Mungkin Anda punya kebiasaan dan kegemaran Memotret, Tapi kalau menurut saya Memotret  hewan jauh lebih sukar daripada merekam visual benda-benda. Mahluk hidup bergerak, punya karakter tersendiri dan menuntut sejumlah peralatan untuk memotretnya. Dan lagi -tidak seperti manusia- binatang sulit untuk diarahkan, kecuali binatang peliharaan yang memang jinak dan terlatih untuk disuruh berpose.
Tapi saya suka memelihara ikan terutama yang hidup  di air asin, hanya saja selama ini punya kendala banyak merekam  keindahan mereka: pencahayaan minim, ikannya berenang terus, belum punya  SLR pula. Lantas bagaimana? Ya akal-akalan…hehehe….
.
Contohnya ini, ikan badut (Premnas biaculeatus) hidup soliter jika di laut, hanya bersahabat dengan anemone (jenis invertebrata). Saya senang lihat-lihat ikan itu yang masih dalam plastik (lebih gampang njepretnya soalnya…hahaha..). Jika kamera kita tak dilengkapi dengan lampu kilat yang memadai atau shutter speed yang maksimal, maka mustahil merekam kelucuannya dalam akuarium.
Sisi lain patut disayangkan, penangkapan ikan hias masih banyak yang menggunakan  potasium sianida. Selain merusak terumbu karang di sekitarnya, juga  membuat organ tubuh hewan tersebut tidak normal. Sehingga paling-paling  hanya berumur setahun-dua tahun di akuarium. Beberapa hobiis mengeluh,  dalam hitungan hari ikan badut itu tak bernafas lagi, padahal kondisi  akuarium bagus mutu airnya.
 .Banggai Cardinal Fish atau bahasa pasarnya ikan capungan, warnanya tidak seatraktif spesies lainnya, namun gerakannya yang tak  terlampau lincah membuatnya gampang difoto. Ikan ini populer di seluruh  dunia sebagai teman terumbu karang, sebab Cardinal Fish tidak suka  mengganggu keberadaan coral-coral tersebut. Gampang  dipelihara dan relatif murah harganya. Hanya saja populasinya terancam  punah mengingat ikan ini hanya terdapat di perairan Pulau Banggai,  Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi tengah.
.
Nah, ini akuarium laut Ayah saya, keren kan? Isinya penuh dengan aneka terumbu karang (coral) yang berasal dari berbagai laut di Indonesia. Sebagian harganya mahal, yang lainnya lagi terjangkau. Coral-coral tersebut bentuknya seperti tanaman, ada pula yang mirip jamur atau pohon, namun semuanya adalah hewan invertebrata alias binatang yang tak mempunyai tulang belakang. Mereka punya mulut, “tangan” untuk meraih makanan, dan alat reproduksi. Beberapa mempunyai alat bergerak sehingga mampu berpindah tempat.
Pemeliharaannya ribet, membutuhkan suhu sekitar 25 derajat celcius, harus diberi lampu yang terang  benderang dan secara periodik menginginkan pergantian air laut. Sistim  filterisasinya juga rumit, seperti memadukan filter mekanis, biologis  dan kimiawi. Beberapa alat untuk mengukur kebersihan  air mutlak dimiliki seperti pengukur salinitas (kadar garam),  penghitung Ph, Nitrat, Nitrit, suhu dan sebagainya. Dan bagaimana  menempatkan filter itu sehingga tidak kelihatan adalah masalah  tersendiri. Tapi gini ya, kenapa kita nggak mencoba, sehubungan dengan  Indonesia adalah negara yang kaya akan terumbu karang. Sayang banget kalo hobiis akuarium laut justru datang dari Jepang, Amerika dan sebagian negara Eropa.
Oh iya, jika Anda melihat ada warna-warna yang menyolok  dari foto di  atas, itu memang asli. Sebahagian spesies karang  mempunyai kandungan  fosfor lantas menebar nuasa cerah jika terkena  sinar dengan spektrum  tertentu. Lampu yang digunakan pada akuarium ini, selain Metal Hilede dengan suhu warna 5500 derajat Kelvin, menggunakan pula lampu neon khusus akuarium laut dengan suhu warna 20.00 derajat Kelvin.
.
Waktu kecil saya gemar sekali dengan kelomang, apalagi pas  main-main di pantai, pulangnya pasti membawa mahluk lucu yang pemalu  itu. Dahulu belum tahu kenapa dalam hitungan minggu mereka keluar dari  rumahnya dan esoknya mati. Sekarang mengerti bahwa mereka butuh cangkang  baru sesuai perkembangan tubuhnya. Mereka bukan binatang yang membangun “rumah” sendiri. Sebab itu saya hampir tak pernah lagi membelinya, adalah hal yang sulit jika harus menyediakan kelomang kosong untuk jaga-jaga. Berapa banyak yang harus saya punya, dan bagimana ukurannya? Saya bingung.
Cara memotretnya yang paling gampang adalah ke tempat pusat penjualan ikan, pagi-pagi. Di sana biasanya ada berapa kios yang menjual hewan bercangkang keras ini. Cahaya pagi yang deras sinarnya memudahkan saya untuk memotretnya.  Sedikit kesabaran diperlukan, karena kelomang hewan pemalu dan mudah  terkejut, lalu menyembunyikan diri di dalam rumahnya.
.
Belakangan ini saya gemar memelihara ikan jenis Cichlid seperti Demasoni (Pseudotropheus demasoni) dan Lemon yang warnanya kuning (Labidochromis Lemon Cichlid) selain pemeliharaannya mudah, harganya cukup murah. Dua-duanya penghuni air tawar yang berasal  dari Afrika, dikembangbiakan melalui budi daya di berbagai negara. Saya  suka sebab warnanya “ngejreng”….wkwkkw. Tapi motretnya susah banget,  dari seratus lebih jepretan cuma 5 frame yang layak tampil di sini.
.
Ini kucing punya Tante saya, tidak tau apa jenisnya, yang jelas lucu dan pemalu. Lihat matanya yang besar,  jadi ingat Garfield -nama tokoh kartun. Merekam visual mamalia rumahan,  tidak sesulit motret mahluk dalam air. Kita bisa memakai cahaya  seadanya yang masuk lewat jendela, atau pekarangan.
 .Sampai detik ini saya belum  pernah memotret ulat bulu, entah kenapa kalau dicari justru nggak  ketemu. Suatu hari, tetangga saya menelpon hanya untuk member tahu bahwa di rumahnya ada ulat hijau seksi yang mungkin bagus untuk dipotret. Untuk sebagian pemotret (terutama perempuan) ulat ini bukan objek yang menarik, geli melihatnya -kata mereka.
 .Sebagai peserta Animal & Pets  Photography sebagai tema WPC kali ini, kurang afdol rasanya jika tak  menyertakan foto kupu-kupu. Hewan bersayap yang ngetop sebagai bahan penulisan fiksi adalah salah satu yang tersulit  merekam keindahannya. Dia terus bergerak terbang. Dan tidak semua  kupu-kupu bagus difoto, kadang warnanya kurang kontras dengan sekitar,  kadang saya bingung musti menunggunya di mana.  Untung di grup Kampret  anggautanya berbaik hati membagi pengalaman, salah satunya adalah  membeiri informasi bahwa memotret serangga terbaik pada pagi hari,  dimana mereka (kupu-kupu) sibuk mencari makan dan jarang bergerak jika  sudah menemukan tempat aktifitas makannya.
.
Sama halnya dengan kupu-kupu, lalat juga objek favorit bagi mereka yang belajar  memotret seranggga kecil. Fasilitas makro mutlak diperlukan ditambah  kaca pembesar sebagai alat bantu pembesaran sasaran foto.
.Selain ikan, serangga dan ulat, burung juga termasuk hewan yang susah  dipotret. Mereka tinggi terbangnya, belum tentu hinggap di dahan,  kadang meloncat-loncat dari satu pohon ke pohon lain. Sekalinya  menemukan yang diam  bertengger, eh malah kabur saat saya mendekatinya. Lensa kamera saku  saya paling panjang 105mm, tidak mungkin bisa terlampau dekat menjangkau  visualnya. Sebagai perbandingan, para ahli fotografi burung (birding)  menggunakan lensa 300mm hingga 1000mm….hihihi.
Yang bisa saya lakukan adalah mengamati di mana mereka pagi-pagi biasa hinggap, lalu mencoba memotretnya dari jarak yang cukup aman, agar mereka tidak kabur. Gambar di atas adalah hasil croping 50% dari file aslinya.
Jika sebagian besar orang berkata bahwa  Kamera Saku tidak memungkinkan merekam visual hewan, saya kira stigma  tersebut ketinggalan jaman….hehehe. Saya sudah membuktikannya, meski  dengan sejumlah batasan. Bagaimana dengan Anda?
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membantu saya berbagi pengalaman dan informasi.
 .Salam Sejahtera
Ada jalan panjang yang harus dilalui dan ada sepenggal yang musti dijaga. Kemarin dan esok adalah dua hal yang rahasia. Kita hanya punya hari ini, dan itu begitu jelasnya. Apalagi yang harus dirisaukan? Kutaruh selembar kegalauan dalam saku celana, berharap punah ia bersama sabun cucian esok hari.
 .sumber;
http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/08/30/merekam-eksotika-di-sekitar-saya/
