Saat ini memang rumpon sudah menjadi berita hangat akhir-akhir ini. Ada apa sebenarnya dengan Rumpon??. Para nelayan lokal mengeluhkan pemasangan rumpon oleh para nelayan luar  daerah di sekitar teluk kupang. Hal ini mengakibatkan terjadinya  penurunan penangkapan oleh nelayan kecil. Kejadian ini telah  berlarut-larut dan puncaknya adalah demonstrasi nelayan dibawah  koordinasi Ketua HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Kota Kupang   pihak lain malah membuat demontrasi tandingan. Mereka menuding HNSI yang  iri karena hasil tangkapan mereka tidak dibeli pedagang ikan. Rumpon  yang secara tradisional telah lama dipakai terutama oleh para nelayan  dari Mamuju, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur kini seolah menjadi  bumerang.
Sebenarnya apa itu rumpon? Rumpon atau Fish Aggregating Device  bukanlah alat tangkap ikan seperti halnya pukat, pancing atau jaring.  Begitupun tidak merupakan alat tangkap pasif seperti bubu atau perangkap  ikan lainnya.  
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor  PER.02/MEN/2011, rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan  dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda  padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul (Pasal 19).   Rumpon pada umumnya memakai pelampung (bambu), mengikatkan daun (kelapa  atau lontar) sebagai pemikat ikan serta jangkar atau pemberat untuk  membuatnya menetap.  Dalam jangka waktu tertentu maka rumpon akan  menjadi tempat berkumpulnya ikan karena berkaitan dengan pola jaring  makanan. Pertumbuhan bakteri dan alga akan menarik ikan-ikan kecil tentu  juga memikat ikan-ikan besar yang menjadi predatornya. Hal inilah yang  menjadikan rumpon menjadi lokasi penangkapan yang potensial bagi para  nelayan.Rumpon memiliki fungsi utama sebagai tempat berkumpulnya ikan dan  menjadikannya sebagai daerah penangkapan ikan. Ikan-ikan yang  bergerombol di sekitar rumpon lebih mudah ditangkap daripada individu  ikan yang tersebar dan bergerak bebas di perairan luas . Penempatan  rumpon pada jalur migrasi ikan dan wilayah subur plankton merangsang  ikan berhenti,  menetap dan bergerombol membuatnya sifat penangkapan  lebih pada memanen ikan. Rumpon memberi manfaat besar dalam meningkatnya  keberhasilan operasi penangkapan. Selain itu lama operasi penangkapan  yang berujung pada biaya operasional dapat dihemat. Kapal tidak perlu  berputar-putar mencari ikan karena tinggal mengarahkan pada posisi  rumpon.
Manfaat yang besar dari rumpon membuat alat bantu ini menjadi favorit  para nelayan. Betapa tidak, keuntungan yang melimpah dengan operasional  yang minim. Tapi tidak segampang itu. membuat dan memasang rumpon  tidaklah mudah. Harganya yang mahal membuat rumpon hanya bisa dipasang  oleh pemodal besar. Pengusaha perikanan yang memiliki kapal penangkap  ikan yang besar biasanya akan memasang banyak rumpon. Ini berkaitan  dengan lamanya operasi penangkapan ikan. Semakin lama operasi  penangkapan ikan akan semakin banyak rumpon diperlukan karena satu  rumpon yang baru saja dipanen memerlukan waktu untuk didatangi lagi oleh  kawanan ikan.
Rumpon yang makin banyak dipasang malah menimbulkan masalah. Wilayah  pemasangannya juga merupakan daerah strategis migrasi ikan dan subur  plankton tentu tidak luas. Pemasangannya yang tidak diatur yaitu terlalu  dekat dan berjajar terlihat ‘memagari’ ikan sehingga tidak meneruskan  perjalanannya. Ini mengakibatkan kejenuhan atau kepadatan rumpon di  suatu area. Tentu saja berakibat pada menurunnya hasil tangkapan pada  sekitar rumpon. Dampaknya juga pada hasil tangkapan nelayan non rumpon  yang umumnya adalah nelayan kecil. Sulitnya mencari ikan membuat mereka  mencari di luar ‘pagar’ rumpon atau di perairan yang lebih jauh.  Operasional mencari ikan yang makin besar, waktu mencari yang dibatasi  cepatnya ikan membusuk dan resiko keselamatan karena menggunakan kapal  kecil membuat nelayan kecil makin sulit. Harga ikan yang sulit bersaing  dengan nelayan rumpon membuat hasil penjualan ikan terasa tidak  menguntungkan.
Hal inilah yang terjadi pada daerah Teluk Kupang. Wilayah perairan  konservasi laut sawu yang didalamnya meliputi Teluk Kupang merupakan  daerah migrasi berbagai jenis ikan. Ikan-ikan pelagis (permukaan) besar  maupun kecil yang senang berenang bergerombol memiliki jalur tetap. Ikan  tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, tembang dan lainnya akan berhenti  pada area yang memiliki sumber makanan. Rumpon adalah salah satunya.  Bila rumpon tidak diatur pemasangannya bukan saja mengancam nelayan  kecil tapi juga konservasi perikanan di suatu perairan. Betapa tidak,  penangkapan ikan perlu disesuaikan antara jenis ikan dan ukuran pukat.  Ikan yang tertangkap harus dipastikan telah berukuran dewasa dan  melewati fase matang gonad (siap bertelur). Artinya jangan menangkap  ikan yang masih remaja atau belum berkembang biak. Ini dapat merusak  sumber daya ikan di wilayah tersebut. Mengingat rumpon merupakan satu  kesatuan alat tangkap yang tidak dilarang pemerintah, maka disilah peran  pemerintah mengaturnya.
Pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan  peraturan Nomor PER.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan  Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di  Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Laut Sawu dan  Laut Timor Bagian Barat masuk dalam zona WPP-NRI 573 (Pasal 5 ayat (2)  huruf b). Pada wilayah ini pemakaian rumpon  sebagai Alat Bantu  Penangkapan Ikan (ABPI) yang disatukan dengan Alat Penangkap Ikan (API)  tertuang pada pada pasal 22 ayat (2) dan (4). Pemakaian rumpon hanya  diijinkan pada Jalur Penangkapan Ikan II (4-12 mil) dan III (ZEEI dan  >12 mil). Itupun sudah dibatasi hanya untuk menangkap ikan pelagis  besar memakai Pukat Cincin (Purse Seine) dengan ukuran pukat (mesh  size), dan tali ris atas dengan ukuran tertentu serta dibatasi kapasitas  dan jenis kapal motor yang dipakai.
Sesuai dengan kewenangannya dalam memberikan ijin serta monitoring  dan evaluasi, Jalur Penangkapan Ikan II berada di tangan Dinas Provinsi  Nusa Tenggara Timur dan Jalur Penangkapan Ikan III pada Direktorat  Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan. Secara  tidak langsung juga menunjukan bahwa pemerintah kota/kabupaten di  perairan dibawah 4 mil zona WPP-NRI 573 tidak dapat menerbitkan ijin  penggunaan rumpon. Artinya bila rumpon yang tersebar di sekitar teluk  Kupang (diatas 4 mil dari garis pantai) tidak memiliki ijin dari 2  instansi diatas maka dianggap ilegal dan harus ditindak. Pelanggaran  akan aturan ini memiliki sanksi yang cukup berat yaitu denda 250 juta  rupiah dan untuk nelayan kecil sebesar 100 juta rupiah (Pasal 100 dan  Pasal 100C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan  sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009).
Teluk Kupang didalam perairan Laut Sawu adalah wilayah yang luas.  Perlu diingat bahwa pengawasan perairan saat ini bukan merupakan domain  pemerintah saja. Masyarakat juga memegang peranan penting dalam  pengawasan tersebut. Pelaporan pelanggaran perlu disikapi secara serius  dengan melakukan koordinasi dengan aparat yang berwenang. Hukumlah yang  seharusnya ditegakkan, jangan memandang bulu. Tidak tajam kebawah dan  tumpul ke atas. Penegasan hukum pada kasus rumpon maupun kasus kelautan  dan perikanan yang lain ini perlu diperhatikan semua pihak agar tidak  ada yang dirugikan. Baik itu nelayan kecil maupun para pengusaha  perikanan yang hidupnya bergantung pada laut. Begitu juga untuk  keberlanjutan sumber daya perikanan di perairan Teluk Kupang. Kapal dan  alat tangkap yang makin banyak yang berpotensi overfishing  (penangkapan berlebihan) dan rusaknya lingkungan perairan membuat kita  semua harus peduli. Bukankah jumlah dan ukuran ikan yang ditangkap makin  hari makin kecil. Marilah kita tetap berharap ikan yang kita makan hari  ini juga tersedia bagi anak cucu kita.