengan melihat burung dan lumba-lumba sudah diganti dengan alat Fish Finder dan pencitraan satelit yang mampu mendeteksi ikan didalam laut. Mengamati bintang sebagai navigasi sudah diganti GPS dengan keakuratan tinggi. begitu juga prinsip mencari dan mengejar ikan sudah diganti ‘memanen’ ikan dengan bantuan rumpon. Rumpon menciptakan suatu ekosistem baru rantai makanan sehingga menjadi wilayah bermain ikan. Tentu lebih mudah menangkapnya daripada mengejar kawanan ikan kesana kemari. Ini yang membuat efisiensi penangkapan yang berdampak pada penghematan biaya operasional.
Harus diakui budaya melaut nelayan lokal tidak sekuat nelayan pendatang. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan kemampuan nelayan lokal baik itu bantuan perahu, kapal berukuran sedang (5-10 GT), mesin, coolbox, alat tangkap, Fish Finder, GPS dan lainnya agar bisa menangkap lebih jauh dan lebih banyak. Akan tetapi Kelebihan-kelebihan yang dimiliki nelayan besar (dibaca pengusaha perikanan) baik itu modal, sarana prasarana dan keahlian inilah yang membuat mereka dapat mengendalikan pasar bidang perikanan. Dengan memasang banyak rumpon yang dipasang berjajar pada jalur migrasi ikan, mereka sanggup menangkap ikan dengan jenis dan kualitas ekonomis tinggi bahkan di saat musim barat yang sulit sekalipun. Hal inilah yang membuat nelayan lokal makin tersudut.
Tingkat konsumsi ikan di Kota Kupang paling tinggi di NTT dan terus menunjukan peningkatan. Ikan di pasar-pasar ikan selalu habis terserap masyarakat. Mayoritas ikan yang dijual berasal dari sekitar teluk Kupang. Ribuan nelayan baik itu dari Kota Kupang dan Kabupaten Kupang serta nelayan pendatang tiap hari mencari nafkah di wilayah yang juga masuk kawasan konservasi ini. Menyisir pinggiran teluk kupang hingga ke perairan bebas dengan perahu-perahu kecil yang rentan dipecahkan gelombang. Mencari ikan dengan secara konvensional sampai terlarang seperti penggunaan bom ikan yang menghancurkan ekosistem seperti terumbu karang. Disadari atau tidak bahwa potensi perikanan di suatu wilayah punya titik jenuh. Penangkapan yang berlebihan dan sembarangan tanpa memperhatikan jenis dan ukuran ikan dapat mengakibatkan penurunan populasi. Ikan Napoleon yang dilindungi pun tetap dtangkap. Untuk menjaga keberlanjutan ekosistem, ikan yang tertangkap harus dipastikan telah berukuran dewasa dan melewati fase matang gonad (siap bertelur). Misalnya ikan cakalang akan masuk pada fase matang gonad pertama kalinya pada ukuran 40 cm. Penangkapan dibawah ukuran tersebut lambat laun akan berkurang jumlahnya karena belum sempat berkembang biak. Masih teringat melimpah dan murahnya ikan di Kupang pada awal tahun 1990an berlanjut hingga kini.
Banyak daerah penangkapan di bagian barat Indonesia yang mulai tutup karena kehabisan stok ikan. Beberapa daerah lainnya mulai membatasi nelayan luar masuk mencari ikan. Batas antar kabupaten di laut makin terlihat jelas. Ikan pelagis (permukaan) yang bersifat selalu berpindah-pindah diklaim sebagai milik suatu daerah. Potensi konflik di bidang perikanan semakin besar saat tuntutan ekonomi semakin besar. Pengkotakan wilayah laut dapat berdampak pada kondisi sosial masyarakat di daratan. Apakah kita siap untuk sampai tahap seperti itu?
Sektor perikanan dapat menjadi sektor penting bagi kesejahteraan suatu daerah bila dikelola dengan baik. Peran pemerintah dan partisipasi masyarakat harus saling mendukung mengingat laut yang dikelola sangatlah luas. Pemerintah telah menyiapkan aturan dan kebijakan. Peningkatan kapasitas nelayan lokal juga diperhatikan dengan pelatihan-pelatihan. Selain pemberian bantuan sarana prasarana bagi masyarakat, pemerintah juga dapat memfasilitasi para nelayan untuk mendapatkan bantuan modal dari bank atau koperasi. Fungsi pengawasan oleh pemerintah diakui terbatas pada SDM dan sarana pengawas. Tapi saat ini masyarakat juga memiliki peran pengawasan yang kuat dengan terbentuknya kelompok-kelompok pengawas (Pokwasmas) . Bila pelaksanaannya berpotensi menimbulkan konflik, marilah kita duduk bersama untuk membicarakan jalan keluarnya. bukan sekadar menggalang masa seperti kampanye. Semoga kesejahteraan nelayan bukan hanya menjadi jargon politik.
Sumber Berita: http://likyled.wordpress.com/2012/04/24/ikan-dan-kesejahteraan-nelayan/